
Saya sempat merasakan beberapa final ajang internasional dan final Liga Champion 2006/07 di Olympic Stadium adalah yang paling amburabdul! Saya tidak membahas soal kualitas permainan AC Milan dengan Liverpool, tapi penyelenggaraan yang berantakan.
Saya katakan demikian karena final di Athena acak-acakan dibanding dengan apa yang pernah saya rasakan saat menyaksikan final Piala Dunia 2002, Euro 2004, Liga Champion 2006, atau Piala FA 2007. Bahkan dibandingkan Community Shield sekalipun, final Liga Champion kali ini kalah kelas!
Ketidakrapian terasa sejak konfirmasi dari panitia kepada media tidak kunjung diterima hingga sepekan sebelum final. Biasanya UEFA dan FIFA memberikan konfirmasi jauh-jauh hari, paling telat seminggu. Kecuali untuk final World Cup dan Euro atau event besar yang sudah diikuti para wartawan sejak awal. Namun, konfirmasi akreditasinya pun dilakukan sejak jauh-jauh hari.
Di final LC 2007, konfirmasi baru diterima media pada Sabtu (19/5) atau empat hari sebelum pertandingan. Akibatnya pengurusan akreditasi yang dibuka mulai Senin (21/5) pun menjadi kacau.
Ketika saya mengurus pada Senin, akreditasi saya pun tidak ada, meski di daftar tercantum. Akreditasi pun baru dibuatkan pada hari berikutnya. Banyak tempat duduk untuk media juga tidak diberi nomor sehingga banyak yang salah tempat dan ujung-ujungnya first come, first served.
Ketika kick-off, tiba-tiba masuk segerombol wartawan yang kebanyakan berbahasa Italia. Biasanya mereka merupakan media yang masuk daftar tunggu. Namun, mestinya panitia menghitung kapasitas atau paling tidak membantu mereka mendapat tempat duduk. Para wartawan itu malah dibiarkan bergerombol menghalangi para jurnalis yang sudah mendapat tempat, duduk sembarangan termasuk di tangga, bahkan mengangkat kursi sendiri dari luar!
Yang lebih parah para steward, yang semestinya membantu kelancaran penyelanggaraan, tidak paham apa yang mesti dikerjakan. Saat para penonton memasuki stadion, banyak dari mereka tidak terlihat. Tapi, ketika pertandingan dimulai, mereka bermunculan. Ironisnya bukan untuk menjaga atau membantu penonton, melainkan malah menonton!
Tangga di setiap pembatas penonyon penuh oleh steward yang menonton. Hampir semua steward di pinggir lapangan pun menghadap ke lapangan, bukan ke penonton! Akibatnya tiba-tiba muncul seorang suporter yang berlari masuk ke lapangan membawa bendera Yunani saat pertandingan tengah berlangsung.
Steward baru bisa menghentikannya setelah suporter tersebut berlari dari ujung selatan ke ujung utara lapangan. Setelah itu, baru para steward di pinggir lapangan mulai memperhatikan penonton. Tapi, yang di tribun penonton tetap saja asyik menonton dan duduk tenang memenuhi tangga.
Situasi seperti itu tidak pernah saya lihat di Piala Dunia, Piala Eropa, Piala FA, atau Liga Champion sebelumnya. Para steward yang menonton kerap ditegur pemimpin mereka. Kalaupun ikut menonton, mereka tidak melakukannya secara mencolok dan memenuhi ruang yang bukan milik mereka.
Hal berantakan lain terlihat di mix zone, zona steril untuk para wartawan mewawancarai pemain dan pelatih. Di lokasi terbuka di luar stadion itu tiba-tiba banyak suporter yang meminta tanda tangan. Jangankan suporter, media yang tidak punya tanda mix zone saja biasanya dilarang masuk ke aera tersebut. Parah!
Belum lagi kasus tikat palsu yang membuat sekitar 2.000 orang dengan tiket asli tidak bisa masuk ke stadion. Kasus itu menimbulkan kerusuhan di luar stadion sejam menjelang kick-off.
Ujungnya, saya sependapat dengan mantan pemimpin Partai Konservatif Inggris, Michael Howard, yang juga hadir di Olympic Stadium. Ia menyebut stadion tersebut tidak layak untuk final Liga Champion. Ya, memang tidak layak!
We are told that talent creates its own opportunities. But it sometimes seems that intense desire creates not only its own opportunities, but its own talents.

Saya katakan demikian karena final di Athena acak-acakan dibanding dengan apa yang pernah saya rasakan saat menyaksikan final Piala Dunia 2002, Euro 2004, Liga Champion 2006, atau Piala FA 2007. Bahkan dibandingkan Community Shield sekalipun, final Liga Champion kali ini kalah kelas!
Ketidakrapian terasa sejak konfirmasi dari panitia kepada media tidak kunjung diterima hingga sepekan sebelum final. Biasanya UEFA dan FIFA memberikan konfirmasi jauh-jauh hari, paling telat seminggu. Kecuali untuk final World Cup dan Euro atau event besar yang sudah diikuti para wartawan sejak awal. Namun, konfirmasi akreditasinya pun dilakukan sejak jauh-jauh hari.
Di final LC 2007, konfirmasi baru diterima media pada Sabtu (19/5) atau empat hari sebelum pertandingan. Akibatnya pengurusan akreditasi yang dibuka mulai Senin (21/5) pun menjadi kacau.
Ketika saya mengurus pada Senin, akreditasi saya pun tidak ada, meski di daftar tercantum. Akreditasi pun baru dibuatkan pada hari berikutnya. Banyak tempat duduk untuk media juga tidak diberi nomor sehingga banyak yang salah tempat dan ujung-ujungnya first come, first served.
Ketika kick-off, tiba-tiba masuk segerombol wartawan yang kebanyakan berbahasa Italia. Biasanya mereka merupakan media yang masuk daftar tunggu. Namun, mestinya panitia menghitung kapasitas atau paling tidak membantu mereka mendapat tempat duduk. Para wartawan itu malah dibiarkan bergerombol menghalangi para jurnalis yang sudah mendapat tempat, duduk sembarangan termasuk di tangga, bahkan mengangkat kursi sendiri dari luar!
Yang lebih parah para steward, yang semestinya membantu kelancaran penyelanggaraan, tidak paham apa yang mesti dikerjakan. Saat para penonton memasuki stadion, banyak dari mereka tidak terlihat. Tapi, ketika pertandingan dimulai, mereka bermunculan. Ironisnya bukan untuk menjaga atau membantu penonton, melainkan malah menonton!
Tangga di setiap pembatas penonyon penuh oleh steward yang menonton. Hampir semua steward di pinggir lapangan pun menghadap ke lapangan, bukan ke penonton! Akibatnya tiba-tiba muncul seorang suporter yang berlari masuk ke lapangan membawa bendera Yunani saat pertandingan tengah berlangsung.
Steward baru bisa menghentikannya setelah suporter tersebut berlari dari ujung selatan ke ujung utara lapangan. Setelah itu, baru para steward di pinggir lapangan mulai memperhatikan penonton. Tapi, yang di tribun penonton tetap saja asyik menonton dan duduk tenang memenuhi tangga.
Situasi seperti itu tidak pernah saya lihat di Piala Dunia, Piala Eropa, Piala FA, atau Liga Champion sebelumnya. Para steward yang menonton kerap ditegur pemimpin mereka. Kalaupun ikut menonton, mereka tidak melakukannya secara mencolok dan memenuhi ruang yang bukan milik mereka.
Hal berantakan lain terlihat di mix zone, zona steril untuk para wartawan mewawancarai pemain dan pelatih. Di lokasi terbuka di luar stadion itu tiba-tiba banyak suporter yang meminta tanda tangan. Jangankan suporter, media yang tidak punya tanda mix zone saja biasanya dilarang masuk ke aera tersebut. Parah!
Belum lagi kasus tikat palsu yang membuat sekitar 2.000 orang dengan tiket asli tidak bisa masuk ke stadion. Kasus itu menimbulkan kerusuhan di luar stadion sejam menjelang kick-off.
Ujungnya, saya sependapat dengan mantan pemimpin Partai Konservatif Inggris, Michael Howard, yang juga hadir di Olympic Stadium. Ia menyebut stadion tersebut tidak layak untuk final Liga Champion. Ya, memang tidak layak!
We are told that talent creates its own opportunities. But it sometimes seems that intense desire creates not only its own opportunities, but its own talents.

No comments:
Post a Comment