Thursday, June 19, 2008

Kejujuran Belumlah Mati ?


Belum lama saya mengenalnya, baru beberapa hari yang lalu saat saya
mengantar seorang teman untuk mengganti kacamatanya. Pak Burhan,
usianya sudah kepala empat, ia mengaku sudah dua puluh lima tahun
menjalani profesi sebagai penjual kaca mata, "Optik berjalan,"
istilahnya. Tetapi pertemuan yang hanya satu hari dan tidak
disengaja itu seolah membuat saya merasa baru saja bertemu teman
lama yang teramat saya rindui. Secara fisik, saya memang baru
bertemu kali itu. Dan memang bukan sosoknya yang saya rindui,
melainkan apa yang baru saja diutarakannya tentang sekelumit
pengalamannya mencari nafkah sebagai penjual kaca mata.

Bermula dari teman saya yang memaksa saya untuk ikut bersamanya
memesan kacamata. Saya harus ikut, katanya. Sementara ia tak
menjelaskan maksud `paksaannya' itu, kecuali satu kalimat, "kamu
akan mendapat satu pelajaran lagi". Tak perlu berpikir lama, saya
pun mengiyakan ajakannya. Jika berkenaan dengan soal pembelajaran,
tak ada kata penolakan untuk urusan satu ini.

Enam ratus ribu, biaya yang harus dikeluarkan teman saya untuk satu
kacamata barunya. Baginya, angka sebesar itu tidak masalah, karena
ia akan mendapat penggantian dari kantornya. "Pak Burhan, kita kan
sudah langganan. Tolong dibuatkan kwitansinya satu juta ya pak,
nanti saya kasih seratus ribu buat bapak," tak menyangka, kalimat
itu yang keluar dari mulut teman saya saat ia menyodorkan enam ratus
ribu untuk pembayaran kacamatanya.

Dahinya berkerut, matanya mengerenyit memandang tajam ke arah teman
saya. Ia seperti tengah bertanya-tanya, benarkah permintaan barusan
keluar dari langganannya yang satu ini? "Apa saya tidak salah dengar
pak? Bukankah bapak sudah tahu sikap saya untuk hal ini?" orang di
sebelah saya yang baru saja memesan kacamata hanya menyeringai,
kemudian terkekeh kecil. Kemudian ia bangkit dan memeluk Pak
Burhan, "Ternyata, Pak Burhan sekarang tidak berubah dengan Pak
Burhan dua tahun lalu, saat pertama kali saya memesan kacamata lewat
bapak," ujar teman saya yang ternyata hanya menguji Pak Burhan.

Dua puluh lima tahun ia menjalani profesinya sebagai optik berjalan,
tidak bisa dibilang cukup penghasilan yang bisa diperolehnya. Untuk
pesanan satu kacamata, tak jarang ia hanya mendapat keuntungan dua
puluh lima ribu rupiah, walau pun sesekali ia merasakan keuntungan
empat kali lebih besar dari itu. "Yah, nggak sebulan sekali pak,"
ujarnya singkat. Dalam seminggu paling banyak dua pesanan kacamata
yang diterimanya, bahkan kadang tak satupun ia mendapat pesanan
dalam satu pekan.

Namun, keadaan yang semakin menghimpitnya itu ternyata tak pernah ia
jadikan alasan untuk menerima tawaran untuk membuat kwitansi diluar
kewajaran. "Banyak pak yang minta saya bikin kwitansi semacam itu,
selalu saya tolak. Duitnya nggak seberapa, tapi dosanya itu..."
menjawab pertanyaan saya, berapa banyak langganannya yang meminta
jumlah pembayarannya dilebihkan dalam kwitansi.

"Bapak tidak takut langganannya akan beralih ke yang lain?" tanya
saya disambutnya dengan seringai tawanya yang sedikit
tertahan. "Yang saya tahu pak, tangan kanan itu tempatnya tetap di
kanan, nggak pernah pindah ke kiri." Ia memperjelas kalimatnya,
bahwa kebenaran nggak akan pernah ditinggalkan, dan menurutnya,
justru semakin banyak pemesan kacamata yang datang kepadanya.
Padahal ia tidak pernah mengenal sebelumnya. "Itu di luar langganan,
kalau yang sudah langganan sih pasti datang kesini, seperti teman
bapak ini," tawanya mulai lepas.

Pak Burhan, dibalik perawakannya yang kecil, kurus dan berkulit
hitam itu tersimpan hati yang jernih, yang didalamnya terukir indah
kejujuran yang senantiasa terawat indah. Dan teman saya benar, saya
baru saja mendapati sebuah kenyataan, bahwa kejujuran ternyata belum
benar-benar mati. (Bayu Gawtama)


The world cares very little about what a man or woman knows; it is what the man or woman is able to do that counts."


Booker T. Washington
1856-1915, Educator and Reformer

Many people today live their entire lives on the basis of "seeing is believing." That is to say, the only images they get emotionally involved with are the ones they can discern with their physical senses. But the individuals of real "vision," down through the ages, have always known the overriding principle is, "what you see is what you get."

Expressed somewhat differently, what this means is that the images in people's minds, actually precede the concrete images, which pervade our material world. Therefore, you should be aware of the fact that the fascinating physical world we see before us, with all of its conveniences for making our lives more comfortable, has been built largely by image-makers - men and women of vision who knew what they could do, and EXPECTED everything else to "fall into place," regardless of what their critics might say to the contrary.

Remember, you will only receive what you truly expect, not what you only wish for.

DEDE WIJAYA BICARA POLITIK (www.dedewijaya. co.cc)

Siapa yg tidak kenal sosok beliau? Tokoh yang sangat Nasionalis ini layak untuk diperhitungkan menjadi kandidat Calon Presiden Indonesia 2009, Wacana ini telah lama berkembang bahkan ketika Pemilu 2004 lalu, waktu itu ada kelompok2 masyarakat yg ingin mencalonkan Kwik Kian Gie sebagai Calon Presiden Independen. namun UU belum memperbolehkan hal ini.

Sebagian masyarakat Indonesia yg tahu betul sepak terjang Kwik Kian Gie sejak zaman Presiden Soeharto, pasti tahu apa saja yg sudah dilakukan Kwik Kian Gie yg selalu getol bersuara meski harus berhadapan dengan kondisi Pemerintahan saat itu yg penuh dengan budaya KKN. Pengalamannya dibidang Ekonomi yang Pro Rakyat dan bidang Politik tidak perlu diragukan lagi. Kecintaan dan Nasionalisme- nya siapa yang bisa meragukannya.

Diantara para nasionalis seperti Amien Rais, Megawati, Akbar Tandjung, dll, nama Kwik Kian Gie termasuk harum dan disegani baik oleh teman-teman Politik antar partai maupun oleh musuh-musuh politik PDI Perjuangan dimana Kwik duduk sebagai Balibtbang PDIP. Tampaknya sosok Beliau yang berdarah Tionghoa-Indonesia yang mengecap Pendidikan di Belanda ini memang layak disandingkan dan disamakan dengan tokoh-tokoh nasional seperti Akbar Tandjung, Amien Rais, SBY, Megawati, Jusuf Kalla, dll.

Dalam beberapa buku yang ditulis dari kalangan Muslim, memunculkan wacana mengenai Presiden Indonesia yang bukan dari Islam. Tampak wacana ini diusung untuk memberi kesempatan yang sama bagi semua orang Indonesia tidak memusingkan Suku Bangsa (Jawa-Non Jawa), Agama (Islam-Kristen- Budha,dll) , dan lain sebagainya. Menurut hemat penulis, memang sudah seharusnya kita sebagai Warga Negara Indonesia melihat sosok seseorang bukan dari latar belakang yang bersifat SARA namun lebih pada melihat tokoh atau sosok itu dari Track Record dan Kapabilitas Beliau sebagai seorang Pemimpin dan Negarawan Sejati. Sosok Nasionalis selalu lebih disukai daripada yang bersifat Agamis dalam negara yang Ber-bhinneka Tunggal Ika ini dalam wadah NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Bahkan Kwik ketika harus berhadapan dengan para "konglomerat hitam" yang beberapa diantaranya adalah keturunan Tionghoa, Beliau tetap lebih mementingkan kepentingan Rakyat Indonesia dan bahkan cenderung membenci semua konglomerat hitam yang jelas tidak perlu dikasihani oleh negara.

Tampaknya sosok Beliau yang berani mati demi sebuah ideologi dan misi membela kepentingan Rakyat Indonesia, patutlah mendapat acungan jempol dan penghargaan.

Menjelang PEMILU 2004, nama Beliau sempat diusung menjadi calon Presiden, dan bahkan beberapa Capres saat itu memperhitungkan beliau untuk disandingkan menjadi Calon Wakil Presiden.

Pengalaman Beliau ddalam berorganisasi tidak perlu diragukan lagi, sejak bergabung di PDI Perjuangan dalam masa-masa yang berat saat Orde Baru, Beliau siap mati demi membela kepentingan Nasional dan PDI Perjuangan dibawah kepemimpinan Ibu Megawati Soekarnoputri. Tampaknya kesetiaan beliau kepada Ibu Megawati dan PDI Perjuangan juga tidak lepas dari kekaguman Beliau akan sosok Ir. Soekarno, sang Penyambung Lidah Rakyat.

Masih ingat dengan Kaukus November yg beliau Prakarsai sejak 1998? Beliau bukan hanya berhasil mengggagas namun juga mewujudkan dan mengajak para nasionalis yg cinta bangsa dan negara untuk perhatian kepada masalah-masalah utama bangsa ini.

Kwik, Tokoh Tionghoa yang "paling nasionalis" ini juga aktif dalam membela BUMN-BUMN dari kekuasaan Pihak Asing yang ingin menggerogoti Kekayaan Negara Indonesia yang tiada tara sebagai Berkat Yang Maha Kuasa.

Apalagi yang mau saya katakan tentang Beliau? Salah satu tokoh nasionalis yang mempengaruhi hidup saya adalah Kwik Kian Gie, selain tentunya Soekarno, dll. Tentunya Track Record beliau di PDIP dan Pemerintahan semasa menjabat Menteri patut mendapat perhitungan dan penilaian yang serius dari masyarakat Indonesia.

Jadi, adakah anda dan saya mau mendukung Kwik Kian Gie for President 2009? Mari wujudkan Calon Independent, mari wujudkan Mimpi jadi Kenyataan.

Bagi penulis, sosok Kwik Kian Gie bagaikan sosok yang memberi warna berbeda dan menyegarkan ditengah situasi bangsa dan negara yang sering disebut Carut-Marut. Dan tampaknya, Beliau Layak diperbincangkan dan terus diwacanakan sebagai salah satu calon Presiden Independen selain tokoh-tokoh seperti Akbar Tandjung, SBY, Jusuf Kalla, Megawati, Amien Rais, Bang Yos, Prabowo Subianto, Wiranto, dll.

Kwik Kian Gie

Pengamat ekonomi kelahiran Juwana, Jawa Tengah, 11 Januari 1935, menjalani pendidikannya di SMA Bagian G (1955); Fakultas Ekonomi UI, Jakarta (1956 tingkat persiapan); dan Nederlandsche Economische Hogeschool, Rotterdam, Negeri Belanda (1963). Ia mengawali kariernya sebagai Staf lokal KBRI di Den Haag (1963-1964). Ia juga aktif di bidang organisasi dan pendidikan, antara lain sebagai Bendahara Yayasan Trisakti; Bendahara Yayasan Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia Pusat(Yapptis- pusat); Sekretaris Badan Kerja Harian Yayasan Prasetya Mulya; Ketua Bidang Ekonomi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa Pusat (Bakom PKB Pusat); Kolumnis masalah ekonomi dan manajemen.

Kwik Kian Gie Tolak Kenaikan Harga BBM


Yogyakarta-Ekonom yang juga mantan Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie menyatakan ketidaksetujuannya jika harga BBM dinaikkan. “Solusinya, harga BBM itu, ya tidak dinaikkan,” tegasnya saat menjawab pertanyaan peserta Sarasehan Kebangkitan Nasional di Tamansiswa Yogyakarta, Kamis (15/5).
Menurut Kwik, alasan pemerintah menaikkan harga BBM itu, harga minyak di dunia internasional telah mencapai US$ 120-130 per barelnya, sementara harga di tingkat nasional per liternya hanya Rp 4.500. Dengan begitu pemerintah harus memberikan subsidi. Namun uangnya di APBN tidak ada, maka harganya harus dinaikkan. “Alasan itu tidak betul,” kata Kwik.
Minyak mentah yang berada di perut bumi Indonesia adalah milik rakyat Indonesia. Dengan demikian, minyak mentah untuk rakyatnya itu tak ada harganya. Dia lebih lanjut mengatakan minyak mentah yang dijadikan premium dan didistribusikan ke SPBU-SPBU tersebut hanya memerlukan biaya US$ 10 per barelnya. Satu barel sama dengan 159 liter. Jika US$ 1 itu sama dengan Rp 10.000, untuk mengadakan sampai ke SPBU hanya Rp 630. Setiap satu liter Premium yang dijual, pemerintah untung Rp 3.870.
“Apa yang dikhawatirkan pemerintah? Saya punya bukti ada kelebihan uang,”tutur Kwik. Dia mengakui dengan harga US$ 120 per barelnya, sementara konsumsi BBM melebihi produksi, jumlah subsidi yang dikeluarkan banyak. Dia mengatakan produksi 40.624.500.000 liter/tahun, sedangkan konsumsi 60.000.000.000 liter/tahun.
Jadi kekurangan yang harus diimpor 19.375.500.000 liter/tahun sehingga rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini Rp 121,9 triliun. “Tapi kelebihan uangnya juga banyak (dari penjualan-red) . Dan kalau itu digabung jadi satu, masih plus Rp 35 triliun,” ungkap Kwik.
Dan, menurut Kwik, ketika hal ini ditanyakan pada Jusuf Kalla dalam “Todays Dialogue”, juga diakui, dan uang kelebihan tersebut untuk membangun infrastruktur. “Saya katakan, lupakanlah infrastruktur, perut yang lapar inilah yang lebih didahulukan,” tutur Kwik. (yuyuk sugarman)

Nama :
Kwik Kian Gie
Lahir :
Juwana, Jawa Tengah 11 Januari 1935
Pendidikan :
*1955 SMA Bagian C
- 1956 FE-UI (Tk.Persiapan)
- 1956-1963 Nederlandsche Economiche Hogeschool, Rotterdam Belanda
Isteri:
Dirkje Johanna de Widt
Anak:
-Ing Hie (lahir 1963:lulusan MBA dari Stanford University,tahun199 1)
- Mu lan (lahir 1967:lulusan Universitas Erasmus Rotterdam)
- Ing Lan (lahir 1971:luusan Institut Bisnis Indonesia)
Karya :
- 1993 Saya Bermimpi Jadi Konglomerat (Jakarta, Gramedia)
- 1994 Analisa Ekonomi Politik Indonesia (Jakarta,Gramedia Pustaka Umum)
Organisasi:
Ketua DPP/Ketua Litbang PDIP
Karir :
- 1963-1964 Staf Lokal KBRI di Den Haag
- 1964-1965 Direktur Nederlands Indonesische Geoderen Associatie
- 1965-1970 Direktur NV handelsonderneming "Ipilo Amsterdam"
- 1971-1974 Direktur PT Indonesian Financing & Investment Company
- 1978-1990 Direktur dan Salah Seorang Pemegang saham PT Altron Panorama Electronics
- 1978 Dirut PT Jasa Dharma Utama
- 1978 Komisaris PT Cengkih Zanzibar
- Sejak 1985 Pengamat/penulis ekonomi yang kreatif di KOMPAS
- 1987 Bersama Djoenaedi Joesoef dari Konimex dan Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional,menggagas terbentuknya Institut Bisnis Indonesia (IBiI),dan bersama Yayasan Wit teven Dekker membentuk IBiI.Kwik menjabat sebagai Ketua Dewan Direktur sejak pendiriannya
Anggota MPR/DPR-RI dan Wakil Ketua MPR-RI 1999.
Menko Ekonomi Kabinet Persatuan Nasional 1999-2000
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas Kabinet Gotong-Royong 2001-2004.

Alamat Kantor :
DPP PDI Perjuangan
Jl.Lenteng Agung No.99
Jakarta Selatan
Telp.021-7802824
Gedung Bappenas
Jl. Diponegoro Jakarta Pusat

Kwik Kian Gie
Eksekutif Berjiwa Pengamat

Analisisnya mengenai ekonomi selalu tajam. Menteri yang berjiwa pengamat ini, sebelumnya berprofesi manajer dan pengusaha. Namun tampaknya ia lebih pas sebagai pengamat. Lalu keaktifannya di Litbang PDIP telah mengantarkannya duduk di eksekutif sebagai Menko Ekonomi pada pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada pemeritahan Megawati. Eh, lagi-lagi ia memperlihatkan sosok sebagai seorang pengamat.

Pengamat ekonomi yang dibesarkan Harian KOMPAS ini tidak berubah dari habitatnya, kendati ia sudah dalam posisi eksekutif, pengambil keputusan, sebagai menteri. Ia sering melontarkan pendapat yang berbeda dari kebijaksanaan yang diputuskan kabinet atau pemerintah. Sering tampil sebagai pengamat melontarkan pendapat yang populer. Padahal ia adalah seorang eksekutif.
Akibatnya, tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong yang pada mulanya disebut The Dream Team itu menjadi terkesan amburadul. Tidak ada kordinasi. Ada yang berpendapat bahwa Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro_Jakti tidak mampu memimpin timnya. Tapi sebagian lagi menyatakan bahwa Kwik lebih baik mengundurkan diri dan kembali kehabitatnya sebagai pengamat.
Kegaduhan tim ekonomi ini dimanfaatkan pula oleh kalangan politisi dan aktivis politik sebagai pintu masuk menyoroti lemahnya kepemimpinan Presiden Megawati. Ada juga yang memanfatkannya dengan menyarankan dilakukannya reshuffle kabinet sesegera mungkin.
Tapi Megawati tampaknya telah belajar dari ringan tangannya Gus Dur mengganti menterinya. Sehingga selamatlah Kwik dan tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong lainnya dari pemberhentian.
Kwik sendiri sudah mengalami pergantian dengan ‘dipaksa’ mundurnya dia dari jabatan Menko Ekuin oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ia ‘dipaksa’ mundur setelah ia dibuat frustrasi seperti ditulis Suara Pembaruan edisi Jumat (11/8) mengutip sumbernya, "Pak Kwik sering tidak tahan menghadapi ulah para menteri, utamanya yang dekat dengan Presiden, karena mereka tidak pernah mau datang ke rapat-rapat koordinasi." Mereka juga menilai bahwa Kwik lebi pas sebagai pengamat ketimbang jadi eksekutif, pengambil keputusan.
Hal yang sama hampir saja terjadi jika Kwik bukan kader PDIP dan jika Presiden Megawati menuruti keinginan para politisi dan pengamat. Hari ini mungkin Kwik tidak lagi sebagai eksekutif tapi sudah berkonsentrasi sebagai pengamat, dunia yang sangat dijiwainya.
Kwik lahir di Juwana, Jawa Tengah, 11 Januari 1935. Sebentar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kemudian putera seorang pengusaha hasil bumi bernama The Kwie Kie ini, berangkat kuliah ke Nederlandsche Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda. Di sana pula ia bertemu dengan Dirkje Johanna de Widt, gadis Rotterdam yang kemudian menjadi isterinya. Dua dari tiga anaknya juga lahir di kota itu.
Lulus dari Nederlandsche Economische Hogeschool pada 1963, ia tidak langsung pulang ke Indonesia, tetapi bekerja dulu sebagai asisten atase kebudayaan dan penerangan pada Kedutaan Besar RI di Den Haag. Namun pekerjaan itu hanya dilakoninya setahun. Selanjutnya, ia menjadi direktur NV Handelsonderneming IPILO, Amsterdam. Tahun 1970 ia kembali ke tanah air, dan sempat menganggur pula selama setahun sebelum akhirnya terjun ke dunia bisnis dan mendirikan PT Indonesian Financing & Investment Company. Ia sempat pula menjadi pimpinan beberapa perusahaan lainnya.
Dunia bisnis kemudian ditinggalkan pada 1987, meskipun sampai tahun 1990 namanya masih tercatat sebagai direktur utama PT Altron Niagatama Nusa. "Saya sudah punya cukup uang untuk membiayai semua yang saya inginkan," katanya suatu kali kepada Matra. Ia pun tampil sebagai pengamat ekonomi. Analisisnya yang sering diterbitkan Harian KOMPAS telah membesarkan dan mempopulerkan namanya. Ia pun terjun ke dunia politik dan pendidikan. Untuk dunia pendidikan, bersama dua kawannya, Kaharudin Ongko dan Djoenaedi Joesoef, ia mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Institut Bisnis Indonesia (STIE IBII). Di lembaga itu ia duduk dalam jajaran dewan direktur.
Untuk politik, ia bergabung dengan PDI pro Megawati. Di sana ia duduk di Badan Penelitian dan Pengambangan (Balitbang), sekaligus menjadi salah satu Ketua DPP. Meskipun kemudian Mega disingkirkan oleh pemerintah dari PDI, ia tetap konsisten membela dan mendukung Mega. Menurut Kwik, kemanusiaan Mega sangat tinggi. "Kemanusiaannya besar sekali, sehingga Mega tidak bisa melihat darah mengalir, kerusuhan atau kematian. Dia terus menerus berpesan agar anggota PDI menjaga diri dan menghindari kerusuhan," katanya suatu kali.
Ia menambahkan, bahwa Mega itu manusia yang mirip Bung Karno, "dan logisnya luar biasa". Ia hidup untuk melayani orang lain. Itu tak lain karena Mega dilahirkan dalam keadaan untuk melayani orang lain. "Jadi kalau dia peduli terhadap kehidupan bangsa ini, itu bukan dibuat-buat, bukan agar dia menjadi orang berpangkat atau orang penting," tambah Kwik.
Keadaan memang berubah, reformasi datang, dan PDI Megawati -- kemudian bernama PDI Perjuangan -- diperbolehkan menjadi salah satu partai politik. Selanjutnya, penulis dan pengamat masalah-masalah ekonomi yang sangat produktif ini pun naik ke Senayan sebagai anggota DPR. Di sana, ia pun sempat dipercaya menjadi Wakil Ketua MPR. Kemudian diangkat Gus Dur sebagai Menko Ekuin. Lalu ‘dipaksa’ mudur dari jabatan itu. Dan, oleh Megawati diangkat lagi jadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Ketua Bappenas pada Kabinet Gotong-Royong. *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber terutama Tempo, Kompas dan Suara Pembaruan)


No comments: