Tuesday, June 19, 2007

Bung Karno dan Musik Ngak-ngik-ngok


Pada masa remaja di tahun 1960-an saya tidak bisa mengerti tindakan
Bung Karno yang melarang lagu-lagu dari Barat yang disebutnya sebagai
musik ngak-ngik-ngok. Waktu itu sebuah lagu dari kelompok The Beatles
yang berjudul Send Me The Pillow sedang melanda dunia. Saya pun sangat
menyukainya karena irama lagu itu bisa menghanyutkan jiwa remaja saya.
Tindakan Bung Karno tidak hanya sampai di sini. Musik ngak-ngik-ngok
buatan dalam negeri pun dilarang beredar. Lagu 'Oh, Kasihku' ciptaan
Koes Bersaudara (kemudian berubah nama menjadi Koes Plus) dan lagu
'Boneka dari India' yang dinyanyikan Elya Agus (kemudian berubah nama
menjadi Elya M Haris, Elya Khadam dst) juga dilarang. Bahkan Koes
Bersaudara dan Elya Agus kemudian dipenjarakan.

Mengapa Bung Karno begitu? Memangnya anak muda tidak boleh
bersenang-senang? Alasan Bung Karno seperti yang amat sering
dipidatokan, musik ngak-ngik-ngok yang biasa diiringi dansa-dansi akan
merusak mental para pemuda.

Menurut bahasa Bung Karno, musik produk imperialis/kapitali s itu akan
melemahkan semangat juang para pemuda dan akan menghancurkan nilai
kepribadian bangsa. Bung Karno yang memang jadi pejuang bangsa sejak
usia muda agaknya punya alasan kuat untuk mengatakan keyakinan itu.

Bung Karno juga pasti tahu pada 1960-an itu kaum muda di Cina, Jepang,
atau Korea masih menahan diri untuk hidup berhura-hura karena mereka
sadar harus berjuang dan bekerja keras demi kemajuan masyarakat dan
bangsanya. Maka para pemuda Indonsia pun oleh Bung karno dilarang
berngak-ngik- ngok dan diminta untuk lebih giat bekerja.

Sayang, Bung Karno jatuh pada 1966, dan suasana sangat cepat berubah.
Terjadi euforia desukarnoisasi di semua bidang. Di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya bermunculan pemancar radio yang dikelola oleh
anak-anak muda. Lalu membanjirlah lagu-lagu Barat yang sebelumnya
dilarang. Koran-koran picisan terbit dengan mudah dan bebas. Maka
bukan hanya lagu, semua produk budaya pop dan gaya hidup yang dulu
ditentang Bung Karno membanjir.

Memang ada sedikit perlawanan dari anak-anak muda yang masih
menyisakan idealisme kerakyatan, seperti yang terlihat dalam peristiwa
Malari tahun 1974. Tapi gerakan perlawanan ini ditumpas habis oleh
kekuatan besar yang sedang tumbuh, orde baru. Tanggal 6 Juni kemarin
adalah hari lahir Bung Karno (1901). Saya jadi teringat kembali
tindakan Bung Karno lebih dari 40 tahun lalu yang melarang pemuda
Indonesia ber-ngak-ngik- ngok. Dulu saya bingung, namun sekarang saya
bisa lebih mengerti.

Ternyata musik jenis ini bisa menjadi pembuka bagi masuknya gaya hidup
sangat pragmatis, cair dan hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif.
Itulah yang ingin dicegah Bung Karno. Dengan ngak-ngik-ngok yang
mendayu-dayu para pemuda mudah terlena dan mudah tercerabut dari
nilai-nilai idealisme. Apalagi bila musik itu disertai gaya pergaulan
longgar serta dibumbui alkohol dan narkoba. Maka hasilnya bisa dilihat
dengan jelas di sekeliling kita sekarang ini.

Rata-rata pemuda masa kini ingin segera bisa hidup enak tapi dengan
cara yang cepat dan mudah. Instan. Santai. Amat konsumtif. (Hormat
untuk minoritas anak muda yang mau belajar atau bekerja keras dengan
cara berjualan mi ayam, jadi buruh pabrik, PKL, TKI, dsb). Namun
selebihnya seperti hanya menuruti jebakan kaum modal yang dulu sengaja
menghadirkan musik ngak-ngik-ngok yang tidak disukai Bung Karno.

Gaya hidup pragmatis, santai, dan amat konsumtif para pemuda sekarang
bisa bisa dibuktikan dari berbagai hal. Misalnya, konsumsi rokok yang
luar biasa besarnya sehingga bangsa ini menjadi bangsa perokok
terbesar di dunia. Di kampus-kampus, kantin dan kafe lebih ramai
daripada perpustakaan. Kebutuhan pulsa jauh mengalahkan kebutuhan akan
buku.

Sebagian besar pemuda Indonesia punya prestasi rendah di bidang
akademik. Juga di bidang olehraga. Sebaliknya, hasrat untuk
mengonsumsi semua barang yang ditawarkan terutama melalui media TV
sangatlah besar. Melalui semua media yang tersedia kaum modal telah
berhasil mengubah masyarakat, terutama kaum muda, bukan hanya jadi
manusia pragmatis dan konsumtif melainkan juga hidup dalam dunia
sensasi. Kaum modal memang tahu, masyarakat yang sudah masuk perangkap
sensasi sangat mudah menjadi pembeli barang yang mereka buat, baik
barang itu benar-benar dibutuhkan atau hanya diinginkan.

Empat puluh tahun lalu Bung Karno pasti sudah menduga keadaan ini akan
terjadi dan dia sudah berupaya menyegahnya. Tetapi banyak orang tidak
percaya bahkan menertawakannya. Termasuk saya! Saya menyesal telah
ikut-ikutan menyepelekan pikiran Bung Karno yang futuristik ini.
Sayang sudah terlambat. Namun setidaknya saya masih bisa mengingatkan
kepada kelima anak saya: hiduplah dengan idealisme untuk menjadi
manusia yang sehat lahir batin dan produktif. Untuk Bung Karno, semoga
perjuanganmu bagi bangsa ini menjadi amal ibadah yang diterima Allah
SWT. (RioL)

No comments: