
Saya memutuskan rehat lebih panjang . . .
Apalagi, saat itu, hidup saya sudah diwarnai gairah lain. Cinta. Tuhan rupanya memberi saya jalan keluar dalam masa-masa bimbang saya di musik. Seorang wanita yang betul-betul mengerti dunia saya seperti dikirim sebagai penasihat!
Bicara soal cewek, saya sih mengaku saja, yang naksir saya lumayan banyak! Yah, itulah untungnya jadi anak band yang sempat ngetop. Biarpun tampang pas-pasan, tapi ada magnet yang bisa memancing cewek cantik untuk tidak berpikir panjang. Mereka kalau ngefans bisa gila-gilaan. Sampai kamar hotel pun bisa diuber!
Tapi, herannya, saya malas pacaran! Kata anak-anak Gipsy, saya ini kelewat serius memikirkan musik. Tapi, dipikir-pikir nggak juga. Saya rasa, kondisi saya yang terus membujang itu tak lepas dan pembawaaan saya yang memang sulit mencari teman. Jangankan bicara romantis dan menghanyutkan, mengobrol saja saya nggak jago! Kasihan juga kalau ada cewek yang berkeras naksir saya. Risikonya bisa saya diamkan seharian!
Hanya wanita yang benar-benar mengesankan yang bisa bikin saya merasa perlu untuk menyisihkan waktu untuk beromantis-ria.
Alasan lain? Saya agak gentar menikah! Seperti yang sudah saya utarakan di atas, menjadi penyanyi tak cukup membuat saya yakin bisa menghidupi sebuah keluarga!
Nah, si wanita ini rupanya menyimpan magnet yang bisa mengikis rasa takut itu!
Yang unik, ini wanita, sebetulnya bukan orang baru buat saya! Dia bahkan bertahun-tahun wira-wiri di seputar saya.
Namanya Yanti. Dengan nama lengkap GF Damayanti Noor. Ya, melihat namanya, memang mudah ditebak, dia adalah salah satu personel dari Noor Bersaudara, kelompok musik yang cukup populer saat itu. Mereka adalah anak-anak keluarga Noor yang dikenal sangat mencintai musik. Ayah mereka datang dari keluarga ningrat di Kalimantan Selatan. Ibunya juga datang dari kaum terhormat dari Padang. Keluarga Noor terbilang unik karena bisa menggabungkan aura keluarga yang ningrat dan berpendidikan tinggi dengan semangat musikal. Tahu sendiri, dulu anak-anak band dianggap “merusak hidup”. Salah satu anak di keluarga itu, Raidy Noor, lumayan akrab dengan saya.
Bolak-balik main ke rumah Raidy, sebetulnya saya sering melihat Yanti. Pemilik suara berat itu terbilang lincah dan rajin latihan musik dengan saudara-saudaranya. Tapi, belum ada gelagat asmara yang muncul.
Saya mulai melihat daya tarik Yanti ketika dia bekerja menjadi sekretaris pribadi Guruh. Saat itu, frekuensi saya bertandang ke rumah Guruh memang begitu sering. Mau tak mau, saya pasti ketemu Yanti.
Nah, kalau Guruh sedang sibuk atau tak ada di tempat, saya sering cuek, terus bertahan di rumah itu. Jadilah Yanti menemani saya mengobrol. Dia terhitung ramah.
“Mas Guruh nggak ada, duduk aja, ntar saya temenin!” katanya tiap kali saya apes tak bisa bertemu Guruh.
Mula-mula, saya menganggap dia sama seperti cewek-cewek yang lain. Kadang saya malah lupa, dia ngomong apa. Posisi saya duduk mengobrol, tapi pikiran saya melayang-layang memikirkan komposisi lagu (he he he, ini egoisme tersembunyi banyak musikus).
Tapi lambat laun, pada Yanti, saya merasakan getaran yang beda. Dia sangat berbeda.
Sikap Yanti tidak berlebihan. Dia bukan tipikal gadis genit atau cari perhatian. Yanti sangat tenang, cekatan, dan dewasa. Dulu sudah sangat dikenal bagaimana cara kerja Guruh. Anak-anak anggota Swara Mahardika sudah terbiasa dengan cara kerja Guruh yang berdisiplin tinggi, perfeksionis, dan sudah pasti... sarat kerja keras! Nah, bayangkan bagaimana yang jadi sekretaris pribadinya!
Bekerja untuk Guruh, saya melihat gerak Yanti yang supergesit. Kadang, sampai larut malam dia masih berkutat di meja kerjanya. Itu mengesankan saya. Diam-diam saya mulai memberi perhatian lebih, dan kalau mengobrol, pikiran saya mulai fokus padanya seratus persen.
Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang gairah musik, tentang liku-liku tantangan di kancah ini, tentang masa depan dengan musik sebagai tumpuan hidup.
“Memilih musik berarti harus siap dengan risiko hidup repot” kata Yanti mengejutkan saya.
“Kok bisa bilang begitu?” Saya tertarik.
“Repot bukan berarti hidup miskin,” katanya. Yanti kemudian bertutur, hidup dalam keluarga pecinta seni dan bekerja pada seniman sejati seperti Guruh, membuatnya sangat paham dengan gejolak rasa seniman. Hidup kadang jadi lebih complicated dari pada hidup orang kebanyakan. Karena kewajiban mencari nafkah untuk hidup kadang harus berkejaran dengan hasrat berkesenian yang kadang malah menghabiskan uang!
Ungkapan Yanti ini terasa menarik bagi saya. Apalagi setelah ia menambahkan bahwa seorang seniman harus mencari pendamping hidup yang sangat mengerti dunianya agar ritme hidup yang complicated itu tidak makin kusut! Tapi, justru menemukan jalan yang enak untuk berjalan. Yanti dengan pemikirannya yang cerdas dan cara bicara yang tenang mengatakan bahwa musik bukan masa depan yang mengkawatirkan.
No comments:
Post a Comment