
Carlos Slim, Manusia Terkaya Dunia
Investor-Indonesia, 5 Juli 2007
Setelah 13 tahun menduduki posisi teratas sebagai orang terkaya dunia, Bill Gates harus rela menyerahkan “mahkota” itu kepada taipan telekomunikasi dari Meksiko Carlos Slim yang kekayaannya meningkat drastis menjadi US$ 67,8 miliar menyusul meningkatnya harga saham America Movil.
Tiga bulan lalu, secara tak terduga Slim berhasil menggeser investor legendaris asal Amerika Serikat (AS) Warren Buffett dari posisi kedua sehingga menenpatkan bos Hathaway Berkshire itu ke posisi ketiga. Kini, jumlah kekayaan Slim menyalip Bill Gates atau lebih tinggi US$ 8,6 miliar dibanding kekayaan pendiri Microsoft yang ditaksir berjumlah US$ 59,2 miliar.
Posisi puncak Slim tersebut merupakan hasil pemeringkatan sebuah situs finansial Meksiko, Sentido Común. Pendiri Sentido Común Eduardo Garcia mengklaim, pada April 2007 kekayaan Slim melonjak tidak saja melampaui Buffett tetapi juga Gates.
“Ketika saya menempatkan Slim pada posisi puncak tiga bulan lalu, Forbes menurunkannya ke posisi kedua beberapa hari kemudian. Mari kita lihat apa itu akan terjadi lagi,” kata Garcia kepada Reuters.
Menurut Garcia, tidak diragukan lagi bahwa taipan Meksiko itu kini menempati posisi puncak. Saham America Movil melonjak 27% selama kuartal kedua, lebih tinggi dibanding kenaikan saham Microsoft yang hanya 5,7%. Sedangkan saham bank milik Slim, Inbursa, menguat 20%. Setiap bulan selama tahun ini, kekayaan Slim meningkat US$ 3,5 miliar.
Secara akumulatif, selama satu tahun ini saham America Movil yang merupakan operator seluler terkemuka di Amerika Latin telah naik 39%. Selain itu, Slim juga mempunyai perusahaan telepon jalur tetap yang diberi nama Telefonos de Mexico.
Perusahaan yang menguasai pangsa pasar 90% di Meksiko itu harganya menguat 34%. Sedangkan perusahaan infrastruktur regionalnya, IDEAL, menguat 28%, melempuai kinerja rata-rata saham di bursa Meksiko yang ‘hanya’ 19,2%.
Slim telah lama dikenal sebagai ‘penyulap’ perusahaan undervalued menjadi perusahaan yang efisien dan menguntungkan. Ia dijuluki sebagai ‘Warren Buffett dari Amerika Latin’.
Banyak Beramal
Gates dikenal dunia bukan saja karena dinobatkan sebagai orang terkaya versi Forbes, tetapi juga karena sifatnya yang dermawan. Melalui Yayasan Bill & Melinda Gates, orang nomor satu di Microsoft itu telah menyumbangkan lebih dari US$ 29 miliar selama 2000 - 2004 saja.
Hal yang sama juga dilakukan Buffet yang berjanji untuk menyumbangkan miliaran dolar AS ke lembaga amal Gates. Kini muncul desakan publik agar Slim mau berbuat sama. Dalam wawancara dengan BusinessWeek beberapa waktu lalu, pebisnis jenius ini mengatakan, dia mulai meningkatkan aktivitas amalnya.
Sumbangan senilai US$ 1,2 miliar dari salah satu perusahaannya, Telmex Foundation, menjadikannya sebagai korporasi donatur terbesar di Amerika Latin. Namun Slim juga merogok kocek sendiri. Tahun lalu, dia menggandakan derma ke yayasan amal keluarganya, Carso Foundation, menjadi US$ 2,5 miliar.
Dalam beberapa minggu belakangan ini, Telmex Foundation memublikasikan program-program amalnya dalam bentuk iklan berwarna, satu halaman penuh, dan terbit setiap hari di koran-koran Meksiko. Program itu menawarkan antara lain penyediaan sepeda untuk anak-anak di perdesaan untuk memudahkan mereka pergi ke sekolah. Selain itu, program tersebut juga menawarkan operasi bedah gratis bagi orang miskin.
Baru-baru ini, Slim juga mengumumkan akan mendonasikan US$ 100 juta ke Yayasan Bill & Melinda Gates. Dalam wawancara baru-baru ini dengan New York Times, Slim berjanji, tidak ada batasan tertinggi untuk donasinya. Ditemani cerutu Kuba dan Diet Coke, Slim memaparkan visi tentang apa yang dia rencanakan dengan kekayaannya. “Ini adalah proyek kehidupan, ini adalah tantangan,” kata dia.
Menurut Slim, kemiskinan bisa dipecahkan dengan edukasi dan pekerjaan. “Anda tidak perlu mengajari orang memancing. Seperti kata pepatah, jangan beri ikan, tapi beri pancingnya. Anda hanya perlu mengajari orang menjual ikan sehingga dia bisa makan sesuatu yang lain selain ikan,” kata dia berfilosofi.
Selain itu, lanjut dia, sebelum mendapat edukasi, orang harus sehat. Ini dimulai dengan nutrisi bagi wanita hamil.
Slim adalah orang yang sangat detail dengan pembukuan dan statistik. Namun jika itu menyangkut amal, semua perhitungan tersebut tidak berlaku. Dia tidak pernah membukukan apa yang telah dia berikan dan hingga kini masih bingung mengenai mau disumbang ke mana uang dalam jumlah besar yang baru saja dihasilkannya.
Arturo Elias, menantu Slim yang ditunjuk untuk mengurusi amal, mengatakan bahwa Slim berencana membangun institut kesehatan dan pendidikan. Masing-masing akan didanai dengan donasi awal US$ 500 juta.
Institut yang lebih kecil di bidang olah raga untuk mendukung amatir dan mahasiswa juga akan didirikan kemudian. Slim menunjuk Dr Julio Frenk, mantan menteri kesehatan Meksiko yang merupakan salah satu calon kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun lalu, untuk membangun institut kesehatan. Institut itu akan berupaya mengatasi masalah kesehatan masyarakat, dengan mensponsori riset, mendukung program-program yang berhasil, dan menyebarkan informasi kesehatan.
Slim yang kini berusia 67 tahun adalah seorang duda dengan enam anak yang sudah dewasa. Dia menyerahkan operasional perusahaan-perusahaannya kepada putera-putera dan menantu laki-lakinya. “Dia ingin menjadi bagian dari dunia dan berpinsip bahwa orang tidak hanya hidup untuk terus-menerus mencari uang,” kata Rossana Fuentes-Berain, editor harian El Universal, yang telah mengikuti karier Slim selama 15 tahun terakhir.
Monopoli
Namun orang-orang yang skeptis mengatakan, nilai filantrofi Slim harus dibandingkan dengan kerusakan pada ekonomi yang diakibatkan monopoli perusahaan teleponnya. “Di satu sisi, saya memuji kedermawanannya. Namun akan lebih baik bagi Meksiko jika pertama-tama dia berhenti menghambat persaingan,” kata Denise Dresser, analis politik dan profesor di Instituto Tecnológico Autónomo de México.
Slim adalah putera seorang imigran dari Lebanon. Dia menjadi kaya dengan membeli perusahaan-perusahaan yang nyaris bangkrut dengan harga murah dan menjadikan mereka perusahaan yang menguntungkan. Dia berubah menjadi miliarder setelah pemerintah menjual perusahaan telepon pemegang monopoli telekomunikasi, Teléfonos de Mexico, pada 1990 kepada sebuah kelompok yang dipimpinnya bersama dengan France Télécom dan Southwestern Bell.
Meski dituduh mematikan kompetitor baru dan berupaya-upaya mempengaruhi regulator antimonopoli, Slim mengatakan, dia tidak pernah menentang masuknya pemain baru di sektor telekomunikasi.
Slim menyatakan, perusahaannya, Telmex, memiliki 90% jalur telepon Meksiko, namun para kompetitor telah ‘mencuri’ setengah dari jalur paling gemuk. “Kami tidak pernah menentang masuknya pesaing. Biarkan mereka masuk,” kata dia. (cundoko aprilianto)
Bill Gates, petingginya Microsoft, tercatat masih menjadi orang nomor satu untuk kategori milioner dalam daftar Forbes Magazine. Hingga Maret 2006, kekayaan Gates diperkirakan mencapai US$ 50 miliar. Jumlah itu kurang lebih setara dengan Rp 462 triliun.
Harta Gates bahkan unggul US$ 8 miliar dari kekayaan milik Warren Buffet, seorang businessman dan investor Amerika. Buffet duduk sebagai orang kedua terkaya di dunia setelah Bill Gates.
Tak hanya itu, kekayaan Gates juga lebih banyak US$ 28 miliar dari harta mantan mitranya, Paul Allen. Oleh Forbes Magazine, Paul Allen digolongkan sebagai orang ketujuh terkaya di dunia tahun 2005.
Nama pemain penting lain yang terjun di dunia teknologi dan masuk ke daftar orang terkaya di dunia yaitu Michael Dell. Seorang chairman perusahaan menufaktur komputer Texas. Dell duduk di peringkat 12 orang terkaya di dunia, dengan kekayaan US$ 17,1 miliar.
Di peringkat 15 ada Larry Ellison dari Oracle dengan total kekayaan US$ 16 miliar. Lalu ada Sergey Brin dan Larry Page dari perusahaan raksasa Internet Google. Berturut-turut Brin dan Page duduk di peringkat 26 dan 27, dengan kekayaan US$ 12,9 miliar dan US$ 12,8 miliar.
Sedangkan orang baru di dunia teknologi yang masuk di daftar milioner pada 2005 adalah Anurag Dikshit, duduk di peringkat ke-207 dengan kekayaan US$ 3,3 miliar. Dikshit adalah seorang businessman asal India yang kini menetap di Gibraltar. Dikshit memiliki sepertiga saham di perusahaan judi Internet PartyGaming.
Lalu ada sepasang suami istri asal Taiwan, Cher Wang dan Wenchi Chen, di posisi ke-365 dengan kekayaan US$ 2,1 miliar. Wang dan Chen adalah orang yang mengontrol perusahaan pembuat smartphone High Tech Computer. (sumber: detik)
A Lifetime of Planning Pays Off
"You gotta be crazy!" That's what Lee Dunham's friends told him back in 1971 when he gave up a secure job as a police officer and invested his life savings in the notoriously risky restaurant business. This particular restaurant was more than just risky, it was downright dangerous. It was the first McDonald's franchise in the city of New York - smack in the middle of crime-ridden Harlem.
Lee had always had plans. When other kids were playing ball in the empty lots of Brooklyn, Lee was playing entrepreneur, collecting milk bottles and returning them to grocery stores for the deposits. He had his own shoeshine stand and worked delivering newspapers and groceries. Early on, he promised his mother that one day she would never again have to wash other people's clothes for a living. He was going to start his own business and support her. "Hush your mouth and do your homework," she told him. She knew that no member of the Dunham family had ever risen above the level of laborer, let alone owned a business. "There's no way you're going to open your own business," his mother told him repeatedly.
Years passed, but Lee's penchant for dreaming and planning did not. After high school, he joined the Air Force, where his goal of one day owning a family restaurant began to take shape. He enrolled in the Air Force food service school and became such an accomplished cook he was promoted to the officers' dining hall.
When he left the Air Force, he worked for four years in several restaurants, including one in the famed Waldorf Astoria Hotel in New York. Lee longed to start his own restaurant but felt he lacked the business skills to be successful. He signed up for business school and took classes at night while he applied and was hired to be a police officer.
For fifteen years he worked full-time as a police officer. In his off-hours, he worked part-time as a carpenter and continued to attend business school. "I saved every penny I earned as a police officer," he recalled. "For ten years, I didn't spend one dime - there were no movies, no vacations, no trips to the ballpark. There were only work and study and my lifelong dream of owning my own business." By 1971, Lee had saved $42,000, and it was time for him to make his vision a reality.
Lee wanted to open an upscale restaurant in Brooklyn. With a business plan in hand, he set out to seek financing. The banks refused him. Unable to get funding to open an independent restaurant, lee turned to franchising and filled out numerous applications. McDonald's offered him a franchise, with one stipulation: Lee had to set up a McDonald's in the inner-city, the first to be located there. McDonald's wanted to find out if its type of fast-food restaurant could be successful in the inner city. It seemed that Lee might be the right person to operate that first restaurant.
To get the franchise, Lee would have to invest his life savings and borrow $150,000 more. Everything for which he'd worked and sacrificed all those years would be on the line - a very thin line if he believed his friends. Lee spent many sleepless nights before making his decision. In the end, he put his faith in the years of preparation he'd invested - the dreaming, planning, studying and saving - and signed on the dotted line to operate the first inner-city McDonald's in the United States.
The first few months were a disaster. Gang fights, gunfire, and other violent incidents plagued his restaurant and scared customers away. Inside, employees stole his food and cash, and his safe was broken into routinely. To make matters worse, Lee couldn't get any help from McDonald's headquarters; the company's representatives were too afraid to venture into the ghetto. Lee was on his own.
Although he had been robbed of his merchandise, his profits, and his confidence, Lee was not going to be robbed of his dream. Lee fell back on what he had always believed in - preparation and planning.
Lee put together a strategy. First, he sent a strong message to the neighborhood thugs that McDonald's wasn't going to be their turf. To make his ultimatum stick, he needed to offer an alternative to crime and violence. In the eyes of those kids, Lee saw the same look of helplessness he had seen in his own family. He knew that there was hope and opportunity in that neighborhood and he was going to prove it to the kids. He decided to serve more than meals to his community - he would serve solutions.
Lee spoke openly with gang members, challenging them to rebuild their lives. Then he did what some might say was unthinkable: he hired gang members and put them to work. He tightened up his operation and conducted spot checks on cashiers to weed out thieves. Lee improved working conditions and once a week he offered his employees classes in customer service and management. He encouraged them to develop personal and professional goals. He always stressed two things: his restaurant offered a way out of a dead-end life and the faster and more efficiently the employees served the customers, the more lucrative that way would be.
In the community, Lee sponsored athletic teams and scholarships to get kids off the streets and into community centers and schools. The New York inner-city restaurant became McDonald's most profitable franchise worldwide, earning more than $1.5 million a year. Company representatives who wouldn't set foot in Harlem months earlier now flocked to Lee's doors, eager to learn how he did it. To Lee, the answer was simple: "Serve the customers, the employees, and the community."
Today, Lee Dunham owns nine restaurants, employs 435 people, and serves thousands of meals every day. It's been many years since his mother had to take in wash to pay the bills. More importantly, Lee paved the way for thousands of African-American entrepreneurs who are working to make their dreams a reality, helping their communities, and serving up hope.
All this was possible because a little boy understood the need to dream, to plan, and to prepare for the future. In doing so, he changed his life and the lives of others.
Investor-Indonesia, 5 Juli 2007
Setelah 13 tahun menduduki posisi teratas sebagai orang terkaya dunia, Bill Gates harus rela menyerahkan “mahkota” itu kepada taipan telekomunikasi dari Meksiko Carlos Slim yang kekayaannya meningkat drastis menjadi US$ 67,8 miliar menyusul meningkatnya harga saham America Movil.
Tiga bulan lalu, secara tak terduga Slim berhasil menggeser investor legendaris asal Amerika Serikat (AS) Warren Buffett dari posisi kedua sehingga menenpatkan bos Hathaway Berkshire itu ke posisi ketiga. Kini, jumlah kekayaan Slim menyalip Bill Gates atau lebih tinggi US$ 8,6 miliar dibanding kekayaan pendiri Microsoft yang ditaksir berjumlah US$ 59,2 miliar.
Posisi puncak Slim tersebut merupakan hasil pemeringkatan sebuah situs finansial Meksiko, Sentido Común. Pendiri Sentido Común Eduardo Garcia mengklaim, pada April 2007 kekayaan Slim melonjak tidak saja melampaui Buffett tetapi juga Gates.
“Ketika saya menempatkan Slim pada posisi puncak tiga bulan lalu, Forbes menurunkannya ke posisi kedua beberapa hari kemudian. Mari kita lihat apa itu akan terjadi lagi,” kata Garcia kepada Reuters.
Menurut Garcia, tidak diragukan lagi bahwa taipan Meksiko itu kini menempati posisi puncak. Saham America Movil melonjak 27% selama kuartal kedua, lebih tinggi dibanding kenaikan saham Microsoft yang hanya 5,7%. Sedangkan saham bank milik Slim, Inbursa, menguat 20%. Setiap bulan selama tahun ini, kekayaan Slim meningkat US$ 3,5 miliar.
Secara akumulatif, selama satu tahun ini saham America Movil yang merupakan operator seluler terkemuka di Amerika Latin telah naik 39%. Selain itu, Slim juga mempunyai perusahaan telepon jalur tetap yang diberi nama Telefonos de Mexico.
Perusahaan yang menguasai pangsa pasar 90% di Meksiko itu harganya menguat 34%. Sedangkan perusahaan infrastruktur regionalnya, IDEAL, menguat 28%, melempuai kinerja rata-rata saham di bursa Meksiko yang ‘hanya’ 19,2%.
Slim telah lama dikenal sebagai ‘penyulap’ perusahaan undervalued menjadi perusahaan yang efisien dan menguntungkan. Ia dijuluki sebagai ‘Warren Buffett dari Amerika Latin’.
Banyak Beramal
Gates dikenal dunia bukan saja karena dinobatkan sebagai orang terkaya versi Forbes, tetapi juga karena sifatnya yang dermawan. Melalui Yayasan Bill & Melinda Gates, orang nomor satu di Microsoft itu telah menyumbangkan lebih dari US$ 29 miliar selama 2000 - 2004 saja.
Hal yang sama juga dilakukan Buffet yang berjanji untuk menyumbangkan miliaran dolar AS ke lembaga amal Gates. Kini muncul desakan publik agar Slim mau berbuat sama. Dalam wawancara dengan BusinessWeek beberapa waktu lalu, pebisnis jenius ini mengatakan, dia mulai meningkatkan aktivitas amalnya.
Sumbangan senilai US$ 1,2 miliar dari salah satu perusahaannya, Telmex Foundation, menjadikannya sebagai korporasi donatur terbesar di Amerika Latin. Namun Slim juga merogok kocek sendiri. Tahun lalu, dia menggandakan derma ke yayasan amal keluarganya, Carso Foundation, menjadi US$ 2,5 miliar.
Dalam beberapa minggu belakangan ini, Telmex Foundation memublikasikan program-program amalnya dalam bentuk iklan berwarna, satu halaman penuh, dan terbit setiap hari di koran-koran Meksiko. Program itu menawarkan antara lain penyediaan sepeda untuk anak-anak di perdesaan untuk memudahkan mereka pergi ke sekolah. Selain itu, program tersebut juga menawarkan operasi bedah gratis bagi orang miskin.
Baru-baru ini, Slim juga mengumumkan akan mendonasikan US$ 100 juta ke Yayasan Bill & Melinda Gates. Dalam wawancara baru-baru ini dengan New York Times, Slim berjanji, tidak ada batasan tertinggi untuk donasinya. Ditemani cerutu Kuba dan Diet Coke, Slim memaparkan visi tentang apa yang dia rencanakan dengan kekayaannya. “Ini adalah proyek kehidupan, ini adalah tantangan,” kata dia.
Menurut Slim, kemiskinan bisa dipecahkan dengan edukasi dan pekerjaan. “Anda tidak perlu mengajari orang memancing. Seperti kata pepatah, jangan beri ikan, tapi beri pancingnya. Anda hanya perlu mengajari orang menjual ikan sehingga dia bisa makan sesuatu yang lain selain ikan,” kata dia berfilosofi.
Selain itu, lanjut dia, sebelum mendapat edukasi, orang harus sehat. Ini dimulai dengan nutrisi bagi wanita hamil.
Slim adalah orang yang sangat detail dengan pembukuan dan statistik. Namun jika itu menyangkut amal, semua perhitungan tersebut tidak berlaku. Dia tidak pernah membukukan apa yang telah dia berikan dan hingga kini masih bingung mengenai mau disumbang ke mana uang dalam jumlah besar yang baru saja dihasilkannya.
Arturo Elias, menantu Slim yang ditunjuk untuk mengurusi amal, mengatakan bahwa Slim berencana membangun institut kesehatan dan pendidikan. Masing-masing akan didanai dengan donasi awal US$ 500 juta.
Institut yang lebih kecil di bidang olah raga untuk mendukung amatir dan mahasiswa juga akan didirikan kemudian. Slim menunjuk Dr Julio Frenk, mantan menteri kesehatan Meksiko yang merupakan salah satu calon kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun lalu, untuk membangun institut kesehatan. Institut itu akan berupaya mengatasi masalah kesehatan masyarakat, dengan mensponsori riset, mendukung program-program yang berhasil, dan menyebarkan informasi kesehatan.
Slim yang kini berusia 67 tahun adalah seorang duda dengan enam anak yang sudah dewasa. Dia menyerahkan operasional perusahaan-perusahaannya kepada putera-putera dan menantu laki-lakinya. “Dia ingin menjadi bagian dari dunia dan berpinsip bahwa orang tidak hanya hidup untuk terus-menerus mencari uang,” kata Rossana Fuentes-Berain, editor harian El Universal, yang telah mengikuti karier Slim selama 15 tahun terakhir.
Monopoli
Namun orang-orang yang skeptis mengatakan, nilai filantrofi Slim harus dibandingkan dengan kerusakan pada ekonomi yang diakibatkan monopoli perusahaan teleponnya. “Di satu sisi, saya memuji kedermawanannya. Namun akan lebih baik bagi Meksiko jika pertama-tama dia berhenti menghambat persaingan,” kata Denise Dresser, analis politik dan profesor di Instituto Tecnológico Autónomo de México.
Slim adalah putera seorang imigran dari Lebanon. Dia menjadi kaya dengan membeli perusahaan-perusahaan yang nyaris bangkrut dengan harga murah dan menjadikan mereka perusahaan yang menguntungkan. Dia berubah menjadi miliarder setelah pemerintah menjual perusahaan telepon pemegang monopoli telekomunikasi, Teléfonos de Mexico, pada 1990 kepada sebuah kelompok yang dipimpinnya bersama dengan France Télécom dan Southwestern Bell.
Meski dituduh mematikan kompetitor baru dan berupaya-upaya mempengaruhi regulator antimonopoli, Slim mengatakan, dia tidak pernah menentang masuknya pemain baru di sektor telekomunikasi.
Slim menyatakan, perusahaannya, Telmex, memiliki 90% jalur telepon Meksiko, namun para kompetitor telah ‘mencuri’ setengah dari jalur paling gemuk. “Kami tidak pernah menentang masuknya pesaing. Biarkan mereka masuk,” kata dia. (cundoko aprilianto)
Bill Gates, petingginya Microsoft, tercatat masih menjadi orang nomor satu untuk kategori milioner dalam daftar Forbes Magazine. Hingga Maret 2006, kekayaan Gates diperkirakan mencapai US$ 50 miliar. Jumlah itu kurang lebih setara dengan Rp 462 triliun.
Harta Gates bahkan unggul US$ 8 miliar dari kekayaan milik Warren Buffet, seorang businessman dan investor Amerika. Buffet duduk sebagai orang kedua terkaya di dunia setelah Bill Gates.
Tak hanya itu, kekayaan Gates juga lebih banyak US$ 28 miliar dari harta mantan mitranya, Paul Allen. Oleh Forbes Magazine, Paul Allen digolongkan sebagai orang ketujuh terkaya di dunia tahun 2005.
Nama pemain penting lain yang terjun di dunia teknologi dan masuk ke daftar orang terkaya di dunia yaitu Michael Dell. Seorang chairman perusahaan menufaktur komputer Texas. Dell duduk di peringkat 12 orang terkaya di dunia, dengan kekayaan US$ 17,1 miliar.
Di peringkat 15 ada Larry Ellison dari Oracle dengan total kekayaan US$ 16 miliar. Lalu ada Sergey Brin dan Larry Page dari perusahaan raksasa Internet Google. Berturut-turut Brin dan Page duduk di peringkat 26 dan 27, dengan kekayaan US$ 12,9 miliar dan US$ 12,8 miliar.
Sedangkan orang baru di dunia teknologi yang masuk di daftar milioner pada 2005 adalah Anurag Dikshit, duduk di peringkat ke-207 dengan kekayaan US$ 3,3 miliar. Dikshit adalah seorang businessman asal India yang kini menetap di Gibraltar. Dikshit memiliki sepertiga saham di perusahaan judi Internet PartyGaming.
Lalu ada sepasang suami istri asal Taiwan, Cher Wang dan Wenchi Chen, di posisi ke-365 dengan kekayaan US$ 2,1 miliar. Wang dan Chen adalah orang yang mengontrol perusahaan pembuat smartphone High Tech Computer. (sumber: detik)
A Lifetime of Planning Pays Off
"You gotta be crazy!" That's what Lee Dunham's friends told him back in 1971 when he gave up a secure job as a police officer and invested his life savings in the notoriously risky restaurant business. This particular restaurant was more than just risky, it was downright dangerous. It was the first McDonald's franchise in the city of New York - smack in the middle of crime-ridden Harlem.
Lee had always had plans. When other kids were playing ball in the empty lots of Brooklyn, Lee was playing entrepreneur, collecting milk bottles and returning them to grocery stores for the deposits. He had his own shoeshine stand and worked delivering newspapers and groceries. Early on, he promised his mother that one day she would never again have to wash other people's clothes for a living. He was going to start his own business and support her. "Hush your mouth and do your homework," she told him. She knew that no member of the Dunham family had ever risen above the level of laborer, let alone owned a business. "There's no way you're going to open your own business," his mother told him repeatedly.
Years passed, but Lee's penchant for dreaming and planning did not. After high school, he joined the Air Force, where his goal of one day owning a family restaurant began to take shape. He enrolled in the Air Force food service school and became such an accomplished cook he was promoted to the officers' dining hall.
When he left the Air Force, he worked for four years in several restaurants, including one in the famed Waldorf Astoria Hotel in New York. Lee longed to start his own restaurant but felt he lacked the business skills to be successful. He signed up for business school and took classes at night while he applied and was hired to be a police officer.
For fifteen years he worked full-time as a police officer. In his off-hours, he worked part-time as a carpenter and continued to attend business school. "I saved every penny I earned as a police officer," he recalled. "For ten years, I didn't spend one dime - there were no movies, no vacations, no trips to the ballpark. There were only work and study and my lifelong dream of owning my own business." By 1971, Lee had saved $42,000, and it was time for him to make his vision a reality.
Lee wanted to open an upscale restaurant in Brooklyn. With a business plan in hand, he set out to seek financing. The banks refused him. Unable to get funding to open an independent restaurant, lee turned to franchising and filled out numerous applications. McDonald's offered him a franchise, with one stipulation: Lee had to set up a McDonald's in the inner-city, the first to be located there. McDonald's wanted to find out if its type of fast-food restaurant could be successful in the inner city. It seemed that Lee might be the right person to operate that first restaurant.
To get the franchise, Lee would have to invest his life savings and borrow $150,000 more. Everything for which he'd worked and sacrificed all those years would be on the line - a very thin line if he believed his friends. Lee spent many sleepless nights before making his decision. In the end, he put his faith in the years of preparation he'd invested - the dreaming, planning, studying and saving - and signed on the dotted line to operate the first inner-city McDonald's in the United States.
The first few months were a disaster. Gang fights, gunfire, and other violent incidents plagued his restaurant and scared customers away. Inside, employees stole his food and cash, and his safe was broken into routinely. To make matters worse, Lee couldn't get any help from McDonald's headquarters; the company's representatives were too afraid to venture into the ghetto. Lee was on his own.
Although he had been robbed of his merchandise, his profits, and his confidence, Lee was not going to be robbed of his dream. Lee fell back on what he had always believed in - preparation and planning.
Lee put together a strategy. First, he sent a strong message to the neighborhood thugs that McDonald's wasn't going to be their turf. To make his ultimatum stick, he needed to offer an alternative to crime and violence. In the eyes of those kids, Lee saw the same look of helplessness he had seen in his own family. He knew that there was hope and opportunity in that neighborhood and he was going to prove it to the kids. He decided to serve more than meals to his community - he would serve solutions.
Lee spoke openly with gang members, challenging them to rebuild their lives. Then he did what some might say was unthinkable: he hired gang members and put them to work. He tightened up his operation and conducted spot checks on cashiers to weed out thieves. Lee improved working conditions and once a week he offered his employees classes in customer service and management. He encouraged them to develop personal and professional goals. He always stressed two things: his restaurant offered a way out of a dead-end life and the faster and more efficiently the employees served the customers, the more lucrative that way would be.
In the community, Lee sponsored athletic teams and scholarships to get kids off the streets and into community centers and schools. The New York inner-city restaurant became McDonald's most profitable franchise worldwide, earning more than $1.5 million a year. Company representatives who wouldn't set foot in Harlem months earlier now flocked to Lee's doors, eager to learn how he did it. To Lee, the answer was simple: "Serve the customers, the employees, and the community."
Today, Lee Dunham owns nine restaurants, employs 435 people, and serves thousands of meals every day. It's been many years since his mother had to take in wash to pay the bills. More importantly, Lee paved the way for thousands of African-American entrepreneurs who are working to make their dreams a reality, helping their communities, and serving up hope.
All this was possible because a little boy understood the need to dream, to plan, and to prepare for the future. In doing so, he changed his life and the lives of others.
No comments:
Post a Comment