
Roddick Masuk Hitungan
Andy Roddick merasa gusar. Belakangan, orang seolah mengabaikan pemain AS itu dalam daftar kandidat juara di Wimbledon.
Andy Roddick, bukan cuma penggembira.
Kehebatan Roger Federer di lapangan rumput kompleks All England, London, empat tahun terakhir seolah membuat pemain lain hanya penggembira. Tahun ini, pemain Swiss itu kembali dijagokan untuk meraih gelar juara kelimanya secara beruntun di Wimbledon, yang akan berputar 25 Juni-8 Juli.
Alhasil, Roddick pun sedikit gerah karena tak dilirik. Padahal ia runner-up 2004 dan 2005. Finalis tahun lalu yang lebih piawai di lapangan tanah, Rafael Nadal, malah lebih diperhitungkan.
"Saya sangat ingin juara di Wimbledon. Sebelumnya nyaris saja. Mungkin itulah sasaran utama dalam karier saya. Anda mungkin menganggap Roger sebagai favorit juara. Tapi, saya pun pantas diunggulkan," ujar Roddick, seperti dirilis AFP.
Bantuan Connors
Roddick tak asal bicara. Peringkat kelima dunia itu sudah menunjukkan ancamannya dengan menjuarai turnamen pemanasan Stella Artois di London. Pada final Minggu (17/6), ia menundukkan "pembunuh raksasa" Nicolas Mahut asal Prancis, yang di babak sebelumnya mengalahkan dua pemain 10 besar, Nadal dan Ivan Ljubicic dari Kroasia. Roddick menang 4-6, 7-6 (7), 7-6 (2).
Kehadiran mantan pemain terbaik dunia, Jimmy Connors, sebagai pelatih membuat rasa percaya diri Roddick bertambah. Pengalaman Connors berkali-kali jadi juara grand slam dinilai sangat membantunya.
"Dia tahu caranya agar bisa sukses di lapangan rumput," komentar Roddick mengenai juara Wimbledon 1982 itu.
Bagaimana dengan Federer? Ia jelas mengincar rekor legenda Swedia, Bjorn Borg, yang bisa jadi juara di Wimbledon lima kali berturutan (1976-80). Namun, dia juga tak keberatan bila ada pemain yang mematahkan dominasinya.
"Saya memang selalu nyaman main di Wimbledon, tapi banyak yang lupa saya pun sering kalah di babak pertama. Saya tak merasa tak ada orang yang bisa mengalahkan saya. Salah besar menganggap enteng pemain lain," ungkap pemain nomor satu itu.
Asal tahu saja, pada 2002, Federer dikalahkan remaja Kroasia, Mario Ancic, di babak pertama. Namun, setelah itu, tak ada yang bisa membendungnya.
"Waktu junior, saya selalu gugup main di sini. Ini turnamen terbesar di mata saya, tapi juga sangat menakutkan," tambah Federer, yang juga tumbang di babak pertama pada 1999 dan 2000. (Rahayu Widiyarti/Foto: Getty Images)
Si Kolot Tak Lagi Kuno
Wimbledon dikenal dengan tradisinya yang kaku dan kolot. Para pemain harus tampil dengan pakaian putih-putih. Belum lagi kalau ada keluarga kerajaan Inggris yang menonton, pemain harus membungkuk memberi hormat. Untungnya tradisi memberi hormat ini sudah dihilangkan sejak 2003, kecuali kalau Ratu Elizabeth atau Pangeran Charles datang menonton di kompleks All England ini.
Namun, bukan berarti turnamen akbar kental tradisi ini tak mau membuka diri terhadap kemajuan. Buktinya mereka bersedia menggunakan teknologi hawk-eye, yang akan memetakan jatuhnya bola dengan jeli. Bantuan"mata elang" ini akan dipakai di lapangan utama dan lapangan 1 selama turnamen berlangsung, 25 Juni-8 Juli.
Bukan hanya itu, jumlah hadiah untuk putra dan putri sekarang juga sudah disamakan. Jadi tak ada lagi cuap-cuap dari pemain putri yang merasa layak diberi imbalan sama dengan putra karena merasa penampilannya tak kalah menarik.
Wimbledon menjadi grand slam ketiga yang menyetarakan hadiah dan menggunakan hawk-eye setelah AS dan Australia Terbuka. Justru sekarang Prancis Terbuka yang terlihat kuno karena masih membedakan hadiah dan belum berniat menggunakan hawk-eye.
"Tradisi memang selalu berlaku di sini: pakaian putih-putih dan hal-hal di sekitar yang terkesan kuno. Tapi, kalau kami merasa bisa mengembangkan turnamen, rasanya memang hal harus dilakukan," komentar pemain AS, Andy Roddick, seperti dikutip AP.
Satu kemajuan lagi yang akan bisa dinikmati di Wimbledon adalah atap buka-tutup di lapangan utama, yang rencananya bakal rampung pada 2009. Diharapkan penampilan para pemain top tak lagi terputus oleh hujan yang menjadi pengganggu langganan di turnamen ini.
"Kami sungguh ingin mempertahankan tradisi, tapi kami pun ingin ada kemajuan," kata Ian Ritchie, Ketua Eksekutif All England Club. (yuk)
Andy Roddick merasa gusar. Belakangan, orang seolah mengabaikan pemain AS itu dalam daftar kandidat juara di Wimbledon.
Andy Roddick, bukan cuma penggembira.
Kehebatan Roger Federer di lapangan rumput kompleks All England, London, empat tahun terakhir seolah membuat pemain lain hanya penggembira. Tahun ini, pemain Swiss itu kembali dijagokan untuk meraih gelar juara kelimanya secara beruntun di Wimbledon, yang akan berputar 25 Juni-8 Juli.
Alhasil, Roddick pun sedikit gerah karena tak dilirik. Padahal ia runner-up 2004 dan 2005. Finalis tahun lalu yang lebih piawai di lapangan tanah, Rafael Nadal, malah lebih diperhitungkan.
"Saya sangat ingin juara di Wimbledon. Sebelumnya nyaris saja. Mungkin itulah sasaran utama dalam karier saya. Anda mungkin menganggap Roger sebagai favorit juara. Tapi, saya pun pantas diunggulkan," ujar Roddick, seperti dirilis AFP.
Bantuan Connors
Roddick tak asal bicara. Peringkat kelima dunia itu sudah menunjukkan ancamannya dengan menjuarai turnamen pemanasan Stella Artois di London. Pada final Minggu (17/6), ia menundukkan "pembunuh raksasa" Nicolas Mahut asal Prancis, yang di babak sebelumnya mengalahkan dua pemain 10 besar, Nadal dan Ivan Ljubicic dari Kroasia. Roddick menang 4-6, 7-6 (7), 7-6 (2).
Kehadiran mantan pemain terbaik dunia, Jimmy Connors, sebagai pelatih membuat rasa percaya diri Roddick bertambah. Pengalaman Connors berkali-kali jadi juara grand slam dinilai sangat membantunya.
"Dia tahu caranya agar bisa sukses di lapangan rumput," komentar Roddick mengenai juara Wimbledon 1982 itu.
Bagaimana dengan Federer? Ia jelas mengincar rekor legenda Swedia, Bjorn Borg, yang bisa jadi juara di Wimbledon lima kali berturutan (1976-80). Namun, dia juga tak keberatan bila ada pemain yang mematahkan dominasinya.
"Saya memang selalu nyaman main di Wimbledon, tapi banyak yang lupa saya pun sering kalah di babak pertama. Saya tak merasa tak ada orang yang bisa mengalahkan saya. Salah besar menganggap enteng pemain lain," ungkap pemain nomor satu itu.
Asal tahu saja, pada 2002, Federer dikalahkan remaja Kroasia, Mario Ancic, di babak pertama. Namun, setelah itu, tak ada yang bisa membendungnya.
"Waktu junior, saya selalu gugup main di sini. Ini turnamen terbesar di mata saya, tapi juga sangat menakutkan," tambah Federer, yang juga tumbang di babak pertama pada 1999 dan 2000. (Rahayu Widiyarti/Foto: Getty Images)
Si Kolot Tak Lagi Kuno
Wimbledon dikenal dengan tradisinya yang kaku dan kolot. Para pemain harus tampil dengan pakaian putih-putih. Belum lagi kalau ada keluarga kerajaan Inggris yang menonton, pemain harus membungkuk memberi hormat. Untungnya tradisi memberi hormat ini sudah dihilangkan sejak 2003, kecuali kalau Ratu Elizabeth atau Pangeran Charles datang menonton di kompleks All England ini.
Namun, bukan berarti turnamen akbar kental tradisi ini tak mau membuka diri terhadap kemajuan. Buktinya mereka bersedia menggunakan teknologi hawk-eye, yang akan memetakan jatuhnya bola dengan jeli. Bantuan"mata elang" ini akan dipakai di lapangan utama dan lapangan 1 selama turnamen berlangsung, 25 Juni-8 Juli.
Bukan hanya itu, jumlah hadiah untuk putra dan putri sekarang juga sudah disamakan. Jadi tak ada lagi cuap-cuap dari pemain putri yang merasa layak diberi imbalan sama dengan putra karena merasa penampilannya tak kalah menarik.
Wimbledon menjadi grand slam ketiga yang menyetarakan hadiah dan menggunakan hawk-eye setelah AS dan Australia Terbuka. Justru sekarang Prancis Terbuka yang terlihat kuno karena masih membedakan hadiah dan belum berniat menggunakan hawk-eye.
"Tradisi memang selalu berlaku di sini: pakaian putih-putih dan hal-hal di sekitar yang terkesan kuno. Tapi, kalau kami merasa bisa mengembangkan turnamen, rasanya memang hal harus dilakukan," komentar pemain AS, Andy Roddick, seperti dikutip AP.
Satu kemajuan lagi yang akan bisa dinikmati di Wimbledon adalah atap buka-tutup di lapangan utama, yang rencananya bakal rampung pada 2009. Diharapkan penampilan para pemain top tak lagi terputus oleh hujan yang menjadi pengganggu langganan di turnamen ini.
"Kami sungguh ingin mempertahankan tradisi, tapi kami pun ingin ada kemajuan," kata Ian Ritchie, Ketua Eksekutif All England Club. (yuk)
No comments:
Post a Comment