Oleh : M Yusuf Ibrahim
BUAYA jenis binatang yang sangat buas. Buaya hidup di sungai-sungai dan ada juga buaya yang hidup di darat melalui penangkaran buaya. Orang menamainya dengan sebutan buaya darat. Buaya tidak akan memangsa manusia bila tidak diganggu oleh manusia. Kemudian bila buaya sudah kenyang, buaya naik ke darat dan selalu menganggakan mulutnya menunggu makanan ringan berupa lalat-lalat kecil untuk disantapnya sambil menanti masa kawin buaya.
Ketika buaya di sungai sedang kawin dan dilihat oleh manusia maka buaya akan menyerang manusia sebab buaya beranggapan manusia telah menggangu ketenangan dan kenikmatan buaya, yang segenap kemampuannya akan berproses untuk melanjutkan keturunannya. Buaya akan menjadi ganas apabila keturunanya ditangkap dan dimangsa oleh manusia. Akibatnya buaya akan mengejar manusia dan bila manusia tertangkap, buaya akan memangsa manusia. Setelah itu, manusia akan mencari dan menangkap buaya untuk diminta pertanggungjawabann ya. Ketika buaya tertangkap, buaya berserah diri, menangis, mata berair. Itulah air mata buaya, sebagai pertanda buaya menyesali atas perbuatannya karena buaya memangsa manusia yang bukan mengganggu atau menangkap keturunan buaya. Disinilah buaya menyesali perbuatannya, namun buaya tetap bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya terhadap manusia yang tidak berdosa dengan menangis dan mengeluarkan air mata buaya.
Air mata buaya sebagai pertanggungjawabann ya atas perbuatannya terhadap manusia sangat berbeda dengan perilaku dari manusia itu sendiri. Manusia cenderung menghindari pertanggungjawabann ya apabila telah melakukan kesalahan. Manusia dengan segenap daya upaya berusaha untuk menutupi kesalahan dengan berlindung di balik kata praduga tak bersalah, walaupun dalam hatinya ia mengaku telah berbuat kesalahan baik terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Tidak heran untuk memberikan keyakinan kepada orang lain bahwa ia tidak melakukan kesalahan dan dibuktikannya dengan mengeluarkan air mata dan menangis sejadi-jadinya. Itulah air mata manusia yang berbeda dengan air mata buaya.
Air mata manusia dan air mata buaya mempunyai makna yang berbeda. Air mata menusia bermakna menghindari dan / atau menutupi kesalahan dan sekaligus menghindari rasa tanggungjawab melalui belas kasihan orang lain terhadap dirinya. Sedangkan air mata buaya benar-benar bermakna dan bernuansa rasa penyesalan dan tanggungjawabnya terhadap manusia. Bahkaan untuk mempertanggungjawab kan perbuatannya, buaya rela mati ditangan manusia. Bagaimana dengan manusia? Manusia dalam melaksanakan tugasnya akan nampak sifat rakus dan serakah serta haus dengan materi. Walaupun materi yang diperoleh bertentangan dengan hati nurani sebagai insan manusia yang beriman. Iman ditinggalkan, dosa dikejar dalam mencari rezeki walaupun diperoleh di atas penderitaan orang lain. Halal, haram, hantam, tiga kata sudah terpateri dengan lempengan emas didalam hatinya dengan memancarkan sinar kerakusan, keserakahan, dan kehausan dengan menggadaikan atribut yang melekat dalam dirinya sebagai abdi masyarakat, bangsa dan Negara yang taat hukum.
Namun, melalui pola pikir, pola sikap dan pola tingkah lakunya tidak menggambarkan orang yang baik. Orang yang baik adalah orang yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, bangsa dan negaranya. Tapi sebaliknya, orang yang tidak baik, ia senantiasa memperkaya diri dengan memperdaya dirinya sebagai manusia berpikir, namun pikirannya meracuni hidup rakyat, yang penting ia puas dengan berbagai status yang melekat dalam dirinya sebagai koruptor. Sangat pantas kalau kita menamainya manusia serakah dan buaya darat yang senantiasa menanti korban-korban berikutnya melalui alih kepemimpinan. Setelah jadi pemimpin ia kadang kala mendapat sebutan pemimpin buaya.
Pemimpin buaya senantiasa mencari peluang apa yang dapat dimakan dengan lahap, walaupun makanan yang dimakan berasal dari hak rakyat yang harus disampaikan ke rakyat atau kelihaiannya mengotak-atik anggaran melalui hitungan kali, tambah dan kurang, namun tidak pandai membagi tetapi tanggungjawabnya dipikul bersama.
Tidak itu saja, ketika musibah tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004 dan Pangandaran Jawa Barat tahun 206 disaat itu ada manusia buaya yang senantiasa berenang di atas deraian air mata kesedihan rakyat Aceh dan rakyat Pangandaran Jawa Barat. Mencari makan di atas jeritan pilu hati rakyat yang tertimpa musibah. Ia tidak membantu, namun senantiasa mencari kesempatan dalam kesempitan. Ia bersorak-sorai ketika makanan dan/atau rezeki didapat dengan menumpuk uang dibalik rekening bank yang telah dipersiapkannya. Dengan maksud agar rekening bank dijamin kerahasiaannya dan sulit untuk dilacak. Inilah manusia buaya yang senantiasa haus dan mencari minum dari air mata rakyat yang dihimpit kesedihan.
Namun tidak itu saja, di kalangan lembaga terhormat seperti DPRD yang senantiasa menamai dirinya sebagai wakil rakyat, perbuatan korupsi di lembaga tersebut sarat dengan makna rakyat makan rakyat. Banyak uang rakyat yang dikorupsinya. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2004, terdapat 102 perkara korupsi DPRD dengan total kerugian Negara sebesar Rp.772 Miliar. Dari 102 perkara korupsi DPRD yang terungkap, paling tidak sebanyak 1.437 orang anggota DPRD di seluruh Indonesia yang telah diproses secara hukum, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan hingga yang telah diputus oleh pengadilan. Pada periode hingga tahun 2004 terdapat 1.115 anggota DPRD daerah yang menjalani proses pemeriksaan karena dugaan korupsi baik oleh kepolisiian maupun kejaksaan. Umumnya, perkara korupsi seperti tersebut di atas merupakan pelanggaran terhadap PP 110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD sebagai rujukan pengusutan kasus korupsi APBD, sementara PP tersebut sudah dicabut Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 9 September 2002. Akan tetapi kasus korupsi APBD yang terjadi ketika PP ini masih berlaku tentu tetap layak ditindaklanjuti (Media Indonesia, tanggal 2 Oktober 2006).
Sekarang manusia buaya sudah ada yang tertangkap dan sudah diproses melalui hukum dan dikenai sangsi hukum. Air mata berlinang, menatap langit yang tak nampak langit, menikmati udara pengab dibalik istana jeruji besi, bersantap nasi dengan sayur bening rasa hambar dengan ikan asin bulu ayam. Dengan terpaksa nasi beserta lauk pauknya ditelan tanpa dikunyah dengan linangan air mata kesedihan. Inilah air mata buaya. Demikian semoga tulisan ini ada manfaatnya.* *
Dari Perbedaan Visi ke Penggadaian Negara
Kamis, 21-02-2008 | 00:30:10
Privatisasi BUMN adalah pengebirian peran pemerintah di sektor publik, sembari melicinkan jalan dominasi swasta lewat mekanisme pasar.
Sepak terjang kebijakan ekonomi Indonesia serasa makin sulit untuk dipahami. Pada 2008 ini, pemerintah menargetkan privatisasi 48 BUMN. BUMN yang akan dijual adalah yang paling sehat, relatif selama dua tahun terakhir. Alasannya agar harganya tinggi. Disamping itu, pemerintah berencana melaksanakan unbundling PT PLN yakni memecahnya ke sejumlah perusahaan swasta.
Untuk merespon tingginya harga kedelai, pemerintah membuka seluasnya keran impor. Solusi darurat (mungkin?) itu tanpa diiringi langkah yang jelas dalam membangun kemandirian. Kebijakan perdagangan lainnya dalam konteks yang sama juga dilakukan bagi BBM, CPO, tepung dan lain-lain meski dalam bentuk yang berlainan.
Tahun lalu, UU Penanaman Modal dibuat untuk menguatkan posisi asing. Padahal dalam sejarah, tidak ada satu negara pun yang mampu menyejahterakan rakyat melalui investasi asing.
Privatisasi BUMN adalah pengebirian peran pemerintah di sektor publik, sembari melicinkan jalan dominasi swasta lewat mekanisme pasar. Sesuai falsafah demokrasi ekonomi Indonesia (UUD 1945), pelaku ekonomi terdiri atas negara, koperasi dan swasta. Aplikasinya diarahkan dalam keserasian, keseimbangan dan keselarasan yang bebas dari setiap ekstrem.
Fungsi pemerintah, mengendalikan eksploitasi sumberdaya untuk menjamin kemanfaatanya bagi kemakmuran rakyat. Sebaliknya, swasta dengan insting kapitalisnya selalu berusaha mengedepankan keuntungan pribadi dengan mengabaikan aspek equity dan sustainability. Jika dibiarkan mendominasi semua aspek, apalagi terkait penyediaan barang publik, niscaya kepentingan khalayak tidak terjamin.
Seharusnya proses pembangunan dapat membawa Indonesia dari early state of development menuju later state of development. Bergerak dari tahap bayi yang memerlukan bantuan dan dorongan, ke tahap kedewasaan yang memiliki kemandirian dan kemantapan. Namun, kenyataannya, lebih 60 tahun membangun tapi tak terbangun.
Hakikat utang sebagai pendamping dan investasi asing sebagai stimulus dunia usaha, selalu dimentahkan oleh kebijakan terburu-buru demi kepentingan jangka pendek. Celakanya, kebijakan menghamba asing itu disenangi pada komprador dan kolega asingnya sehingga lekat abadi. Utang menjadi sumber utama dan PMA jadi tuan raja.
Utang di akhir masa Soekarno berjumlah 6,3 miliar dolar AS, membengkak menjadi 54 miliar dolar AS saat kejatuhan Soeharto pada 1998. Utang terus bertambah hingga 2006 menjadi lebih dari 130 miliar dolar AS atau lebih Rp 1.200 triliun dengan cicilan per tahun lebih 30 persen nilai APBN.
Secercah cahaya sempat berkelebat, ketika pemerintah memutuskan lepas dari IMF di akhir 2003. Skenario exit plan menuju kemandirian dilahirkan. Visi pembangungan jangka panjang Indonesia mandiri ditetapkan. Visi pembangunan industri berbasis lokal dan visi Indonesia maju pada 2030, juga diangkat. Pada peringatan Hari Koperasi 2007 di Bali, Presiden Yudhoyono mengumumkan bahwa di Indonesia tidak ada tempat bagi berkembangnya neoliberalisme dan kapitalisme global.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api, semangat berutang makin getol. Dalam jangka dua tahun ke depan, utang baru dibuat 40 miliar dolar AS. Sebelumnya, dalam rentang yang sama, pinjaman kepada CGI hanya sekitar enam miliar dolar AS. Obral SDA, privatisasi dan liberalisasi makin menambah inkonsistensi. Rasanya bukan lagi sekadar perbedaan visi antara kepentingan jangka panjang dan pendek, tetapi sudah menjadi penggadaian negara terstruktur.
Ada sikap ketidakpercayaan pada SDM lokal, sehingga proyek besar dan potensi investasi diobral kepada asing. Birokrat (BUMN) dianggap tidak becus bekerja, karena sebagian besar BUMN tidak sehat.
Dengan sikap seperti itu, pemerintah sebenarnya mencoreng wajahnya sendiri. Hal itu hanya mengukuhkan bersemayamnya mental inlander atau terjajah. Mental budak, selalu bersikap inferior di hadapan bangsa lain, tidak pernah merasa siap menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Sikap tak punya harga diri itu, makin memperparah keterpurukan yang telah ada. Jika pemimpin tidak bersemangat, maka wajar rakyat tak memiliki harapan untuk dapat bangkit kembali.
Di sisi lain, itu menjadi tamparan bagi SDM lokal untuk dapat membuktikan dirinya. Masyarakat mengkhayalkan, kapan putra terbaik bangsa mampu merajai dunia usaha di negerinya. Bangsa ini ingin melihat saudaranya mampu dengan cerdas memimpin jalannya roda perekonomian yang berpihak pada khalayak. Tapi akankah kesempatan itu ada dan siapkah mereka ?
Harus diakui pula, banyak masalah yang belum teratasi yang mungkin membuat pemerintah putus harapan. Langkah pemberdayaan yang monoton (berorientasi proyek, pelatihan seminggu korting dua hari, lalu bagi-bagi komisi) terasa cukup dan tamat sudah.
Kenyataan kapasitas kewirausahaan rakyat tetap rendah, tingkat kemajuan, produktivitas dan daya saing stagnan berbuah pada anggapan bahwa mereka hanya sampah di tengah arus kompetisi pesat globalisasi yang dituhankan. Sebaliknya, tuntutan masyarakat bagi perlindungan terhadap ancaman eksternal, resistensi apalagi sikap ekspressif antiasing dianggap sebagai penghambat kemajuan.
Membangun entrepreneurship dan profesionalitas bagi rakyat bukan lagi urusan yang perlu dipikirkan secara serius, apalagi jika mengharuskan adanya rekonstruksi kebijakan. Kebanggaan sekarang adalah ketika sukses melobi asing, mengobral SDA, aset negara dan meramaikan arus pasar bebas.
Secret Admirer ”Lezia”
Beberapa hari y lalu ada kawan saya y bercerita tentang cintanya pada seseorang semenjak smp hingga kini (kurang lebih delapan tahun). Ketidakpekaan kita tentang hati seseorang sering membuat penyesalan pada diri kita. Kadang, kita seringkali tidak menyadari bahwa seseorang itu menyukai kita... seseorang itu menunggu kita... seseorang itu lama berusaha mendapatkan hati kita, namun kita menganggap sikap specialnya itu hal y wajar. Mungkin, kita tak menyadari sebelumnya bahwa apa y kita ceritakan, apa y membuat kita sedih dan bahkan apa y membuat kita bahagia itu juga bisa melukainya. Berjalan dengan waktu, ketika ketika kita menyadari bahwa kita mencintainya, seseorang itu telah menutup hatinya untuk kita. Menyakitkan emang... tapi kita tak sendirian merasakan hal itu. Bila kita sulit melupakan seseorang bukan selalu seseorang itu y salah, atau Tuhan y salah. Cinta memang tak bisa diusir semau kita, tapi mungkin saja... ketika kita menata hati, ada sesuatu y kurang tepat.
Cinta kadang datang terlambat, cinta kadang datang lebih awal. Y pasti kita tidak bisa menebak kapan tepatnya cinta itu ada. Penyesalan itu selalu datang belakangan. Mungkin pada awalna kita beranggapan betapa bodohna kita tidak mampu menerjemahkan sinyal y sebenarna bisa merubah kehidupan kita. Mungkin, kisah kita dan dia harus seperti itu. Penyesalan y berlarut-larut juga ga akan merubah keadaan. Y lalu cukup jadi pelajaran dan bukan sebagai senjata y menghambat damainya hati.
”Meski kamu berkata ”I’ll be fine” dengan ketegaran y dipertanyakan, itu bukan berarti kamu orang bodoh y menjadi penipu hatimu sendiri. Mungkin, meyakinkan diri seperti itu adalah cara y dilakukan banyak orang bila mereka berada d situasi y sama.” (c-ya)
Istilah Secret Admirer bukan berarti mereka takut untuk mengakui perasaannya
Atau tak punya kekuatan untuk menunjukkan kekagumannya. Kadang, bukan seperti itu... Lihatlah ketulusannya. .. betapa Ia setia menjadikan seseorang sangat berarti dihidupnya meski hati sering tak berharap, seseorang itu mengetahuinya. .. meski hati menyimpan rasa dalam rentang masa y tak sebentar...
Secret Admirer bukan selalu karena ada cinta dalam hati mereka, karena kekaguman tak selalu berakhir dengan cinta. Mungkin kita menjadikan orang lain Lezia kita, namun bagi orang lain, kita seorang Lezia baginya. Karenanya, bersyukurlah bila kita mempunyai Lezia, setidaknya dia bisa membantu kita untuk memandang dunia ini dengan lebih beragam. Dan bersyukurlah ketika kita menjadi Lezia bagi orang lain, karena itu sebuah kehormatan bagi kita.... karena kita diperhatikan dan karena kita bisa membuatnya senang meski hanya dengan senyuman y kadang kurang berarti bagi y lain.
Nb: Lezia adalah Istilah bagi saya untukseseorang y kita ”lihat...” seseorang y kita kagumi dalam waktu y cukup lama”. Mungkin hampir sama dengan Nimo, cuman kalo nimo kan ada obsesi d dalamna. Sedangkan Lezia, membiarkan semua berjalan apa adanya mengingat itu hanya kekaguman semata dan bukan cinta.
Ada sebuah cerita mengenai kawan saya (Anggap saja ”Ade’). Dari dulu dia mengagumi seorang cowok (Anggap saja ”Tito”). Meski Ade punya cowok dan cinta pada co nya (Anggap saja ”Reno”) dia masih menyimpan kekaguman pada Tito. Berjalan dengan waktu, hubungan Ade dan Reno kandas lantaran beda keyakinan. Lama-lama, Reno mendekati Ade dan akhirna mereka jadian. Pasti bisa d bayangkan betapa bahagianya Ade bisa memiliki orang y pernah d kagumina. Pada suatu hari, keluarga Tito akan pergi k rumah Ade untuk melamar Ade. Namun, manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah y menentukan. Malamnya, Tito masuk rumah sakit dan baru ketahuan kalo Tito mempunyai sakit y cukup parah. Mungkin selama itu, sakitnya tidak ketahuan karena Tito sering menyibukkan diri dan mengabaikan gejala-gejala y ada. Paginya, teman saya k rumah sakit dengan berderai air mata. Bayangkan saja, dia sudah memikirkan akan indahnya suatu hari y telah lama ia tunggu, namun ia justru duduk d tepi ranjang dan melihat kekasihnya berjuang melawan penyakitna. Dokter memprediksi, seandaina Tito sembuh, ia ga akan bisa kembali normal seperti dulu. Hal itu membuat orang tua Ade berharap Ade mencari pengganti Tito meski tidak harus saat itu. Wajar, kadang orang tua ingin y terbaik bagi anaknya. Namun, siapa y ingin sakit??? Siapa y menjamin bahwa orang y baru juga ga akan sakit-sakit an. Kematian itu Tuhan y mengatur, bisa saja Tito lebih berumur panjang daripada orang y saat ini sehat. Iya kan??? Lagian, apa semudah itu meninggalkan cinta??? Tentu saja, hal itu juga tak adil untuk Tito meski berkali-kali dia meminta putus... meminta jangan ditinggalkan. .. dan berkali-kali seperti itu. Ade masih berusaha mempertahankan hubungan itu meski backstreet. Dan beberapa bulan kemudian, saya mendengar bahwa Tito telah meninggal (Semoga Allah melapangkan kuburna amin).
Menjadi secret admirer itu kadang ada y akhirnya bisa bersatu... kadang tak bisa bersatu dan kadang bisa bersama namun pada akhirna harus berpisah seperti kisah kawan saya… Namun, apapun y terjadi esok… bila saat ini kita menjadikan orang lain Lezia kita atau kita y menjadi Lezia bagi orang lain… marilah kita berusaha menjadi kilau y menghargai mereka dengan semestinya… karena kadang… kita tak menyadari bahwa sewaktu-waktu kita bisa saja kita meninggalkanya… atau mereka y meninggalkan kita…
'OBAMANIA' [intermezzo]
http://search. japantimes. co.jp/cgi- bin/fl20080223a2 .html
'OBAMANIA'
Of manju, fish burgers and pachinko in the town of Obama
By PIO D'EMILIA
Special to The Japan Times
The more I live in Japan (quite a few years now) the more I realize the only difference between the Italians and the Japanese is the way we eat raw fish.
News photo
Obama manju from Obama city
Japanese use shoyu while we still stick to (but who knows the future) olive oil and (though some people would object) lemon.
For all the rest, we are quite similar, although few would imagine it or care to admit to it.
Think about politics: Most Japanese and Italians would agree that clever and basically honest, hard-working people are having to put up with basically corrupt, inept and arrogant politicians to the point that both countries' voters have practically given up on politics and decided to concentrate on business, leisure, food and travel (anything missing here?).
Another aspect Italy and Japan share is the growing importance being taken on by local leaders and communities. It's an amazing factor, while we all talk about and are forced to endure globalization.
Bukkoji temple
Writer d'Emilia, Bukkoji temple's Harada and Obama mayor Toshi Murakami
This was on my mind when, puzzled by a first report on Japanese television, I decided to drive to the town of Obama in Fukui Prefecture and meet what I thought was a cunning mayor who had found a very effective way to promote his already famous (for those who follow NHK's morning drama "Chiri to Techin") coastal town.
To convince my editors that the trip was worthwhile, I promised to stop over somewhere in Gunma-ken and Niigata-ken, to report on the amazing skiing there (lots of snow, no after-ski culture, many obsolete lifts and indecent, outrageously expensive food).
After surviving the weekend storm in Niigata-ken and safely reaching Obama in the middle of the night, I started looking for the Daitoryo (President) pachinko parlor, widely reported on by the TV program mentioned earlier.
Unfortunately, it was closed. On top of that, the parlor was going to be closed the following day for some kind of junbi, or preparations. But there were people inside, and we tried our luck.
There are two kinds of pachinko managers, those who won't even talk to a foreigner no matter how hen, or strange that foreigner is (meaning able to speak Japanese), and those who will let you play for free.
Pachinko machines
Pachinko machines topped with Obama Super Tuesday banners
We were lucky. Not only did they let us in, we were offered drinks, and while our cameraman was busy shooting whatever he wanted to except the control or operation room, but including a guy who was busy tampering with the machines with a very special mini-hammer, I was given the deepest and most honnest (yes, with two "ns" from honne) lecture on pachinkology.
The lecture clued us in on the alternative translation for junbi, which on that occasion meant to prepare for the periodic visit by the police, who would check, or at least pretend to check, whether the pinball gates would let the little balls go through. I like this city, I thought. In Italy too we have to go through a lot of tatemae before getting to the point, so we do appreciate when there are shortcuts to the honne.
Everything went smoothly that night. Even the nightman at the Sekumiya hotel, moved by our appearance, offered to reopen the onsen, including the nice little rotenburo. I have run into places much more expensive and pretentious that don't do anything near that even when I threaten to perform informal seppuku on the spot.
The meeting with Toshi Murakami, the 75-year-old veteran mayor of Obama, was set for the following morning at 11 a.m. "He is yours for one hour," his very friendly secretary had promised a couple of days earlier. The mayor was late (a good sign for us Italians).
While admiring the institutional souvenirs scattered throughout the big room we were shown to, including a picture taken with former Prime Minister Junichiro Koizumi, a plethora of local and national media began to interview me.
When the NHK people learned of my plan to ask the mayor to talk to us as we walked through the Obama town shotengai, they set up to join us, almost forgetting their main objective — to get the first shot of the wrapping of the never-before- sold Obama manju, and the never-before- eaten Obama (fish)burger — a world scoop, apparently.
Obama burger
An Obama burger
The mayor was very cooperative from the beginning. He had not known of my plan for the strolling chat, but upon hearing it, gladly agreed to it and ordered his staff to fetch his boots and coat. Again, no need for too many preliminaries.
After he told me how much he loved Italy (although he had never been there), and how much he was looking forward to setting up a sister-city agreement with a small Sardinia town, I began my questions.
Those who think that the Obama fever is just based on a phonetic coincidence, and that Murakami and his staff are simply cleverly capitalizing on it, may be wrong.
Murakami is an experienced and shrewd politician who has been in business for many years and he does not mind criticizing the party that has supported him thus far, the jiminto, or LDP.
That became very clear when we touched upon the rachi (abduction) cases, since two of them had happened right in Obama.
"I think that President Bush and our leaders were wrong," said the mayor. "And one of the reasons I do heartily support Obama is because I am sure he will pursue dialogue and peace talks with North Korea."
Needless to say, we discussed the issue for the next hour, forgetting about manju, hamburgers and pachinko.
I was amazed to realize that all this talk, instead of arousing their interest, had caused most of the NHK crew and local media following us to silently fade away.
"Do you know how can I get to Bukkoji temple," I asked the mayor when I realized my time was up. "I have a friend's friend to greet there."
To my surprise, the mayor called his car and offered to drive me up there. "I am a personal friend of Harada-roshi (the temple's chief priest), and I will gladly introduce you to him."
I appreciated this very much, as I appreciated the fact that the major did not care about his own busy schedule. After all, this is the acceptable price of becoming a futsu na kuni, or normal country. Having to wait a little shouldn't be a big deal.
BEST JOKE COMPETITION
A Chinese walks into a bar in America late one night
and
he saw Steven Spielberg.
As he was a great fan of his movies,
he rushes over to him, and asks for his autograph.
Instead, Spielberg gives him a slap and says,
"You Chinese people bombed our Pearl Habour, get outta here."
The astonished Chinese man replied,
"It was not the Chinese who bombed your Pearl Harbour,
it was the Japanese".
"Chinese, Japanese, Taiwanese, you're all the same," replied Spielberg.
In return, the Chinese gives Spielberg a slap and says,
"You sank the Titanic, my forefathers were on that ship."
Shocked, Spielberg replies, "It was the iceberg that sank the ship, not me."
The Chinese replies,
"Iceberg, Spielberg, Carlsberg, you're all the same."
This particular joke won an award for the best joke
in a competition organized in Britain
and
this joke was sent by an INDIAN ...
Hati-Hati, Carva!
Mengapa Chelsea mampu membukukan rekor fantastis berupa enam kali berturutan meraih clean sheet di pembukaan 2005/06?
Dulu The Blues amat mengharamkan naiknya dua bek sayap secara berbarengan dalam sebuah skenario penyerangan. Bila bek kanan Paulo Ferreira melakukan overlapping, di sisi kiri Asier Del Horno diminta statis bertahan.
Nah, posisi bek sayap yang kosong lantas diisi Claude Makelele sebagai jangkar. Sistem yang sama pada dasarnya diterapkan Avram Grant kali ini. Namun, sedikit berbeda dengan Mourinho, kini backfour The Blues diupayakan Avram untuk tampil dinamis.
Saat menghadapi lawan yang menggunakan satu striker, The West Londoners langsung terlihat sering memakai tiga bek tengah sejajar meski berawal dengan formasi empat bek. Alhasil, metamorfosa formasi untuk memaksakan pola yang lebih ofensif ini kerap mengundang blunder.
Terakhir, bek tengah Ricardo Carvalho melakukannya. Ketika menjamu Man. United pekan lalu, Carva melakukan kesalahan besar. Ia mengoper bola kepada Wayne Rooney sehingga gawang Chelsea pun kebobolan.
Kelemahan lain dari perubahan jumlah bek di tengah laga ini juga kerap mengacaukan jebakan off-side yang dirancang John Terry. Hati-hati, kini Fernando Torres pasti cerdik memanfaatkan kesalahan sekecil apa pun! (toen)
Lebih dari 100% rakyat Indonesia itu korup, karena perdefinisi,
"Korupsi" itu artinya penggerogotan system yang berlaku.
Contohnya, cucu Megawati yang belum lahir sudah diberi nama dan diberi
nafkah berupa pomp bensin oleh neneknya yang jadi presiden. Padahal
untuk memiliki Pomp bensin itu harusnya bisa secara bebas kepada semua
orang baik mereka mempunyai uang ataupun tidak punya uang sama sekali.
Di Amerika, orang miskin juga bisa beli pomp bensin dengan cara
kredit, sehingga siapapun bisa memiliki pomp bensin. Berbeda dengan
di Indonesia, karena korup (system rusak dan dirusak), maka yang bisa
punya pomp bensin itu hanyalah orang2 seperti Megawati dan cucunya
yang belum lahir.
Cucu yang belum lahir dan belum punya KTP ini tentunya belum masuk
kedalam statistik kependudukan RI sehingga akibatnya korupsi ini jadi
lebih 100% karena yang belum ada juga sudah korupsi.
Perlu anda pahami, bahwa dalam sebuah system yang korup, maka semuanya
koruptor. Bahkan gembel juga korupsi. Bayangin, gembel lagi duduk
ditaman, mendadak mau kencing, dia buka celana dibawah pohon mau
kencing, tetapi terbaca tulisan dipohon "Dilarang Kencing Disini!",
karena mau patuh hukum bukan mengkorupsinya, maka si gembel cari WC,
dan waktu mau masuk WC terbaca lagi tulisan didinding WC, "buang air
besar atau kecil Rp5000".
Lhaaa..... darimana duitnya sigembel ini bisa bayar biaya kencing
Rp5000 ??? Kalo di Amerika, semua gembel atau orang miskin diberi
gaji oleh pemerintah, tapi kalo di negara korup mana mungkin ada dana
yang tersisa untuk gembel2 ini ???
Demikianlah, kalo anda enggak mau korupsi, keluarlah dari negara anda
itu karena berada dalam system yang korup memastikan anda juga korupsi
meskipun tidak anda sadari.
Tuesday, April 29, 2008
Air Mata Buaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment