Monday, June 9, 2008

Cinta Itu Indah




Pagi ini sebelum berangkat kerja saya sempat sarapan ditemani dengan
secangkir teh manis. saya bilang sama istri saya agar menjauh dari
saya. Hah! istri saya sempat tercengang," kenapa mas saya mesti
menjauh?" katanya penuh keheranan. Saya katakan padanya, "tehnya sudah
manis, nanti jadi tambah manis jika melihat senyummu yang manis itu.."
Mendengarkan jawaban saya, istri saya menjadi tersipu malu.

Itulah cinta yang saya miliki, selalu hadir penuh keindahan di pagi
hari. Cinta yang indah selalu terjuwud di dalam rumah tangga. Bahkan
pergaulan dalam rumah tangga juga membutuhkan suasana dinamis, dialog
dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga misalnya, oleh
orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana dinamis
dalam keluarga.

Sebaliknya suasanya mapan yang lama (baik mapan cukup maupun mapan
dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan.
Oleh karena itu suami isteri harus pandai menciptakan suasana baru,
baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis
membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan
mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan
kemasan baru agar cinta di dalam rumah selalu nampak indah bagi para
penghuninya.


Pada Saatnya Nanti
Apakah anda menantikan hasil yang cepat dan instan? Maka anda akan cenderung mengerahkan usaha dan biaya besar sembari menjumpai rasa frustasi, dengan tanpa jaminan bila anda akan mencapai tujuan anda.

Ada suatu cara yang lebih dapat diandalkan dan mudah dicapai untuk mencapai hasil yang anda cari. Yaitu dengan kesabaran.

Daripada berjuang melawan waktu dan menjadikannya sebagai musuh anda, manfaatkan waktu sebagai teman anda. Daripada menyesal karena anda tidak mendapatkan semua yang anda inginkan sekarang, berterima kasihlah bahwa anda dapat menikmati proses anda mengerjakannya demi mencapai tujuan yang berarti.

Untuk memperoleh sesuatu yang bernilai tinggi, anda harus menyediakan nilai yang tinggi dan mengerahkan usaha yang besar pula. Membagikan usaha tersebut ke jumlah tenggat waktu yang masuk akal adalah sebuah kunci keberhasilan yang dapat dipercaya.

Terburu-buru dalam hidup tidak akan menyenangkan dan efektif. Perlahankan ritme anda, luangkan waktu dan gunakan sumber daya anda dengan bijak dan penuh pertimbangan, dan kemudian nikmati perjalanan anda.

Sementara usaha anda menjadi mantap dan konsisten, kesabaran akan membuat hidup anda terbentang lebar dengan laju yang dapat anda pertahankan, dan hasil yang anda cari akan datang pada anda di saatnya nanti.




Kiat Aman Berwirausaha

Bahwa profesi pengusaha (entrepreneur) menjanjikan peluang peningkatan penghasilan yang berlipat? Yes, karena itulah banyak diantara kita ingin jadi entrepreneur sukses. Bahwa profesi pengusaha memungkinkan kita bebas finasial di hari tua karena tabungan cukup sehingga kita bisa pensiun lebih tenang dan fokus untuk misi hidup yang lain? Betul demikian dan sudah banyak yang membuktikan. Hanya saja memang tak mudah menjadi entrepreneur sukses, terbukti banyak pula yang gagal.

Selain itu, tak sedikit orang yang masuk ke dunia wirausaha dengan terburu-buru dan emosi. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan matang ia langsung tinggalkan pekerjaan sebelumnya yang notabene merupakan andalan mata pencaharian keluarga. Angan-angannya langsung melambung, membumbung, dan membayangkan hidup serba-enak bila menjadi pengusaha sukses dengan penghasilan berlipat. Ia lupa bahwa berwirausaha juga punya resiko, resiko gagal dan bangkrut. Ia lupa merencanakan bagaimana seandainya ia gagal memulai. Harus diakui, banyak sekali orang bertindak semacam ini, yang akhirnya bukannya makin bersemangat berwirausaha namun justru menjadi antipati alias benci dan menyesal kenapa melangkah jadi entrepreneur. Bahkan kadang jadi menyalahkan orang lain. Apalagi kalau yang hingga cerai dengan istri atau dibenci sanak keluarga. Cara pandang dan cara memulai entrepreneur 'yang asal berani' seperti ini tentu saja kurang elegan.

Disini saya ingin memberikan beberapa informasi alternatif cara aman masuk menjadi entrepreneur sesuai yang saya tahu dari relasi-relasi saya pengusaha yang sudah terbukti sukses. Kalau kita ingin mandiri berwirausaha alias menjadi entrepreneur, kita tidak harus langsung cabut dari profesi lama kita. Tidak perlu grusa-grusu. Kita harus dengan dingin membedakan antara berani dan nekad. Apalagi kalau yang sudah punya tanggungan keluarga, kita juga harus menimbang ada sekian jiwa yang ikut dalam gerbong kita sehingga kalau kita salah kemudi mereka juga bisa kejeblos.

Berikut ini beberapa informasi cara yang lebih aman untuk pindah ke kuadran entrepreneur.

Pertama, kita bisa memulai berwirausaha dengan melakukan penyertaan saham di bisnis teman kita sembari kita tetap kerja dulu di perusahaan lama kita. Jadi kita setor modal ke kawan yang punya bisnis bagus dan nanti bagi kita dapat bagi hasil. Dari sini kita juga sekalian mulai belajar mengelola usaha. Pelan-pelan kita mulai aktif terjun di dalamnya dan membantu kerja bareng dengan si teman itu. Kalau skala usaha joinan dengan teman itu bagus dan penghasilan dari bagi hasil itu sudah bisa untuk menutup kebutuhan hidup kita dan keluarga, barulah kita putuskan keluar. Jadi ketika kita keluar dari perusahaan lama tidak kaget karena tetap ada penghasilan.

Kedua, jurus menginjak dua kapal. Artinya, kita masih sebagai karyawan di sebuah perushaaan mapan, namun di waktu yang sama juga merintis usaha alias menjalankan usaha milik sendiri. Cara ini dimungkinkan bagi mereka-mereka yang punya cukup waktu luang sehingga bisa nyambi. Sebenarmnya cara ini sekarang lebih dimungkinkan karena adanya HP dan telpon yang memudahkan koordinasi. Jadi, sementara kita di kantor kita bisa sembari mengendalikan bisnis sendiri dari jarak jauh. Hingga skala tertentu nyambi ini sangat dimungkinkan, namun kalau bisnisnya mulai membesar kita pasti harus cabut. Yang jelas, strategi menginjak dua kapal ini merupakan pilihan aman agar kita dalam melangkah jadi entreprenur. Jadi sementara satu kaki kita masih ada di kapal milik perusahaan lain, satu kaki kita melakukan test market untuk membangun bisnis sendiri. Cara ini paling umum dijalankan oleh para perintid usaha.

Ketiga, kalau anda tidak mau joinan dengan orang lain dan tidak bisa berdiri di dua kapal, kita bisa berdayakan pasangan kita (istri/suami) . Jadi, sementara kita masih kerja di perusahaan lama, pasangan kita (istri atau suami) yang mengurusi bisnis sendiri untuk masa-masa perintisan ini. Artinya sekoci pendapatan keluarga masih ada yang bisa diandalkan, baik buat beli beras atau susu anak-anak. Kalau usaha sendiri ini sudah jalan, silahkan saja keluar dari kerja di perusahaan orang lain itu.

Keempat, kalau Anda sudah ngebet sekali untuk menjadi entrepreneur dan yakin bakal sukses merasa tak perlu pakai ban serep seperti itu, setidaknya Anda tetap bisa melakukan pengamanan lain, yakni dana pendidikan anak. Cara ini juga dilakukan salah satu pengusaha kawan saya, Pak Harijanto, pengusaha sepatu produsen Nike dan Piero yang punya karyawan 9.000 orang. Ketika beliau akan menjadi entrepreneur dengan membeli saham perusahaan dimana ia bekerja ia juga mempertaruhkan masa depannya: bisa sangat sukses namun juga bisa menjadi miskin kalau gagal. Nah, untuk mengamankan proses untuk menjadi entrepreneur ini, beliau dan istri mufakat. Diputuhkan, maju menjadi entrepreneur dengan membeli perusahaaan dimana ia bekerja namun sebelumnya tabungan pendidikan untuk anak tidak boleh diotak-atik. Tabungan anak harus tetap ada dan disendirikan. Jadi katakanlah proses dia menjadi entrepreneur itu gagal, dana pendidikan anak tetap aman.

Jadi itu beberapa kiat aman pindah ke kuadran entrepreneur. Semoga dengan cara itu proses transisi menjadi pengusaha sukses menjadi melegakan semua pihak, tidak ada penyesalan-penyesal an. Silahkan kawan2 yang ingin memulai usaha memilih jalan yang terbaik. Kawan-kawan semua bisa meyimak lebih dalam tentang kiat-kiat menjadi entrepreneur ini (termasuk kisah Pak Budianto Darmastono dan Pak Harijanto) di buku terbitan Gramedia, "10 Pengusaha Yang Sukses Membangun Bisnis dari 0" disusun Sudarmadi yang baru saja dicetak ulang.


Saya butuh dana yang fleksibel



Sejak di Chittagong University, ada satu organisasi internasional yang selalu datang dengan dukungan manakala saya perlukan, yakni Ford Foundation. Lincoln Chen, Stephen Biggs, dan Bill Fuller, diantara banyak orang lainnya, telah membantu pekerjaan kami. Dan persis pada waktu itu, Ford Foundation sangat tertarik dengan eksperimen kami dan ingin sekali membantu kami mengatasi keragu-raguan para bankir komersial itu. Adrienne Germain, kepala perwakilan Ford Foundation di Bangladesh saat itu, membawa dua bankir Amerika sebagai konsultan yang akan menilai pekerjaan kami. Mary Houghton dan Ron Grzywinski, keduanya dari South Shore Bank di Chicago, mengunjungi kami di Dhaka dan pedesaan. Mereka sangat terkesan dengan apa yang mereka saksikan.



“Saya butuh dana yang fleksibel,” saya beritahu Adrienne tahun 1981. “Saya perlu dana yang bisa saya gunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang kami hadapi sehari-hari. Saya juga ingin memberi jaminan pada para bankir komersial yang mendukung kami sehingga mereka tidak bisa menggagalkan rencana perluasan ini dengan alasan terlalu berisiko.”



Dengan rekomendasi Ron dan Mary, Ford Foundation setuju menyediakan AS $ 800.000 sebagai dana penjaminan. Saya yakinkan mereka bahwa kami tidak akan pernah merogohnya. “Fakta bahwa dana itu ada,” ujar saya, “akan punya kekuatannya sendiri.”



Dan memang begitulah kenyataannya. Kami simpan dana itu di sebuah bank di London dan tidak pernah mengambilnya sepeser pun.



Kami juga menegosiasikan pinjaman senilai AS $ 3,4 juta dan Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) yang berbasis di Roma. Jumlah ini, ditambah pinjaman dari Bank Sentral Bangladesh, akan dipakai untuk memperluas program Grameen di lima distrik selama tiga tahun ke depan.



Jadi di tahun 1982, kami meluncurkan program perluasan yang meliputi lima distrik yang terpisah jauh: Dhaka di tengah-tengah, Chittagong di Tenggara, Rangpur di Timur Laut, Patuakhali di Selatan, dan Tangail di Utara. Pada akhir 1981, keseluruhan pinjaman yang kami kucurkan mencapai AS $ 13,4 juta. Selama tahun 1982 saja, pinjaman yang kami kucurkan meningkat dengan tambahan senilai AS $ 10,5 juta.

The Living Legacy of Integrity

When my father passed away last October, my mother, brother, and sister were all feeling quite distraught over the loss of a beloved husband and parent under seemingly sudden circumstances. Amidst the hurried preparations for a quick burial in accordance with our tradition, I scarcely had time to think, to do much else past taking care of urgently important details, making sure that my family and my father made the journey to the city in which his body would rest.

Then came the service, and after seven days of Shiva, a time in which we are free of our daily responsibilities in order to fully mourn the loss that has occurred. This process was particularly therapeutic and thus healing for me and I truly appreciated the genius behind the creation of such a tradition. Being able to fully mourn the loss of my father gave me the ability to slowly move back into the stream of life when the seven days were up, knowing that I further had the first 30 days after his death in which I might decline participating in joyous events that I might otherwise feel pressured to participate in, and then regret or resent. This had the unforeseen benefit of allowing me the time and space in which to not merely recover from the loss, but to appreciate the enormous impact and life lessons of being the child of this man.

Having just finished listening to Earl Nightingale speak of integrity on his recording, Lead the Field, I immediately thought of Dad, and the powerful example of integrity that he modeled for us.

A survivor of the Holocaust, whose parents died in Auschwitz, my Dad spent those war years not merely surviving himself, but helping others to do so. After miraculously escaping one camp, he worked tirelessly to help others do the same, despite the constant risk to himself in doing so. After the war, he was determined to find his brothers and reunite the family, which he did indeed.

In 1949, escaping Czechoslovakia after it fell to the Soviets, he immigrated to America, where he refused any financial help, learned the language of his newly adopted country, and eventually worked his way up from salesman to president of his own company. The hallmark of his business life was integrity. He was fiercely loyal to family, scrupulously clean in his business dealings, and always looked out for his employees.

When my parents moved south to retire, Dad instead opened a small business and quickly developed a reputation for honest business dealings among the local minority population, who saw him, an "outsider", as someone they could trust to look out for their best interests in an area of business in which they were often taken unfair advantage of.

Before he died, my Dad fretted that he hadn't left us a fortune to share among ourselves. But as letters streamed in from his accountant, lawyers, business associates, and friends praising his life, I couldn't have felt richer.

Ellen Pollak Wilson

Ellen Pollak Wilson is releasing her first solo CD, Songs of Ascent, music intended to uplift, heal, and inspire. As a singer, teacher, writer, and coach, Ellen endeavors to help others to find their own voice in all matters. Visit her website at: www.ellenmwilson.com

No comments: