Thursday, June 7, 2007

Kemakmuran Itu Hanya Fatamorgana

Banyak orang mungkin tak percaya bahwa karyawan PT Freeport Indonesia di pedalaman Papua tidak sejahtera. Akan tetapi, itulah yang mereka rasakan sejak pengelolaan perusahaan tambang tembaga itu dialihkan dari McMoran ke PT FI.

Jawab sekarang,
Jawab sekarang,
Jawab sekarang jangan ditunda,
Jangan ditunda,
Jangan ditunda

Lagu Panjang Umur yang sudah diganti syairnya itu dinyanyikan penuh semangat oleh ribuan karyawan PT Freeport Indonesia (FI). Suasana di depan gedung perkantoran PT FI di Kuala Kencana pun meriah. Bukan oleh kegembiraan dan sukacita, melainkan oleh keseriusan dari ribuan karyawan asal Papua itu dalam memperjuangkan tuntutannya.

Penggantian kata "panjang umurnya" dengan "jawab sekarang" dimaksudkan untuk menegaskan tuntutan mereka atas perbaikan kesejahteraan. Kata "serta mulia" pun diganti dengan "jangan ditunda" untuk menegaskan bahwa ribuan orang itu tidak main-main dengan tuntutan mereka.

Aksi yang masih berlangsung hingga Kamis (19/4) malam itu memang mengejutkan. Siapa sangka pilihan PT FI untuk menolak Resolusi Tongoi Papua, yakni resolusi sebuah organisasi para karyawan PT FI asli Papua, ternyata serius dan berujung pada mogok kerja.

Resolusi yang dihasilkan Musyawarah Besar Tongoi Papua pada 9 November 2006 itu awalnya hanya dianggap mewakili aspirasi 2.900 lebih karyawan PT FI. Bahkan, manajemen PT FI dalam pertemuan dengan perwakilan Tongoi Papua pada hari Rabu lalu menyatakan baru mendengar resolusi itu sehingga belum bisa memutuskan apa pun.

Aksi mogok kerja besar-besaran yang sempat menghentikan kegiatan produksi itu sebenarnya sudah digagas beberapa lama. Mereka bahkan sudah minta disediakan bus untuk perjalanan ke Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, untuk berunjuk rasa ke DPRD setempat.

Karena perusahaan tak mau menyediakan bus, Selasa sore, 1.012 karyawan PT FI berjalan kaki sejauh 67,6 kilometer ke Timika. Bak bola salju, keberanian 1.012 karyawan itu akhirnya menggugah ribuan karyawan lain. "Ini perjuangan bersama karena nasib kami para karyawan non-Papua pun sama saja," kata Ronny Warouw, karyawan yang bekerja di Grassberg.

Warouw yang sudah 10 tahun bekerja di Portsite itu menceritakan sulitnya hidup dengan gaji pokok Rp 2 juta. "Bayangkan, sewa rumah di Timika Rp 800.000 per bulan. Anak saya tiga, dan biaya sekolah mahal. Padahal, kerja kami berat, tidak pernah bergaul dengan anak, tinggalkan istri," katanya.

"Selama 10 tahun saya bekerja keras, tetapi pangkat saya tidak pernah naik, tetap grade D, nonstaf," ujar Jitmau, karyawan lain.

Keluh kesah para karyawan PT FI itu selalu diwarnai nostalgia terhadap kesejahteraan karyawan kala salah satu areal tambang tembaga paling produktif di dunia itu masih dikelola McMoran. Kumbubui adalah satu dari sedikit karyawan PT FI yang sempat mencicipi nikmatnya manajemen McMoran.

Makin memburuk

Bukan semata-mata gaji atau fasilitas yang sebenarnya mereka gugat. Sebagai orang yang bekerja di wilayah operasi tambang yang rawan, Kumbubui dan sejumlah karyawan lapangan Grassberg mengeluhkan kian memburuknya pengelolaan dan manajemen keselamatan areal tambang.

Kondisi ribuan karyawan menjadi lebih pelik lagi karena khalayak ramai selama ini menilai tumpukan keuntungan PT FI telah membuat para karyawannya berkelimpahan. Orang yang hanya tahu bahwa PT FI menghasilkan uang miliaran dolar AS tidak akan percaya jika Jitmau, Warouw, Kumbubui, atau ribuan karyawan lain hidup berkesusahan.

Tumpukan masalah yang terjadi pascapengalihan areal tambang dari McMoran kepada PT FI itulah yang akhirnya bermuara dalam Musyawarah Besar Tongoi Papua pada tanggal 7-9 November 2006. Sebuah musyawarah besar yang melahirkan Resolusi Tongoi Papua.

Resolusi itu berisi sembilan tuntutan yang harus dikabulkan manajemen sebelum 16 April. Tuntutan itu, antara lain, kenaikan pangkat 1 tingkat bagi semua karyawan nonstaf yang masa kerjanya satu tahun atau lebih. Sebab, selama tiga tahun terakhir, mereka tidak mendapat promosi.

Resolusi itu juga menuntut agar karyawan tingkat terendah, grade F, yang saat ini gajinya kurang dari Rp 2 juta dinaikkan menjadi Rp 3,6 juta. Pola dan pintu rekrutmen juga diminta untuk diubah.

Resolusi itu juga menyatakan pimpinan Departemen Keamanan (Security Department) yang dinilai tidak berpihak kepada karyawan, khususnya karyawan asli Papua, harus dicopot.

Atas semua tuntutan itu, PT FI merasa sudah menjawabnya. Akan tetapi, Tongoi Papua menilai jawaban PT FI mengambang. Ribuan karyawan lain yang tak tergabung dalam Tongoi Papua juga menilai komitmen PT FI untuk memperbaiki kondisi kerja dan kesejahteraan tidak jelas. Itulah yang menyebabkan mereka akhirnya bergabung untuk mogok kerja.

Bencikah mereka kepada PT FI yang telah menghidupinya? Jitmau memastikan tak satu karyawan pun membenci PT FI. Mereka hanya ingin agar manajemen baru itu memenuhi tuntutan karyawan, saat itu juga para karyawan akan balik ke tempat kerja masing-masing

No comments: