Wednesday, June 6, 2007

Kasus BPPC Dibuka Lagi


*Kejakgung Segera Panggil Nurdin Halid dan Tommy

JAKARTA - Setelah hampir sepuluh tahun terpendam, kasus dugaan
penyalahgunaan tata niaga cengkeh oleh Badan Penyangga dan Pemasaran
Cengkeh (BPPC) akan dibuka lagi Kejaksaan Agung. Kasus yang terjadi
antara tahun 1992 hingga 1998 itu bakal menyeret kembali Nurdin
Halid, mantan direktur utama Puskud Hasanuddin dan putra kesayangan
mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy
Soeharto.Rencana akan dimulainya penyidikan ini, terungkap setelah
kejakgung mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) pada 7
Mei lalu. "Sprindiknya sudah dikeluarkan sebelum tim jaksa berangkat
ke Guernsey. Kalau nggak Senin sore (7 Mei), ya Selasa (8 Mei),"
kata Direktur Penyidikan Kejakgung M Salim saat ditemui sebelum
mengikuti rapat dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji di gedung
Kejakgung, malam tadi.

Dari catatan koran ini, kasus BPPC sebenarnya pernah disidik
kejaksaan pada 2000 silam. Ini didasarkan sprindik No Print-
135/F/F.2.1/ 11/2000, yang dikeluarkan pada 16 November 2000.
Kejakgung memang tak pernah mengumumkan sprindik tersebut. Meski
demikian, informasi sprindik tersebut termuat dalam bahan tertulis
jaksa agung dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi Hukum DPR pada
18 Juni 2001.

Dalam sprindik tersebut, mantan Presiden Soeharto ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus BPPC setelah terindikasi melakukan perbuatan
melawan hukum saat menerbitkan Keppres No 20 Tahun 1992 dan Inpres
No 1 Tahun 1992 yang memberikan kemudahan monopoli pembelian cengkeh
oleh BPPC. Sayangnya, kelanjutan penyidikan kasus BPPC kala
itu "tenggelam" seiring pergantian beberapa jaksa agung.

Dalam penjelasannya kemarin, Salim sama sekali tidak menyinggung
sprindik yang dikeluarkan pada 2000 silam. Salim hanya menjelaskan,
penerbitan sprindik pada 7 Mei 2007, didasarkan hasil penyelidikan
tim jaksa. Salim juga tak menyebut tahun penyelidikan kasus
tersebut.

Yang jelas, kasus tersebut pernah diselidiki tim gabungan
pemberantasan tindak pidana korupsi (TGTPK) pada 2000 silam. "Ini
pernah ditangani kejaksaan melalui TGTPK," tegas Salim. Tim jaksa
yang lama telah menyerahkan laporan yang akan ditindaklanjuti tim
baru beranggotakan Djoko Widodo, Sahat Sihombing, Baringin Sianturi,
Yusfidli, dan Susdiarto.

Salim mengatakan, tim jaksa menemukan indikasi kuat terjadinya
tindak pidana korupsi. Di antaranya, ada persyaratan yang tidak
dilaksanakan terkait Keppres No 20/1992 jo Inpres No 1/1992 tentang
Pembentukan BPPC. "Ada ketentuan yang disalahgunakan, " kata Salim.

Ditanya kapan terjadinya kasus BPPC, Salim menolak menjawab
detail. "Pokoknya di bawah 1999," jelas mantan wakil kepala Kejati
Jawa Tengah ini. Dia juga menjawab, kasus tersebut bakal dijerat
menggunakan undang-undang pemberantasan korupsi yang lama, UU No 3
Tahun 1971.

Menurut Salim, kejaksaan berkoordinasi dengan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan nilai kerugian
negara. "Kami menaksir nilainya miliaran rupiah," jelas Salim.

Salim menambahkan, saat ini, tim jaksa mendalami temuan korupsi
dalam kasus BPPC. "Malam ini (kemarin) akan dirumuskan peran
beberapa pihak yang terlibat. Kami juga akan melapor ke jaksa
agung," beber Salim. Tim jaksa merasa optimistis, tidak kehilangan
barang bukti, mengingat kasus tersebut diselidiki tujuh tahun silam.

Soal nama-nama yang akan dipanggil, lanjut Salim, kejaksaan masih
menyusun jadwal pemeriksaan. Tim jaksa akan memanggil beberapa nama
yang diduga terlibat, termasuk Tommy dan Nurdin Halid, mantan
direktur utama Puskud Hasanuddin dan mantan dirut Inkud. "Siapapun
akan kami panggil," tegas jaksa senior ini.

Ditanya penyidikan kasus BPPC terkait persidangan kasus Tommy di
Guernsey, Salim tidak membantah. "Kalau dikait-kaitkan, boleh-boleh
saja," jawab Salim. Yang pasti, kejaksaan berpegang pada hasil
penyelidikan yang dilaksanakan bersama TGTPK.

Menurut Salim, kejaksaan sengaja mendahulukan penyidikan kasus BPPC
di banding kasus program mobil nasional (mobnas) PT Timor Putra
Nasional (TPN). Alasannya, kasus BPPC paling cepat
pembuktiannya. "Soal siapa tersangkanya, kami belum menetapkannya.
Kami masih mendalaminya, " kata Salim.

Terpisah, Direktur Perdata Kejakgung Yoseph Suardi Sabda mengatakan,
berkas penyidikan kasus BPPC dibeber dalam persidangan di
Guernsey. "Untuk memperkuat kasus BPPC, kami menyertakan laporan ICW
(Indonesian Corruption Watch) mengenai kerugian negara atas peran
Tommy dalam mengelola BPPC," jelas Yoseph.

Selain itu, lanjut Yoseph, kejaksaan selaku kuasa pemerintah RI
memasukkan surat perintah penyelidikan (sprinlid) kasus TPN untuk
memperkuat alat bukti bahwa Tommy masih terlibat kasus pidana di
kejaksaan. "Ini sekaligus menanggapi surat Menkumham Hamid Awaluddin
5 April 2005 yang menyatakan Tommy tidak terlibat perkara apapun di
Indonesia," jelas Yoseph.

Menurut Yoseph, kubu Tommy tidak dapat menjadikan surat Hamid untuk
menyatakan bebas berperkara, mengingat Depkumham bukan lembaga
penyidikan. "Hakim di Guernsey sendiri menanyakan apakah Hamid masih
menjabat menteri atau tidak. Rupanya, hakimnya juga mengikuti
perkembangan reshuffle kabinet," jelas jaksa berkaca mata tebal ini.

Terpisah, Koordinator Badan Pekerja (BP) ICW Teten Masduki pernah
menyurati jaksa agung pada 26 Maret lalu, agar kejaksaan memproses
hukum kasus BPPC. Dalam surat bernomor SK/BP/ICW/III/ 2007, Teten
melaporkan temuan ICW pada 2000 silam tentang dugaan penyelewengan
kekuasaan dalam tata niaga cengkeh oleh BPPC. "Ini merupakan satu
kasus yang dapat ditindaklanjuti, " kata Teten.

Dalam suratnya, Tetep menuliskan, kronologis kasus BPPC. Dia
mengawali sejarah pembentukan BPPC sebagai badan yang dibentuk
berdasarkan Keppres No 20/1992 jo Inpres No 1/1992. Dari dua aturan
tersebut, mantan Presiden Soeharto telah memberikan monopoli penuh
kepada BPPC untuk membeli dan menjual hasil produksi cengkeh dari
petani. Seluruh hasil produksi cengkeh oleh petani harus dibeli oleh
BPPC dengan harga yang telah ditentukan, sedangkan Pabrik Rokok
Kretek (PRK) harus membeli cengkeh dari BPPC dengan harga yang telah
ditentukan juga.

BPPC sendiri didalamnya terdiri dari berbagai unsur, yakni Inkud
dari unsur koperasi, PT Kerta Niaga dari unsur BUMN dan unsur swasta
melalui PT Kembang Cengkeh Nasional yang merupakan perusahaan milik
Tommy. Tommy sendiri berstatus sebagai pimpinan BPPC. Dari hak
monopoli tersebut, BPPC diperkirakan mengeruk keuntungan Rp 1,4
triliun.

Terhitung sejak dibubarkannya pada 1998, BPPC masih menyisakan
kewajiban-kewajiban untuk mempertanggungjawab kan pengelolaan dana-
dana milik dan hak petani cengkeh selama tata niaga cengkeh
berlangsung, yakni sumbangan diversifikasi tanaman cengkeh (SDTC) Rp
67 miliar, sumbangan wajib khusus petani (SWKP) Rp 670 miliar, dana
konversi Rp 74 miliar dan dana penyertaan modal (DPM) Rp 1,1 triliun
yang keseluruhannya dipungut dari petani cengkeh dan pabrik rokok
cengkeh. (agm
============ =
* Tommy's defeat a sure thing, AG's office says
National News - Tuesday, May 22, 2007

The Jakarta Post, Jakarta

The Attorney General's Office (AGO) is confident a Guernsey court
will
grant full disclosure and an extension of a freezing order on the
allegedly ill-gotten funds of former president Soeharto's son Hutomo
"Tommy" Mandala Putra.

"I'm hoping we'll win. Let's see Thursday, they have impartial judges
there," said Yosef Suardi Sabda, the AGO's civilian case director for
state administrative cases, on Monday.

The British Royal Court in Guernsey, a British crown dependency off
the northern French coast, will decide Wednesday on the government's
request for a full disclosure of the case and a freezing order
extension on US$46 million belonging to Tommy, which is being held at
the Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas in Guernsey.

The requests -- a form of legal intervention -- came after the bank
refused to release the money, citing the possibility that it was
obtained through graft.

Tommy's Garnet Investment Ltd., the company the money was deposited
on
behalf of, then brought the bank to trial seeking the money's
release.

The AGO said it had submitted documents asserting that the money --
claimed by Tommy to have been collected through the sale of his
shares
in automotive company Lamborghini -- was in fact laundered.

The AGO believes the funds were part of a sum collected through
illegitimate means during the reign of Tommy's father, Soeharto, in
an
era spanning three decades when corruption practices were rife.

"If the government wins, we can withdraw the money through legal and
civil avenues. The civil avenue can be worked out in either Indonesia
or Guernsey, while the legal one is by demanding funds to substitute
the state's loss," Yosef was quoted as saying by detik.com news
portal.

Full disclosure of the case would mean that the court will expose the
origin and flow of the funds in question, which have been frozen
since
Jan. 22.

Tommy's head legal representative for the Guernsey trial, O.C.
Kaligis, said he had prepared 800 pages of documents stating that the
funds were legitimate and free from corruption.

The case surfaced in the wake of the disclosure of another case
involving Tommy and $10 million that he withdrew from BNP Paribas in
London using a government account at the Justice and Human Rights
Ministry's Directorate General of General Legal Administration.

The money, withdrawn in February 2005, is claimed to belong to
another
of Tommy's companies, Motorbike Corp. The withdrawal was cleared with
the alleged approval of Yusril Ihza Mahendra and Hamid Awaluddin.

Yusril was justice and human rights minister when the request for
clearance from BNP Paribas was made. He authorized the transfer, but
was replaced by Hamid just prior to the withdrawal taking place. Both
were recently dismissed in last week's Cabinet reshuffle.

Legal experts have insisted that the use of a government account for
private means constitutes money laundering and violates the 2003 UN
anti-corruption convention and the 2003 money laundering law.
============ =
* Indonesian police hunt Tommy Soeharto's illegal fortune
May 23, 2007, People's Daily Online --- http://english. people.com. cn/

Paralleling an investigation by the Attorney General's Office, the
Indonesian Police are assuming a proactive role in tracking down the
assets of Tommy Soeharto believed to have been derived from money
laundering, local press reported Wednesday.

The police were investigating the assets of the youngest son of
former
President Soeharto, which are being held in several companies,
including his overseas-based Motorbike Corp., English daily The
Jakarta Post reported.

"The police will continue hunting for Tommy's illegal assets,
including 36 million euros he allegedly laundered by depositing the
funds in the Bank Nationale de Paris Paribas in London," deputy chief
of National Police Comr. Gen. Makbul Padmanegara was quoted as
saying.

"We are investigating where he obtained the money from. We are also
still looking for supporting evidence from a number of companies in
which the money had allegedly been invested," he said.

Tommy, 44, got an early release from prison in October 2006 after
serving only one third of a 15-year jail term for ordering the July
2001 murder of a Supreme Court justice.

Makbul urged the Financial Transaction Reports and Analysis Center
(PPATK), the country's anti-money laundering agency, to speed up its
investigation into Tommy's assets and hand over its findings to the
police so they could follow them up in accordance with the law.

"To us, PPATK has the authority to carry out preliminary
investigations into money laundering cases, while the official
investigations into such cases should be left for law enforcers,
including the police and the Attorney General's Office," he said.

No comments: