Indra Jaya Piliang
Rabu, 26 Desember 2007
TEMPO Interaktif, Jakarta: Persoalan reshuffle kabinet mengemuka sebagai langkah politik yang ditunggu pada awal 2007. Namun, sejumlah diskusi penutup akhir tahun justru mulai meragukan demokrasi. Sungguh ironis, para peragu atas demokrasi itu datang dari komunitas masyarakat sipil dan politik. Mereka berkata, betapa demokrasi berbiaya mahal, persoalan sepele dibahas berbulan-bulan, keindonesiaan ditelanjangi, olahraga selalu kalah, sedangkan rakyat tetap miskin.
Sikap lelah atas demokrasi sama berbahayanya dengan ketakutan atas sistem monarki dan diktatorial. Kita masih ingat petuah Tan Malaka, betapa yang sama berpengaruh buruk atas republik adalah kolonialisme dan feodalisme. Ketika kolonialisme tertendang dan feodalisme memudar, kekuasaan menjadi personal dalam orasi Bung Karno dan senyum Soeharto.
Ahli sayap pesawat terbang lulusan Jerman, Profesor Dr B.J. Habibie, mereparasi keindividuan kekuasaan itu dengan menyodorkan demokrasi. Dan Habibie menjadi korban pertama demokrasi yang dia lahirkan, yakni ditolak menjadi presiden hasil pemilihan umum. Abdurrahman Wahid, yang seluruh hidupnya bertumpu pada ranah demokrasi kultural, ikut-ikutan terjungkal lewat demokrasi struktural dan prosedural.
Bangsa malang ini lantas mendapatkan seorang jenderal purnawirawan lagi, setelah Soeharto, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Tentu ia bukan peracik sajian demokrasi itu, kendati mendirikan Partai Demokrat. Sejauh ini Yudhoyono pantas disebut sebagai aktor penting yang gandrung akan demokrasi. Yudhoyono tidak tampak seperti jenderal, walau muncul sinyalemen bahwa ia lebih berperilaku sebagai menantu jenderal. Saking demokratisnya, Yudhoyono lebih berupaya memperkuat sistem multipartai ketimbang sistem presidensial. Ia memberi porsi kepada wakil-wakil partai di kabinet.
Doktrin Kalla
Lain lagi Jusuf Kalla, sekondan Yudhoyono. Ia terlalu menimbang untung dan rugi dalam neraca demokrasi. Tidak mengherankan kalau Kalla sering menuduh demokrasi tidak efektif dan inefisien. Biaya demokrasi terlalu mahal. Pemilu legislatif harus bersamaan dengan pemilu eksekutif. Kalau bisa, pemilihan kepala daerah digelar serentak. Demokrasi bukan tujuan, melainkan alat mencapai tujuan. Begitulah bunyi "doktrin Kalla".
Ironis, banyak yang mengikuti doktrin Kalla. Dr Amir Santoso (Pelita, 16 Desember) dan Radhar Panca Dahana (Seputar Indonesia, 19 Desember) mulai mengutuk demokrasi. Lembaga Ketahanan Nasional mengatakan gubernur seharusnya ditunjuk saja oleh presiden. Para aktivis juga ikut-ikutan menyatakan demokrasi mengubah Indonesia menjadi negara politikus, setelah tampak seperti negara polisi. Kaum muda menyatakan saatnya mereka berkuasa, tapi emoh masuk partai politik.
Tapi doktrinasi sudah kehilangan tempat. Para politikus di Senayan menolak keras doktrin itu. Ya, masyarakat yang mengatakan partai politik paling tidak dipercaya barangkali menganggap bahwa yang untung dengan demokrasi hanya segelintir partai politik dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, sebagaimana tuduhan Amir Santoso. Maka wajar-wajar saja partai politik mendukung demokrasi.
Bangsa Indonesia memang tidak pernah sabar atas demokrasi. Seusai Pemilu 1955 yang ultraliberal, empat tahun kemudian Soekarno tidak lagi menjalankan pemilu, dengan mengeluarkan konsep demokrasi terpimpin. Hasilnya, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Soeharto, atas nama demokrasi Pancasila, malah bertahan lebih lama. Hanya mahasiswa bandel dan cendekiawan keras kepala yang membangkang, tapi segera menghuni pintu penjara.
Dengan pola kediktatoran terselubung itu, rakyat memang terlihat sabar. Hanya, sejarah mencatat betapa hak-hak warga negara terampas, pelanggaran hak asasi manusia meningkat, serta kekayaan menumpuk hanya di segelintir konglomerat hitam.
Sewindu
Hanya delapan tahun sejak Pemilu 1999, ada yang mencoba mengusik lagi ketidaksabaran rakyat atas demokrasi. Belum ada yang menawarkan monarki atau diktatorialisme. Pola partai tunggal juga tidak diberi alternatif. Adapun teokrasi terdengar sayup-sayup sampai dalam teriakan-teriakan di jalan-jalan. Berarti penolakan atas demokrasi disertai oleh ruang hampa menganga, tanpa tawaran apa-apa. Sabdo pandito ratu? Manunggaling kawulo-gusti? Atau Ana al-Haq?
Politik 2007 memang penuh dengan pemilihan kepala daerah serta sengketanya. Juga barisan politikus dan pejabat yang masuk penjara. Mereka ada pada pucuk pemimpin lembaga atau organisasi yang disebut sebagai tulang belakang demokrasi, yakni partai politik. Mereka besar dan dibesarkan oleh coblosan para pengemis serta orang lapar, penyakitan, dan berpendidikan rendah di kotak-kotak suara. Sebagai pemulung suara rakyat dengan jabatan terhormat, mereka tak segan mempertontonkan fasilitas mewah yang diterima.
Tapi apa benar demokrasi yang menjadi tersangka silang-sengkarut itu? Rasa-rasanya bukan. Kalau demokrasi tidak hadir, barangkali pasukan loreng masih merajalela di jalan-jalan. Preman berpentung dan menggunakan sangkur di pinggang juga terus memburu pedagang kaki lima. Warung-warung makan beratap rumbia dipenuhi oleh gambar pemilik warung bersama orang-orang berpangkat. Ruang-ruang tamu orang-orang pasti dihiasi foto salaman dengan pejabat.
Jelas sudah, demokrasi menghilangkan pangkat orang berpangkat. Presiden pun mudah dituduh tidak punya nyali atau memilih orang-orang tak tepat. Apabila tidak suka dengan keputusan presiden, bisa Anda gugat di pengadilan. Para ulama yang kehilangan terompah di tangga Istana diam-diam ditinggal umatnya. Menteri-menteri yang doyan bernyanyi tak lagi bisa dihafal nama-namanya oleh para pelajar. Buku-buku yang tak masuk akal disobek-sobek atau dicorat-coret hingga tak bisa lagi dibaca.
"Minimal kami punya satu suara untuk menentukan ini negeri, Tuan!"
Itu jawaban atas soal-soal demokrasi yang diseret-seret ke wilayah abstrak dan filosofis itu. Selain rakyat, Anda semua adalah pengemis. Memang, Anda gagah di depan kami, tapi tanpa suara kami, Anda terus menghinakan diri. Demokrasi terang sekali memberi makna substantif, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kini Anda presiden, besok pagi silakan jadi pesinden. Kemarin Anda susah dicari ketika berkuasa, hari ini Anda harus menyediakan secangkir kopi dan sepiring gorengan untuk membujuk para wartawan datang.
Delapan tahun terlalu singkat untuk sekadar lelah dengan demokrasi. Bagi ukuran pelajar, masih setahun lagi lulus sekolah menengah serta belum tentu lulus masuk perguruan tinggi negeri. Usia sewindu hanya memanjangkan beberapa depa pohon kelapa tradisional, kecuali kelapa salak yang bisa berbuah dalam usia satu setengah tahun. Artinya, kalau Anda lelah dengan demokrasi, panjat saja sebatang pohon kelapa berusia 20 tahun. Paling Anda berkeringat atau terjatuh, tapi batang pohon itu tetap tertancap kukuh.
Tanpa kearifan intelektual dan kegigihan bak pejuang, demokrasi memang terlihat menyedihkan. Hanya, bangsa ini belum pernah benar-benar hidup berdampingan dengan demokrasi. Akibat-akibat negatifnya berusia lama, termasuk kegamangan atas demokrasi yang mengalir dalam pena para penolaknya.
* Indra Jaya Piliang, Analis Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies, Jakarta
Panucci: Inter Juara
Roma - Optimisme merebak di kubu AS Roma ketika pekan lalu jarak mereka dengan Inter Milan tinggal satu poin. Tapi tetap saja Christian Panucci memandang bahwa timnya takkan jadi juara.
Minggu lalu Inter batal berpesta juara karena ditahan Siena 2-2 dan Roma menang 2-1 atas Atalanta. Alhasil perebutan titel scudetto baru ditentukan pada giornata terakhir hari Minggu lusa.
Jika beberapa pemain telah menyatakan keyakinannya, Panucci tidak demikian. Ia tidak menutup fakta bahwa Inter pun bisa terpeleset dalam beberapa pertandingan terakhirnya. Namun jika mengalaminya lagi di hari terakhir, kemungkinan itu ia rasa cukup kecil.
"Scudettto? Inter yang akan menang," cetus wakil kapten Roma itu seperti dikutip Goal, Jumat (16/5/2008).
"Jika Inter harus mencari gelar juara di hari terakhir, itu berarti kami yang membuat mereka melakukan itu, karena kami membuka kembali pertarungan, dan hal itu tergantung pada kami," ujarnya.
Dalam 'final' itu Roma akan bertarung di kandang Catania, sedangkan Inter melawat ke markas Parma. Inter tetap dalam pole position karena selain masih unggul satu angka, mereka pun bakal mengalahkan Il Lupo dalam hal head-to-head, apabila di akhir kompetisi perolehan angka mereka sama.
"Takkan mudah buat kami di Catania, dan kami tahu itu. Tapi kami harus menunjukkan karakter yang kuat untuk memperoleh hasil yang lebih baik," tambah Panucci. ( a2s / din )
Internisti Akan 'Invasi' Ennio Tardini
Milan - Larangan hadir di Stadion Ennio Tardini sepertinya tidak akan digubris fans Inter Milan. Internisti kekeuh menemani klubnya bertanding dan berniat melakukan 'invasi damai'.
Seperti diberitakan sebelumnya, fans Inter Milan - dan AS Roma - dilarang menemani klubnya berlaga di pekan terakhir Seri A. Oservatorio mengeluarkan keputusan tersebut karena mengkhawatirkan terjadinya kerusuhan.
"Saya kecewa, bukan hanya karena kami tak bisa pergi ke Parma tapi juga karena fans Roma tak bisa pergi ke Catania. Demi sepakbola, fans sebuah tim seharusnya diperbolehkan pergi ke stadion untuk menyaksikan pertandingan," sesal direktur Inter Milan, Ernesto Paolillo di Channel4.
Buat tifosi Roma dan Inter, keputusan tersebut jelas sulit diterima mengingat akhir pekan ini salah satu tim tersebut akan mengukuhkan diri menjadi juara Liga. Entah karena sangat ingin memberi dukungan atau karena tak mau ketinggalan menggelar pesta juara, fans Ultras Nerazzurri bertekad untuk tetap menyambangi Ennio Tardini akhir pekan ini.
Meski begitu penghuni Curva Nord San Siro itu menjamin tak akan terjadi kerusuhan karena invasi yang mereka lakukan dijalankan dengan damai. Jika tak bisa masuk stadion mereka rela memberi dukungan dari luar stadion.
"Bisa dipastikan kalau pada Minggu nanti, suka atau tidak, akan ada invasi Nerazzurri yang pastinya akan berjalan damai. Teriakan kami akan bergema di dalam dan luar stadion."
Kami mendapat email dan telepon dari fans yang berniat memberikan ucapan selamat saat mereka (skuaf Inter) datang dan pergi meninggalkan stadioun, meski kami tak bisa masuk," pungkas Paolillo. ( din / a2s )
Skuad PPD Brasil
Tanpa Dinho, Adriano Kembali
Sao Paulo - Ronaldinho lagi-lagi terdepak dari skuad timnas Brasil untuk Kualifikasi Piala Dunia. Sementara Adriano yang bersinar bersama Sao Paulo dapat kesempatan dari Dunga.
Tak tercantumnya nama Ronaldinho di skuad Brasil sebenarnya bukan berita mengejutkan. Selain performanya yang tengah menurun, striker Barcelona itu juga tengah bermasalah dengan kondisi fisiknya, hal mana juga membuatnya terdepak di dua laga kualifikasi Piala Dunia menghadapi Peru dan Uruguay pada November 2007.
Di Barcelona Dinho sudah tidak merasakan pertandingan kompetitif sejak 4 April lalu. Selain cedera hamstring dia juga ramai digosipkan tak akur lagi dengan Frank Rijkaard.
Yang kemudian menjadi kejutan adalah Adriano. Menjalani masa "pembuangan" di Brasil ternyata mengembalikan ketajaman striker yang kini masih resmi menjadi milik Inter Milan itu.
Mungkin telah tobat dan mulai meninggalkan dunia malam serta ketergantungan pada alkohol, Sang Emperor kini adalah ujung tombak andalan Sao Paulo. Sejak Desember lalu sudah 16 gol dia sumbangkan buat klubnya di berbagai kompetisi.
"Semua orang tahu potensinya dan dia menunjukkan keinginan yang kuat dan kemampuan untuk melakukan comeback. Talenta sepakbolanya tak perlu diragukan, dia berjak kembali ke timnas," beber Dunga dalam konferensi pers seperti diberitakan Yahoosports.
Selain Adriano, skuad Brasil diisi oleh nama-nama besar yang memang sudah jadi langganan tim Samba. Di samping duo AC Milan, Kaka dan Pato, Dunga juga memanggil Robinho, Anderson, Diego dan kiper Julio Cesar.
Brasil akan menghadapi Paraguay dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2010 pada 15 Juni dilanjutkan laga menghadapi musuh terbesar mereka Argentina tiha hari berselang. Sebelum itu, skuad besutan Dunga akan menantang Kanada (31/5/2008) dan Venezuela (6/5/2008).
Berikut skuad Brasil
Goalkeepers: Julio Cesar (Inter Milan), Doni (AS Roma), Diego Alves (Almeria)
Defenders: Daniel Alves (Sevilla), Maicon (Inter Milan), Gilberto (Hertha Berlin), Marcelo (Real Madrid), Kleber
(Santos), Lucio (Bayern Munich), Alex Costa (Chelsea), Juan (AS Roma), Luisao (Benfica)
Midfielders: Elano (Manchester City), Gilberto Silva (Arsenal), Mineiro (Hertha Berlin), Josue (VfL Wolfsburg), Anderson
(Manchester United), Diego (Werder Bremen), Kaka (AC Milan)
Forwards: Adriano (Sao Paulo), Alexandre Pato (AC Milan), Julio Baptista (Real Madrid), Luis Fabiano (Sevilla), Rafael
Sobis (Real Betis), Robinho (Real Madrid)
Clichy Ingin Jadi Legenda di Arsenal
London - Gale Clichy menyatakan dirinya tidak akan terlibat dalam potensi eksodus Arsenal. Ia bertekad memiliki karir yang bagus dan lama sehingga suatu saat dirinya bisa tercatat sebagai legenda The Gunners.
Menyusul kegagalan Arsenal meraih piala di musim ini, beberapa bintang "Gudang Peluru" sudah dan akan hengkang. Mathieu Flamini telah dipastikan pindah ke AC Milan, sedangkan Alexandr Hleb kemungkinan besar hijrah ke Inter Milan.
Namun bek kiri Clichy menjamiin fansnya bakal bertahan lama. Komitmen telah ia tekadkan dengan menandatangani perpanjangan kontrak dua tahun.
"Diskusi perpanjang kontrak akhirnya berjalan mulus karena niatku jelas: ingin bertahan di Arsenal," ungkap pemain asal Prancis itu seperti dikutip The Sun.
"Saya menghormati pilihan Mathieu, AC Milan bukanlah sebuah kesempatan yang sering datang. Tapi karena seseorang pindah, tidak berarti saya akan mengikuti mereka."
Ia tidak menampik bahwa bisa saja pengalaman dan hal-hal besar ada di tempat lain. Tapi ia pun yakin bahwa Arsenal bisa mencapai jalan dan tingkatan prestasi yang jauh lebih hebat dari sebelumnya.
"Saya mendambakan punya karir di sini seperti Patrick Vieira atau Thierry Henry, bertahan bertahan-tahun di Arsenal dan meninggalkan bekas tandaku di klub ini," tukasnya.
No comments:
Post a Comment