
Di dunia ini tidak ada yang gratis! Wah, kalimat ini sangat penting untuk dimengerti, disadari, dan dihayati oleh anak kita. Segala sesuatu di dunia ini memang tidak gratis, kecuali yang diberikan oleh orangtua dan Tuhan. Sering kita dengar kasih sayang orangtua tidak ada atasnya. Jangankan harta, jiwapun akan dikorbankan untuk anak. Kalau orangtua saja begitu, tentu Tuhan lebih hebat lagi. Banyak yang telah ia berikan kepada kita secara gratis sejak kita dilahirkan, terutama udara yang setiap saat kita hirup.
Falsafah di balik kalimat itu adalah bahwa sebagai orangtua, kita bertugas mendidik, membimbing, dan mengingatkan anak bahwa segala sesuatu memiliki harga. Artinya, untuk mendapatkan segala sesuatu dibutuhkan usaha, tenaga, waktu, pengorbanan (adakalanya korban perasaan), dan juga perjuangan. Sebenarnya, ada banyak cara untuk mengajarkan hal ini. Sejak anak masih kecil pun falsafah ini sudah bisa diterapkan. Seorang teman saya mengajarkannya kepada anaknya sejak si anak masih duduk di bangku SD. Tiap kali si anak ingin membeli buku, mainan, atau sebagainya, ia memintanya menunda sampai akhir bulan, saat ia menerima gaji. Sebenarnya, ia mampu memenuhi permintaan anaknya setiap saat, tetapi ia ingin mengajarkan kepada anaknya untuk mau menunggu dan tidak memaksakan tiap keinginan langsung terpenuhi.
Teman saya yang lain, saat anaknya ingin membeli mainan yang relatif mahal, mencoba menanyakan kembali apakah si anak benar-benar memerlukan mainan itu. Kalaupun akhirnya benar-benar membelikan, ia membuat perjanjian dengan si anak untuk tidak minta dibelikan barang yang relatif mahal lagi selama jangka waktu tertentu. Teman saya yang punya anak seusia SMP mencoba membandingkan harga barang yang diminta si anak dengan harga kehutuhan pokok yang sulit dibeli oleh orang miskin. Harapannya, si anak bisa memikirkan ulang apakah ia benar-benar memerlukan barang itu. Ternyata, hal-hal seperti itu memberi dampak yang sangat baik kepada si anak. Anak menjadi terlatih menghargai apa yang ia miliki dan menahan diri untuk tidak langsung menuntut semua keinginannya terpenuhi.
Ada cara lain yang lebih keras. Anak diminta memenuhi persyaratan tertentu sebelum sebelum bias mendapatkan apa yang ia inginkan. Misalnya, ia harus berprestasi dulu di sekotah. Kalau berhasil masuk dalam peringkat lima besar di kelas, ia boleh jalan-jalan ke Bali. Kalau berhasil masuk dalam peringkat sepuluh besar di kelas, ia boleh jalan-jalan ke Jogja. Kalau tidak mendapat ranking tetapi mendapat nitai di atas rata-rata kelas, ia boleh jalan-jalan ke Bandung, dan seterusnya. Namun, perlu diingat bahwa persyaratan yang diberikan pun harus disesuaikan dengan kemampuan si anak. Jangan memberikan persyaratan yang terlalu berat dan sulit ia capai. Kalau persyaratan yang diberikan kurang berat dan si anak hampir tidak mungkin mencapainya walaupun sudah berusaha sekuat tenaga, anak bisa menjadi putus asa dan frustrasi. Hal itu tentu tidak baik untuk perkembangan si anak.
No comments:
Post a Comment