Ditulis oleh : Ichsanuddin Noorsy, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
DUA puluh satu tahun lalu, tepatnya 12 September 1986 setelah Indonesia mendevaluasi rupiah dari Rp1.354 menjadi Rp1.644 atau melemah 21,4%, Kabinet Pembangunan IV kembali melanjutkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.
Berbagai hambatan masuk (entry barier), barang impor dihapuskan, bahkan peranan Bea dan Cukai diswastakan ke pihak asing. Itu sebenarnya kebijakan liberalisasi perdagangan. Istilah deregulasi dan debirokratisasi itu sendiri merupakan tuntutan agar pemerintah mengurangi campur tangan dalam perekonomian.
Biarkan pasar bekerja menyediakan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat. Di sisi lain, pasar dipasok oleh swasta asing atau domestik. Media massa mengunyah isu itu dengan memberitakan panjangnya birokrasi layanan publik dalam perizinan, banyak dan panjangnya meja dalam pengambilan keputusan, serta kuatnya peranan pemerintah sendiri dalam penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat telah membuat harga-harga menjadi mahal dan pasar terdistorsi.
Karena situasi politik otoriter, DPR, dan parpol adalah perpanjangan tangan penguasa, kebijakan ekonomi yang sesungguhnya menyimpang dari amanat konstitusi itu berjalan tanpa hambatan. Lancarnya kebijakan liberal itu, walau disebut setengah hati, juga tampak pada terbitnya Paket Kebijakan Oktober 1988 yang mengizinkan para pedagang kelontong mendirikan bank. Padahal kebijakan meliberalkan investasi asing dan leluasanya asing menghisap sumber daya pertambangan telah membuahkan devaluasi sejak 1971, 1978, 1983, dan 1986.
Pada 1991, setelah perbankan tumbuh bagaikan jamur di musim hujan dari 111 bank menjadi 239 bank, perekonomian kembali memanas, ditandai dengan tekanan inflasi. Walaupun tidak mendevaluasi, pemerintah menginstruksikan agar BUMN yang saat itu mendominasi kontribusi pada produk domestik bruto (PDB) memarkirkan dananya di perbankan. Tujuannya agar tidak terlalu banyak uang beredar.
Selain inflasi, tekanan defisit transaksi berjalan pun terus meningkat mencapai US$4,354 miliar dan nilai tukar per US$1 menjadi Rp1.890. Angka itu menunjukkan liberalisasi investasi, perdagangan, dan industri telah gagal mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Sebaliknya Presiden Soeharto dengan dukungan Tim Ekonomi Mafia Berkeley berkeyakinan dengan menjadikan konglomerasi sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, tiga penyakit ekonomi klasik itu teratasi.
Kritik atas pembangunan ekonomi berbasis utang luar negeri dan liberalisasi perdagangan telah muncul sejak awal 1970-an. Devaluasi sebagai penyakit kambuhan ekonomi adalah bukti kegagalan kebijakan sekaligus menunjukkan tingginya tekanan neraca pembayaran. Marion Fourcade dan Sarah L Babb yang menulis dengan pendekatan sosiologi pada ekonomi neoliberal berhasil membuktikan tekanan neraca pembayaran karena kebijakan ekonomi neoliberal di Cile, Meksiko, Prancis, dan Inggris menghasilkan konflik sosial (American Journal Sociology vol 108 No 3, November 2002). Menurut mereka, tinggi rendahnya konflik sosial karena kebijakan ekonomi neoliberal itu bergantung pada seberapa jauh negara mengalokasikan anggaran untuk mengatasi tiga penyakit ekonomi klasik.
Di Indonesia, konflik sosial mulai tampak ketika isu kesenjangan sosial ekonomi menjadi bahan berita paling menarik sejak 1983. Sebelumnya, muncul peristiwa Malari 1974 sebagai wujud protes atas ketergantungan Indonesia pada Jepang. Sejak Juni 1983 yang ditandai dengan bebasnya suku bunga tabungan Tabanas dan Taska, Emil Salim dan kawan-kawan sibuk menjawab kritik utang luar negeri itu. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, BJ Sumarlin, dan Emil Salim sebagai arsitektur perekonomian Indonesia mengatakan utang luar negeri tidak menciptakan ketergantungan, tapi saling ketergantungan. Almarhum Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi Indonesia, bahkan menyebutkan tidak ada negara yang bangkrut karena utang luar negeri. Dalam bahasa yang lain, pemberlakuan ekonomi pasar, liberalisasi perekonomian, dan utang luar negeri merupakan satu mata rantai. Itulah konsensus Washington, suatu kebijakan yang lahir pada 1980 dengan muatan menihilkan peranan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, liberalisasi investasi, perdagangan dan keuangan, serta privatisasi.
Penihilan peranan itu merupakan wujud sikap penolakan etatisme (negara mengatur dan menjalankan roda perekonomian) yang dituangkan dalam kebijakan membatasi defisit anggaran dalam jumlah di bawah 2% terhadap PDB. Hasil penerapan kebijakan itu adalah runtuhnya perekonomian Indonesia pada krisis moneter 1997/1998.
Sejalan dengan krisis Asia, sejumlah ekonom AS dan Eropa mengatakan runtuhnya perekonomian Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia pada 1997/1998 karena struktur ekonomi yang rapuh sekaligus dampak berantai gejolak pasar uang regional dan moral hazard.
Jika hal itu penyebab krisis ekonomi moneter 10 tahun lalu, apa penyebab krisis 2007/2008? Secara resmi pemerintah menjawab, penyebabnya adalah krisis kredit perumahan AS (subprime mortgage), gejolak harga minyak, dan gejolak harga komoditas strategis karena permintaan yang meningkat.
Pertanyaan mendasarnya, kenapa pada krisis 1997/1998 Malaysia tidak terkena dan Thailand serta Korea Selatan yang juga didera krisis lebih cepat pulih jika dibandingkan dengan Indonesia? Dunia internasional mengakui, Malaysia tidak terkena krisis 1997/1998 karena menolak resep IMF, sedangkan Indonesia menyerahkan kedaulatan ekonominya kepada IMF melalui letter of intent sebagai tindak lanjut extended fund facility. Dalam krisis pangan sekarang pun, negara Asia yang terkena antara lain adalah Indonesia dan Filipina.
Situasi itulah yang mengingatkan saya saat Presiden Yudhoyono merekrut calon menteri pada Oktober 2004. Melihat siapa-siapa yang datang ke Cikeas, mahasiswa dan banyak kalangan menolak kaki tangan asing dan yang diindikasikan koruptor menjadi menteri. SBY merespons kritik itu dengan pendekatan prosedural. "Kita tidak boleh menuduh," katanya bijaksana meneduhkan suasana. Ternyata yang dipilihnya justru mereka yang hangat bersahabat dengan Barat.
Demikian juga saat reshuffle. Para fundamentalis mekanisme pasar dan penyanjung liberalisasi ekonomi, meminjam istilah Joseph Stiglitz, makin berjaya. Maka kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan melanggengkan penyakit ekonomi klasik mewujud kembali dalam wajah demokrasi liberal. Hasilnya, seperti yang kita alami sekarang, krisis energi, krisis pangan, krisis keuangan, krisis infrastruktur dan aparatur, serta krisis fiskal.
Rasanya kita belajar sejarah, tapi tidak mencerna manfaatnya. Yang pasti, kebijakan ekonomi kita menjadi ahistoris dan terlepas dari perintah konstitusi. Di tengah Pemilu 2009 yang tinggal setahun lagi, muncul pertanyaan, adakah SBY berpeluang memperbaiki kebijakan para fundamentalis pasar yang berdampak tidak terpenuhinya janji kampanye 2004? Selama hayat dikandung badan, peluang selalu ada. Soalnya, adakah kemauan untuk itu?
Refleksi: Agaknya peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional dan 80 tahun peringatan Sumpah Pemuda keadaan NKRI tidak memberi kesan yang mengembirakan, karena yang dibangkitkan dulu itu tidak mencapai sasaran yang diidam-idamkan. Hal ini tentunya tidak lain dari pada sasaran dibelokkan oleh kaum tukang copet bin bandit sipil maupun mliter yang menjadi elit penguasa negara. Dan begitu pula peringatan 63 tahun yang disebut peringgatan Hari Kemerdekaan tetap mencerminkan bahwa hari depan lebih baik hanya akan tetap menjadi mimpi yang tidak sulit terlaksana selama kaum lintah darah ini tetap memegang kunci kekuasaan negara. Pengaturan serta pengurusan transportasi DKI, adalah salah satu contoh yang menunjukkan sampai di mana kemampuan berfaedah yang diperingati,
http://www.poskota. co.id/redaksi_ baca.asp? id=735&ik=31
Transportasi DKI Kacau
Kamis 29 Mei 2008, Jam: 7:58:00
SITUASI transportasi di Jakarta kini kacau-balau. Banyak yang mogok dan banyak pula yang menaikkan tarif secara sepihak. Akibatnya tak sedikit warga yang beraktifitas baik untuk bekerja, sekolah atau keperluan lain telantar di jalanan.
Sebagian warga terpaksa jalan kaki ke tempat tujuan karena tidak ada angkutan umum yang melayani. Ada taksi, uang tak cukup. Ada ojek, juga menaikkan tarif yang menguras kantong.
Di sana-sini, tidak sedikit penumpang bertengkar dengan sopir atau kenek karena tarifnya melonjak tinggi. Warga bertahan dengan tarif lama karena belum ada keputusan dari Gubernur DKI. Di sisi lain, pelajar berebut naik truk yang lewat. Mereka tak peduli bahaya berlarian di jalanan nan padat memburu truk yang melaju.
Alasan sopir yang ogah narik karena jika menaikkan tarif sepihak sama dengan melanggar aturan. Resiko melanggar aturan kalau sampai tertangkap polisi atau petugas Dinas Perhubungan, izin trayek bakal dicabut.
Kekacauan seperti ini biang keroknya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak. Premium yang menjadi Rp6.000/liter dan solar Rp5.500/liter pastilah membuat biaya operasional membengkak. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan suku cadang sampai sembako dan uang makan.
Banyak sopir angkutan menaikkan tarif secara sepihak atau mogok karena belum ada keputusan tarif baru dari Pemda DKI Jakarta dengan Organda. Pemda mematok kenaikan maksimal 15 persen sedang organda meminta 50 persen. Pertemuan pun tak menghasilkan apa-apa karena saling bertahan. Karena pertemuan tak menghasilkan keputusan, kekacauan transportasi di Jakarta pun terus berlanjut.
Semestinya, sebagai ibukota negara dan menyandang daerah khusus hal seperti ini tidaklah terjadi. Membiarkan kondisi transportasi amburadul seperti ini. Membiarkan penumpang dan sopir terus bertengkar. Membiarkan pemogokan berlangsung. Membiarkan pelajar menempuh bahaya memburu-truk yang lewat. Terkesan Jakarta tak pantas menjadi kota metropolitan. Apalagi kota megapolitan. Malulah dengan sejumlah daerah yang cekatan dalam mengambil keputusan.
Oleh karena itu, cepatlah Pemda DKI mengambil keputusan tentang tarif baru angkutan umum. Masyarakat pasti paham bahwa tarif memang harus naik. Harapannya, organda dan Pemda DKI sama-sama duduk dengan berpikir demi pelayanan masyarakat. Kenaikan tarif terlalu mahal tentu sangat memberatkan masyarakat. Naiklah secara wajar dengan barometer awak angkutan bisa pulang membawa uang untuk keluarganya. Masyarakat pun demikian, penghasilannya tidak habis hanya untuk biaya transportasi. @
redaksi
++++
http://www.poskota. co.id/news_ baca.asp? id=38759&ik=6
SBY Sakit Mikirin Harga BBM
Kamis 29 Mei 2008, Jam: 8:13:00
JAKARTA (Pos Kota) – Kenaikan harga minyak dunia berimbas pada kenaikan harga BBM di tanah air mengakibatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sakit.
Awalnya SBY mengaku susah tidur karena terus memikirkan solusinya. "Sekarang ini hari kesehatan tapi presidennya sakit, tapi sakitnya hanya sedikit," kata SBY di depan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Kehadiran PB IDI di Istana Negara, Rabu (28/05) terkait dengan peringatan Hari Bakti Dokter Indonesia. Saat pidato, SBY terbatuk-batuk dan sempat minta maaf kepada dokter karena batuk tersebut.
"Sudah satu bulan lebih kurang tidur, mikirin harga minyak dunia yang mahal. Cari solusi untuk negara kita banyak yang tidak sabar, jadi saya kena flu sedikit. Tetapi Insya Allah hatinya tetap sehat," kata SBY sebelum melanjutkan pidatonya.
TINGKATKAN PROFESIONALISME
Presiden meminta dokter terus meningkatkan profesionalisme. "Kita harus setara dengan tenaga kesehatan dari negara mana pun. Selain itu, SBY juga menegaskan agar dokter terus menjalankan peran sebagai agen untuk menyembuhkan, agen perubahan sosial dan agen pembangunan," katanya.
Acara berlangsung pukul 10:00 hingga pukul 11:00 tersebut dihadiri Ibu Negara Ani Yudhoyono, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Ketua IDI Fachmi Idris, mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Haryono Suyono, mantan Ketua IDI Farid Anfasa Moeloek.
Pidato Steve Job di Acara Wisuda Stanford University: "Stay Hungry. Stay
Foolish"
Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus
dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai
kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari
ini saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak
perlu banyak. Cukup tiga.
Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik
Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya
tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus
kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung
saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena "kecelakaan" dan memberikan
saya kepada seseorang untuk diadopsi.
Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya
pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang
pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka
berubah pikiran bayi perempuan karena ingin. Maka orang tua saya sekarang,
yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari
seseorang: "kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda
berminat? Mereka menjawab:
"Tentu saja." Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak
pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia
menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa
bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya
sampai perguruan tinggi.
Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya
memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga
seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya pegawai rendahan-habis untuk
biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya
tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana
kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh
tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya
pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu
rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan
terbaik yang pernah saya ambil.
Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya
minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai. Masa-masa itu
tidak selalu menyenangka n. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng
tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola
agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil
melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara
Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu
karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat
berharga. Saya beri Anda satu contoh:
Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal
kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk
ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus
mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi
guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif,
membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang
hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni
yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.
Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya.
Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh
yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang
bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas
kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam
bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada
PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan
mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah.
Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih
kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang.
Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik
dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke
belakang. Jadi, Anda harus percaya
bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang.
Anda harus percaya dengan intuisi,
takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan
ini efektif dan membuat banyak
perbedaan dalam kehidupan saya.
Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.
Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan
saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20
tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya
kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami
baru meluncurkan produk terbaik kami-Macintosh- satu tahun sebelumnya, dan
saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat.
Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah,
itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang
saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya.
Dalam satu tahun pertama,semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul
perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami sulit disatukan.
Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya
tertendang.
Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa
saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan. Dalam beberapa bulan kemudian,
saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa telah
mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya -saya gagal mengambil
kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta
maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan
bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Namun, sedikit demi
sedikit semangat timbul kembali- saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa
yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak,
namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal.
Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa
dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat
sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala
sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu
mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya.
Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu
Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri
saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan film animasi
komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling
sukses di dunia. Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple
membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami
kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan,
Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa. Saya yakin takdir di
atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang
pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Kadangkala kehidupan
menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin
bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya
menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai.
Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun pasangan hidup Anda. Pekerjaan
Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati
hanya dapat diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya
bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai. Bila Anda belum
menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan
bila Anda telah menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat
lainnya, semakin lama-semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari
sampai ketemu. Jangan berhenti.
Cerita Ketiga Saya: Kematian
Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi:
"Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu,
maka suatu hari kamu akan benar." Ungkapan itu membekas dalam diri saya,
dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke
cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: "Bila ini adalah hari
terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari
ini?" Bila jawabannya selalu "tidak" dalam beberapa hari berturut-turut,
saya tahu saya harus berubah. Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah
kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar.
Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut
malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang
hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya
tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan
sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk
tidak mengikuti kata hati Anda.
Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani
scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor
pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan
kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati.
Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan saya
pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal
dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada
anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam
sepuluh tahun mendatang. Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar
mudah bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal.
Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut.
Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut
dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel
tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa
ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui
bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa
diatasi dengan operasi. Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang. Itu
adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu
hingga beberapa dekade lagi.
Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan
yakin kepada Anda bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang
berguna:Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk
surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti
menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus
demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian
membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk
digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun
memang begitu.
Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang
lain. Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil
pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga
tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian
untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada
apa yang Anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomor dua.
Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama "The Whole
Earth Catalog", yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku
itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh
dari sini di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan
sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan
desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan
kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun
sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan
ungkapan-ungkapan hebat. Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa
edisi "The Whole Earth Catalog", dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka
membuat edisi terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia
Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan
di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di
bawahnya ada kata-kata: "Stay Hungry. Stay Foolish." (Jangan Pernah Puas.
SelaluMerasa Bodoh). Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi tanda tangan
mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu mengharapkan diri saya
begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru,
saya harapkan Anda juga begitu. Stay Hungry. Stay Foolish. (Diterjemahkan
oleh Dewi Sri Takarini, alumni sebuah perguruan tinggi di Australia)
'Giggs Tukang Ngutang'
Manchester - Sebelum menjelma jadi bintang di dunia sepakbola, semasa sekolah dulu Ryan Giggs ternyata suka berutang alias pinjam uang kepada para rekannya. Berniat irit atau malah cenderung pelit, Gigssy?
Sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap sepak terjang Giggs dalam dunia sepakbola, Sky Sport mengisahkan sebuah acara dokumenter bertajuk "It’s a wonderful run from Giggs!".
Program itu antara lain berisikan petikan wawancara dengan orang yang menemukan bakat Giggs, yaitu pemandu bakat Manchester City Dennis Schofield, tayangan aksi Giggs ketika masih belia serta komentar Sir Alex Ferguson, Eric Cantona, Mark Hughes, Paul Ince, Lee Sharpe, Paul Scholes, Phil Neville, Nicky Butt dan Kaka.
Dari situ, salah satu hal yang terkuak adalah bagaimana sulitnya pemain berjuluk "Welsh Wizard" itu untuk mengeluarkan uang semasa belia dulu. Simak saja salah satu komentar yang datang dari Phil Neville yang pernah bahu-membahu bersamanya di Old Trafford.
"Dia ketat (mengeluarkan uang), sangat ketat. Kalau sedang jalan keluar, dia selalu meminjam uang, dari Butty (Nicky Butt), Gaz (Gary Neville), dan aku sendiri," celetuk Phil yang kini bermain untuk Everton, sebagaimana dilansir Daily Mail.
"Ketika kami tinggal di Manchester tiap hari dia nebeng kendaraan abangku (Gary) untuk menghemat uang. Abangku tak sadar kalau dia sudah dimanfaatkan, pikirnya dia sudah mendapat teman baik!" seloroh Phil lagi.
Kisah unik lainnya dikisahkan oleh Giggs sendiri, yaitu pada saat dirinya berlatih bersama klub rival MU, Manchester City, semasa masih sekolah dulu.
"Dua atau tiga dari kami, pemain terbaik tim yuniorku, datang ke City, kami biasa pergi ke Platt Lane hari Kamis malam. Aku menikmatinya tapi aku kan fans United! Aku ingat suatu ketika datang dengan atasan warna merah dan langsung dipaksa melepasnya," kenang dia.
Meski sempat berlatih bersama City, pemain kelahiran Cardiff, Wales, 29 November 1973 itu menegaskan kalau dirinya sedari awal memang hanya berkeinginan untuk membela MU.
"Aku memang ada di City tapi mereka tak pernah menawari kontrak walau aku berlatih di sana selama dua atau tiga tahun. Mungkin kupikir mereka mengira akan teken kontrak dengan mereka, aku tak tahu, tapi aku menikmati minggu di United, serasa seperti di rumah. Aku tak ragu-ragu untuk bergabung," lugas Giggs.
Pilihan itu tak keliru karena bersama MU-lah namanya menjulang dan mengundang decak kagum rekan maupun pemain lawan. Kaka yang playmaker AC Milan dari Brasil, misalnya.
"Inilah hal yang bagus tentang sepakbola. Suatu hari aku menyaksikan Ryan Giggs bermain, atau bermain di Playstation dan sekarang aku benar-benar menghadapinya dalam pertandingan sungguhan," takjub Kaka.
Pecat Mancini, Inter Wajib Bayar Rp 436 M
Milan - Keputusan Inter memecat Roberto Mancini harus dibayar mahal, dalam arti sebenarnya. Soalnya pelatih yang sukses membawa Nerrazzurri meraih scudetto itu berhak mendapat pembayaran dari sisa kontraknya sebesar Rp 436 miliar.
Nilai tersebut, yang sama dengan 30 juta euro itu, merupakan akumulasi total pendapatan Mancini dari kontrak lima musim yang dimilikinya bersama Inter. Untuk per tahunnya saja, nilai kontrak Mancini senilai enam juta euro dan kesepakatan tersebut akan berakhir pada 2012.
Namun nilai tersebut merupakan jumlah yang harus dibayarkan Inter untuk Mancini saja. Padahal selama menangani Nerrazzurri, pria berusia 43 tahun itu dibantu oleh beberapa asisten dan staff pelatih, antara lain Sinisa Mihajlovic, pelatih kiper Giulio Nuciari, Fausto Salsano, Dario Marcolin dan Ivan Carminati.
Lalu mengapa Inter harus membayar jumlah uang yang tidak sedikit itu? Menurut La Gazzetta dello Sport, tidak ada klausul pada kontrak Mancini mengenai pemotongan nilai kontrak meskipun sang pelatih diberhentikan sebelum kesepakatan berakhir.
"Tidak ada yang namanya (get-out) clauses," terang agen Mancini Giorgio de Giorgios. "Ketika kita terikat kontrak, harusnya semua orang menghormatinya hingga akhir. Dan ketika presiden (Massimo Moratti) berpaling dari Mancini ke (Jose) Mourinho, maka ia tahu berapa yang harus dibayarnya," lanjutnya.
Moratti sendiri sebenarnya sudah berusaha membujuk Mancini untuk menurunkan pembayaran beban Inter atas dirinya saat keduanya saling bertemu di kediaman Mancini, Selasa (27/5/2008) silam. Namun Mancini, yang merasa dikecewakan dan dibohongi karena kesepakatan diam-diam Inter dengan Jose Mourinho, keukeuh Inter harus membayar apa yang memang wajib diselesaikannya itu.
Friday, May 30, 2008
Penyakit Ekonomi dalam Liberalisasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment