Wednesday, April 30, 2008

HAKIKAT KEPEMIMPINAN




Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya
pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala Keluarga. Di sebuah Negara ada Presidennya. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar.

Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan terhadap "pemimpin" yang mempunyai kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang
menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam pandangan yang mendalam sbb :

1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan

Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga
atau institusi, maka ia
sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang
pemimpin yang harus mampu
mempertanggung jawabkannya, .
Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah. Oleh karena itu,
jabatan dalam semua level
atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin
atau pejabat tidak boleh
merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus
diistimewakan dan ia sangat marah bila
orang lain tidak mengistimewakan dirinya.

2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas

Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau
kesenangan hidup dengan
berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau
berkorban dan menunjukkan
pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam
kondisi sulit dan sangat sulit.
Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau
propinsi dan tingkatan yang
dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk
membeli pakaian bagi para
pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang
mahal sekalipun dengan uangnya
sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.

3. Kerja Keras, Bukan Santai.

Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi
dan mengatasi berbagai
persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk
selanjutnya mengarahkan kehidupan
masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta
mencapai kemajuan dan
kesejahteraan.
Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh
kesungguhan dan optimisme.

4. Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.

Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi
pemimpin atau pejabat
berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani
masyarakat dengan pelayanan yang
lebih baik dari pemimpin sebelumnya
Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan
terhadap orang-orang yang
dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada
keinginan sedikitpun untuk
membohongin rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama
rakyat atau kepentingan rakyat
padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila
pemimpin seperti ini
terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianatan yang paling
besar.

5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.

Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi
teladan dan pelopor, bukan
malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan. Ketika
seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya,
maka ia telah menunjukkan
kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi,
maka ia tunjukkan
kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut
adanya pemimpin yang bisa
menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran..

Dari penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumah tanggai, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin. (dari berbagai sumber)

Hari yang Patut untuk Dikenang

Putuskanlah sekarang juga untuk membuat hari ini menjadi hari yang patut anda kenang. Manfaatkanlah saat-saat berharga yang tersedia sekarang untuk melakukan sesuatu yang anda akan kenang dan syukuri terus menerus, bertahun-tahun dari sekarang.

Hari ini merupakan kesempatan anda untuk menggerakan kehidupan anda lebih maju secara nyata. Temukanlah kesenangan anda hari ini dalam membuat perbedaan yang nyata dan positif.

Apakah anda menyadari betapa beruntungnya anda karena dapat merubah jam demi jam di hari ini menjadi sesuatu yang secara terus menerus menambah nilai pada dunia jauh setelah hari ini telah berakhir? Dapatkah anda melihat betapa memuaskannya menjalani hari ini dengan cara yang dapat membuat anda bisa mengenangnya dengan rasa syukur?

Bayangkan menjalani tiap hari dengan cara seperti itu. Lalu, bergeraklah dari sekedar membayangkannya dan mulailah menjalani misi hidup yang kuat dan nyata.

Seluruh semesta terbentang di hadapan anda. Dan segalanya adalah mungkin dalam waktu ini juga. Ciptakan hari ini menjadi hari yang indah untuk dikenang. Lalu ulangi prosesnya, lagi dan lagi, untuk tiap hari baru yang datang di hadapan anda.

Let Us Accept It: Asian Century Has Arrived
Kishore Mahbubani, LA Times —


We are entering a new era of world history: The end of Western domination and the arrival of the Asian century. The question is: Will Washington wake up to this reality? When the new president meets with schedulers in January, will he or she say, “Cut down on the visits to Europe. Send me across the Pacific, not the Atlantic. The G-8 represents a sunset process. Let us focus on the new sunrise organizations in Asia.”

If such a shift seems inconceivable, it shows how much old mental maps continue to cloud the vision of leading Americans. The West has so dominated world history for the past 200 years that we forget that from the year 1 to the year 1820, the two largest economies in the world (as demonstrated by British economic historian Angus Maddison) were China and India. A study by Goldman Sachs in 2003 confidently predicted that by 2050 the four largest economies in the world will be China, the United States, India and Japan, in that order. A more recent evaluation by Goldman Sachs showed that this could happen sooner and that the Indian economy could surpass that of the United States by 2043.

The changes will be dramatic and happen quickly. Economist and former US Treasury Secretary Lawrence Summers put it this way: During the Industrial Revolution, the standard of living rose at a rate of maybe 50 percent during a person’s life span. Asia’s current growth rate represents an unprecedented 100-fold (that is, 10,000 percent) rise in standards of living during one lifetime.

The paradox about the American inability to recognize this great shift is that the United States has done more than any other country to spark this Asian revival. In the 19th-century era of European domination, Asia was subjugated and colonized. As the United States became the dominant power, Asia progressively was liberated.

More important, before World War II, conquest and/or colonization were the only ways for a nation to expand its power and influence. With the creation of the United Nations in 1945 and the formulation of the rules of trade that followed — efforts advanced by the United States — a country could grow its economy without conquering new territory.

This rules-based system leveled the international playing field, allowing nations such as Japan and Germany to economically re-emerge without massive disruption to the world order. In this century, it may be China and India that peaceably emerge as world powers.

That would be a historic achievement. All previous shifts in global power (with the sole exception of the transition from Pax Britannica to Pax Americana) have been accomplished through conflict. In the 21st century, we will have a great opportunity to avoid this — if we continue to abide by the 1945 rules.

One key element of this 1945 package is trade liberalization, an approach the world has sustained since the creation of the General Agreement on Trade and Tariffs, or GATT, in 1947. Unfortunately, calls for protectionism are rising in the United States and Europe. CNN’s Lou Dobbs has created a cottage industry by railing against unfair Asian competition. Similar voices are emerging in Europe. The first line of defense against any potential shock to the global economy is to resist these calls for protectionism. (The defeat of the populist and protectionist John Edwards in the Democratic presidential primaries fortunately shows that the United States is still resisting the slide down the slippery slope of protectionism. )

At the same time, as new Asian powers emerge, the architecture of the world order will have to be re-engineered. Take the case of the two most powerful international economic organizations of the world, the International Monetary Fund and the World Bank.

There is a 60-year-old tradition that the head of the IMF has to be a European and the head of the World Bank an American, a practice reaffirmed by appointments in 2007. Representatives of Asian nations, which make up the majority of the world’s population, do not qualify. But Asia is now home to the world’s fastest-growing economies, which have accumulated more than $3 trillion in foreign reserves. It is absurd to exclude Asians from the leadership of the IMF and the World Bank. Such anachronistic policies must be discarded if we are to engineer a smooth transition to the Asian century.

Similarly, the permanent members of the UN Security Council (which has the capacity to make decisions binding on all countries) should reflect the great powers of the future, not the victors of World War II.

One simple, common-sense step would be to have a single European Union seat on the council in place of two seats for Britain and France, as there will be a single EU foreign policy in January 2009. In private, virtually all thoughtful observers agree that this is the only logical solution. In public, no American policymaker dares ruffle feathers across the Atlantic.

Democratic presidential candidate Barack Obama is absolutely right when he says that change is imperative.

In our lifetime, as Summers has indicated, we will see more change than in any previous era. So, will the United States, under its new president, be a force for change and forge new relationships across the Pacific? Or will it become an obstacle oriented stubbornly toward the Atlantic?

The choice will determine the course of 21st-century history, for if the United States chooses to work with Asia as it rises, we will sail into a more peaceful era.

— Kishore Mahbubani is dean of the school of public policy at the National University of Singapore and author of “The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East.”
__._,_.___
Seberapakah kamu bisa menghadapi hatimu dengan sangat nyaman? Itulah
yang saya tanyakan kepada teman saya saat mereka meminta pendapat saya
mengenai "kejamnya" hidup (Halah..). Kadang memang adakalanya kita
menganggap hidup ini tidak adil. Kita selalu menuduh Tuhan tidak
sayang kepada kita bila yang kita inginkan tidak bisa kita raih,
terutama yang berhubungan dengan hati (Nah lo..). Memang adakalanya
apa yang kita harapkan menjadi milik kita tidak semudah itu bisa kita
dapatkan. Kadang kita butuh perjuangan yang luar biasa hebatnya untuk
mewujudkan suatu impian. Seperti misalnya saat kita menginginkan
seseorang menjadi pacar kita, kita akan melakukan apapun untuk
mendapatkannya, mulai dari melakukan hal-hal konyol maupun hal-hal
yang diluar logika (pikir sendiri deh..). Tetapi bila pada akhirnya
kitapun tidak mendapatkannya, apa yang akan kita lakukan??

Sebagian diantara mereka memilih untuk tetap menunggunya sampai mereka
luluh. Karena setiap orang pasti mempunyai hati yang akan tetap bisa
disentuh dengan perhatian, sedingin atau sekaku apapun, hati mereka
pasti ada celah yang akan bisa dimasuki sehingga akan membuat mereka
luluh. Sebagian lagi akan membuangnya begitu saja dengan sejuta sumpah
serapah ataupun penyesalan yang sangat dalam. Apakah dengan begitu
kita akan merasa nyaman?
Setiap orang pasti mempunyai cara yang berbeda-beda untuk menghadapi
suatu perasaan yang berhubungan dengan hati. Ada dari mereka berusaha
untuk merasa nyaman dengan membohongi diri sendiri. Mereka membohongi
diri mereka dengan pura-pura sudah melupakan ataupun berusaha membenci
seseorang tersebut. Kenapa harus membohongi?. Bukankah akan lebih
nyaman bila kita tidak menutupi apa yang benar-benar kita rasakan. Dan
bagaimana agar tidak sakit?

Pertama, kamu harus tau dahulu apa yang akan kamu pilih, terus
mengetuki pintu hatinya, atau akan meninggalkan pintu itu. Bila kamu
akan terus mengetuki pintu hatinya, kamu harus punya alasan yang kuat
untuk tetap bertahan karena dengan itu kamu akan lebih kuat pula untuk
menjalani semuanya. Walaupun nantinya kamu akan diperlakukan secara
tidak layak (misal : diomelin, dicuekin / disakiti hatinya). Bila kamu
punya alasan yang kuat maka kamu akan bisa menghadapi lebih dari itu.
Dan bila kamu lebih memilih untuk tidak terpaku pada pintu itu, maka
belajarlah apa yang dinamakan "ikhlas" bahwa dia akan mendapatkan yang
lebih dari kamu. Dan itulah hal tersulit untuk bisa mendapatkan
keikhlasan. Terus bagaimana?. Mulailah untuk menata kembali hatimu,
bila kamu pernah mempunyai sesuatu yang akan mengingatkanmu padanya,
lakukanlah hal itu secara berulang-ulang karena dengan itu kamu akan
menjadi terbiasa dan tidak lagi teringat padanya. Janganlah berusaha
membencinya karena semua itu akan membuat kamu merasa tertekan karena
kamu akan selalu mencari cara untuk membencinya dan malah akan
menyakiti dirimu sendiri karena itulah kebohongan yang sedang kamu
lakukan. Dari setiap pilihan pasti ada suatu konsekuensi yang harus
dijalankan. Kamu harus punya komitmen untuk melakukan konsekuensi yang
harus kamu lakukan bila telah memilih suatu pilihan tersebut.

Bila mereka memintamu menjadikan hanya sebagai seorang temannya,
kenapa tidak?. Kamu tidak perlu sakit hati bila mereka akan bercerita
mengenai pria/wanita lain yang sedang singgah dihatinya. Kenapa harus
ragu untuk menerimanya hanya menjadi seorang sahabat. Bagaimana
caranya?. Mulailah dengan perlahan dan jangan dipaksakan, lambat laun
kamu pasti akan bisa menerima cerita-cerita itu. Mulailah berpikir
bahwa bila mereka hanya mengartikan kehadiranmu sebagai seorang
sahabat, artikanlah mereka sebagai seorang sahabat pula. Dengan begitu
tidak ada yang salah dalam menterjemahkan arti sebuah hati.

"Percayalah setiap hal yang sedang terjadi padamu saat ini adalah
penentu kualitas kedewasaanmmu"





Fergie: Kami Pantas ke Final

Jakarta - Meski lebih banyak tampil tertekan, Manchester United berhasil mempertahankan keunggulan 1-0 hingga laga usai. Sir Alex Ferguson pun mengacungi jempol untuk kerja keras anak asuhnya.

"Perasaan yang hebat, luar biasa," komentar Fergie sesaat setelah MU memastikan diri mendapat tiket ke final Liga Champions 2007/2008.

"MU pantas berada di final. Sejarahnya, dan lihat saja para suporter, fantastis," imbuhnya dengan sumringah, seperti dikutip Goal.

MU memang memastikan diri melangkah ke final di Moskow usai menundukkan Barcelona dengan skor tipis 1-0. Gol tunggal MU dicetak Paul Scholes di menit 14.

Walau demikian, tim tuan rumah kembali dibuat kesulitan untuk bisa mempertahankan skor pertandingan. MU tampil di bawah tekanan Barca, nyaris di sepanjang pertandingan.

Karena keberhasilan Cristiano Ronaldo cs lepas dari tekanan itulah yang membuat Fergie mengacungi jempol untuk anak asuhnya. Tak lupa, pendukung MU yang memberi dorongan semangat untuk timnya juga mendapat kredit poin tersendiri.

"Semuanya berjalan alot hingga akhir pertandingan, karena mereka tertinggal dan harus berjudi. Tapi fans benar-benar mendukung kami," puji Fergie.

Dengan demikian, MU tinggal menunggu lawan di partai final yang akan digelar di Luzhniki Stadium pada 21 Mei. Namun bisa dipastikan akan terjadi all England final mengingat dua semifinalis yang masih beradu adalah Liverpool dan Chelsea.



Scholes Wujudkan Mimpi Sembilan Tahun

Manchester - Sembilan tahun lalu Paul Scholes membawa MU ke final Liga Champions yang dia sendiri tak bisa menghadirinya. Tahun ini gelandang 33 tahun itu mewujudkkan sendiri mimpi yang tertunda itu.

Saat meraih kemenangan dramatis atas Bayern Munich di final Liga Champions musim 1998-1999 Scholes memang tak masuk dalam daftar pemain Sir Alex Ferguson. Bersama Roy Keane dia absen lantaran sanksi akumulasi kartu yang didapat saat menundukkan Juventus di semifinal.

Jadilah Scholes hanya duduk di pinggir lapangan saat Ole Gunnar Solskjaer dan Teddy Sheringham mencetak dua gol di penghujung pertandingan yang juga membalikkan keadaan setelah Mario Basler membawa FC Hollywood unggul di menit enam.

Setelah kenangan manis di Camp Nou tersebut MU selalu gagal menembus final. Raihan terbaik mereka hanya semifinalis musim 2001/2002 dan 2006/2007 yang membuat Scholes belum merasakan final Liga Champions.

Namun penantian mantan gelandang internasional Inggris itu berakhir musim ini setelah MU memastikan diri melangkah ke final usai menaklukkan Bercelona dengan agregat 1-0. Hebatnya, Scholes sendiri yang memberi tiket tersebut melalui gol tunggal yang dicetaknya.

Memanfaatkan kesalahan Gianluca Zambrotta yang membuang bola ke tengah lapangan, tendangan kaki kanan Scholes bersarang di pojok kanan atas gawang Victor Valdes.

"Dia adalah adalah satu dari pemain besar yang ada, dia melebihi ranking tersebut bersama kami dan saya sangat puas dengannya," ungkap Alex Ferguson usai pertandingan seperti diberitakan AFP.

Meski belakangan mulai jarang dipasang sebagai starter, namun jauh-jauh hari Fergie sudah memastikan kalau nama Scholes adalah yang pertama masuk di starting eleven untuk laga final mendatang. Itu sesuai dengan janji Fergie beberapa hari lalu yang akan memainkan Scholes jika mereka melangkah ke final.

Siap memberi gelar ketiga buat MU, Scholes? (din/ian)


Final Senegara Jilid III

Manchester - Majunya Manchester United ke final Liga Champions membuat partai puncak kompetisi nomor wahid Eropa itu akan diisi dua klub Inggris. Inilah laga final dua klub senegara edisi tiga.

Semenjak musim 1992/1993, atau sejak kompetisi berganti nama menjadi Liga Champions, UEFA mulai mengizinkan partisipasi lebih dari satu klub per negara. Sebelumnya, masing-masing negara hanya bisa mengirim satu wakil saja. Dengan demikian, mulailah terbuka peluang final yang mempertemukan dua klub satu negara.

Namun terjadinya final dua klub dari negara yang sama baru pertama kali terjadi musim 1999/2000. Adalah Spanyol, negara pertama yang sukses mengirim dua utusannya ke final, yaitu Real Madrid dan Valencia.

Stadion Stade de France di pinggiran kota Paris, nyaris delapan tahun lalu, bagaikan kota Madrid. Ribuan suporter asal negeri Matador berbondong-bondong menyaksikan Madrid akhirnya jadi juara dengan menekuk Valencia 3-0.

Setelah Spanyol, giliran Italia yang menegaskan hegemoninya di kancah antar klub Eropa dengan menempatkan AC Milan dan Juventus ke final Liga Champions pada tahun 2003.

Ciri khas Italia, yakni permainan defensif, membuat laga pemuncak di Old Trafford, Manchester itu, berjalan membosankan sebelum akhirnya Milan mengamankan trofi melalui adu penalti seusai bermain imbang 0-0 di 120 menit pertandingan normal.

Bersama Italia dan Spanyol, Inggris menjadi negara yang liga domestiknya dianggap sebagai yang terbaik dan paling elite di Eropa. Namun Inggris baru bisa menyamai langkah Italia dan Spanyol tahun ini.

MU memastikan terjadinya All England Final setelah menyingkirkan wakil Spanyol, Barcelona, dengan agregat 1-0. Di final, salah satu di antara Liverpool atau Chelsea sudah menunggu.

Sebetulnya Inggris bisa menciptakan final antar dua klub Liga Premier musim silam. Meloloskan tiga klub ke semifinal, All England Final batal terwujud karena MU saat itu ditaklukkan AC Milan, wakil Italia. Di final, Milan kemudian memecundangi Liverpool.

Stadion Luzhniki di kota Moskow, 21 Mei mendatang, akan menjadi saksi siapa yang terbaik di antara dua klub Inggris yang bertarung di partai puncak.

Di dua jilid pertama final senegara, laga berlangsung kurang seru dan menarik. Tahun 2000, Madrid terlalu dominan atas Valencia. Sementara di partai final Italia tahun 2003, laga berlangsung membosankan.

Tentunya, tampilnya dua klub Inggris di final tahun ini diharapkan tidak mengulangi suguhan kurang cantik yang terjadi di dua edisi terdahulu. Semoga saja.

No comments: