Thursday, June 7, 2007

Roller Coaster" SBY-JK

Tanggal 20 April 2007, tepat dua setengah tahun usia pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK). Dua setengah tahun merupakan momentum historis karena baru pada pemerintahan SBY-JK inilah kita bisa mengasumsikan bahwa presiden dan wakilnya akan memegang kekuasaan pemerintahan lima tahun penuh pasca rezim Orde Baru.

Pemerintahan sebelumnya tidak atau belum pernah menikmati privilese semacam ini. Pemerintahan B.J. Habibie hanya berusia setahun lebih sedikit (1998-1999). Pemerintahan Abdurrahman Wahid berusia dua tahun (1999-2001). Sedangkan pemerintahan Megawati Soekarnoputri hanya punya waktu tiga tahun (2001-2004) untuk bekerja.

Usia pemerintahan yang "abnormal" menyulitkan pemerintah untuk memperlihatkan kemampuannya secara utuh. Hal ini sebenarnya kerugian semua pihak -pemimpin bangsa, partai politik, pengamat, lembaga swadaya masyarakat, dan rakyat pada umumnya- karena kita pun tidak mendapat "keuntungan" untuk dapat melihat siklus lima tahun kerja pemerintahan secara utuh pula.

Siklus lima tahun pemerintahan adalah penting. Ia merupakan salah satu variabel yang menentukan keberhasilan sebuah pemerintahan. UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menggariskan adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (20 tahun) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (5 tahun). RPJM sendiri merupakan manifestasi visi dan misi pasangan calon presiden-wakil presiden terpilih. Tampak bahwa periode waktu bagi penilaian kinerja suatu pemerintahan adalah lima tahun.

Kerangka waktu lima tahun itu bukan dimaksudkan bahwa tidak boleh ada evaluasi dalam 100 hari, enam bulan, satu tahun, atau separo jalan pemerintahan SBY-JK. Ia hanya mengimplikasikan bahwa apa pun yang terjadi dalam pemerintahan, sejauh bukan karena alasan tindak pidana atau pengkhianatan kepada negara, presiden dan wakil presiden selaku pimpinan pemerintahan tidak dapat dijatuhkan di tengah jalan. Vonis akhir terhadap berhasil atau tidaknya pemerintah akan diberikan oleh rakyat langsung dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Soal evaluasi rakyat ini kini menjadi sesuatu yang transparan (baca: dapat diterawang secara relatif akurat) dengan adanya instrumen survei atau polling opini publik.

Polling nasional terakhir dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) 15-25 Maret 2007 menarik karena menunjukkan tingkat kepuasan (approval rating) publik yang cenderung menurun terhadap kinerja Presiden SBY maupun Wapres JK. Tingkat kepuasan terhadap kinerja SBY tinggal 49,7 persen dari sebelumnya 67 persen (Desember 2006). Sama trennya dengan kepuasan terhadap JK yang turun ke 46,9 persen dari sebelumnya 62 persen.

Menurut laporan survei LSI, penurunan approval rating itu disebabkan tingkat kepuasan publik yang juga turun terhadap penanganan masalah ekonomi nasional tahun lalu dibandingkan tahun ini. Pada survei Maret itu, warga yang merasa ekonomi nasional tahun ini lebih baik daripada tahun lalu hanya 23 persen. Bandingkan dengan November 2004 yang 41 persen dan Desember 2006 yang 33 persen. Tingkat kepuasan publik terhadap masalah ekonomi ini tampak sepadan dengan masih buruknya indikator kemiskinan dan pengangguran di masyarakat Indonesia.

Tingkat Kepuasan Rendah

Lepas dari apa sebab sesungguhnya penurunan approval rating terhadap SBY dan JK, hasil survei yang menunjukkan rendahnya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah merupakan "kado" yang tepat untuk ulang tahun separo jalan pemerintahan.

Di hari-hari seperti ini di mana republik masih mencari arah dan publik masih mengalami banyak kesulitan, kabar yang paling baik bukanlah kabar yang paling manis, tetapi justru kabar yang paling pahit. Sebabnya sudah kita maklumi semua: kabar baik cenderung melenakan dan kabar buruk akan membangkitkan kesadaran.

Evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah itu sendiri tidak bisa dan tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang statis. Survei adalah snapshot atau gambaran pada suatu waktu tertentu, yakni waktu dilaksanakannya survei. Tingkat kepuasan publik terhadap SBY-JK seperti tampak dari serial hasil survei LSI semenjak akhir tahun 2004 sampai sekarang memang naik turun bagaikan lintasan roller coaster.

Di awal pemerintahan, misalnya, approval rating terhadap SBY pernah mencapai angka 80 persen. Angka ini turun menjadi 65 persen pada April 2005, tapi naik lagi menjadi 71 persen pada Juli 2005. Angka itu turun lagi sampai 55 persen pada Maret 2006, tapi naik signifikan ke 67 persen pada November tahun yang sama.

Jika ditelusuri lebih mendalam, penurunan tingkat kepuasan publik terhadap SBY-JK biasanya terjadi setelah pemerintah membuat keputusan atau kebijakan publik yang tidak populer, terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat luas seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Solusinya tentu pemerintah jangan mengambil keputusan yang tidak populis.

Kalaupun harus diambil, keputusan itu harus didahului penjelasan yang memadai kepada publik dan harus diikuti dengan mekanisme "jaring pengaman" serta bukti konkret bahwa pada akhirnya keputusan yang tidak populis itu akan mampu memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Penurunan-penurunan pada tingkat kepuasan publik Indonesia menunjukkan bahwa jaring pengaman dan bukti konkret itu belum mampu dibuat pemerintah. Andai pemerintah piawai mengelola kebijakan publik, angka approval rating mestinya terus naik secara gradual. Seandainya SBY bisa menciptakan mekanisme ini, meski sangat sulit, boleh jadi tingkat kepuasan terhadapnya akan kembali ke 80 persen seperti di awal pemerintahan.

Bukan tidak mungkin angka ini diperoleh kembali oleh SBY menjelang pemilu presiden 2009, sebagaimana tingkat kepuasan terhadap Fadel Muhammad, incumbent sekaligus calon gubernur Gorontalo, menembus angka 80 persen pada pilkada 2006 yang lalu. Dalam separo masa jabatan yang tersisa, terserah pada SBY-JK untuk memilih jalan menurun atau mendaki.

*. Muhammad Qodari, direktur eksekutif Indo Barometer (IB), Jakarta
http://www.jawapos. co.id/index. php?act=detail_ c&id=281505

No comments: