Thursday, August 23, 2007

Ketika Iran dan AS Menjadi Saudara


Ketika Iran dan AS Menjadi Saudara
Oleh Muhammad Ja’far


Seperti burung-burung attar, jalan kami untuk menemui keluarga Hassan
membawa kami berhadapan dengan cinta, lebih jauh dari pada dunia politik
dan sangkaan tidak berdasar (Ward, hlm 568).

Benar, bahwa Negara menjalankan fungsi representasi atas (aspirasi)
rakyatnya melalui mekanisme politiknya. Namun, itu bukan berarti rakyat
dapat selalu diidentikkan dengan Negara yang menjadi tempat afiliasinya.
Terlebih lagi, rakyat diidentikkan dengan praktik politik yang berlaku
didalamnya (pemerintahnya). Ini problem masyarakat dunia dewasa ini,
yaitu keunikan individual, tergerus oleh komunalitas. Identifikasi serta
generalisasi rakyat sebuah Negara dengan pemerintahan yang berkuasa
didalamnya kerap terjadi.

Bahwa Amerika Serikat (AS) dan Republik Islam Iran kini sedang
berseteru, benar adanya. Hubungan politik antar keduanya sedang memanas, tepat
sekali. George W Bush, Presiden AS, dan Mahmoud Ahmadinajed, Presiden
Iran, bisa dinobatkan sebagai dua pemimpin yang dalam dua tahun terakhir
ini paling gencar berkonfrontasi diplomasi politik. Saling tuding dan
aling dilakukan masing-masing. Terutama menyangkut isu program nuklir.
Tampaknya tidak ada yang akan membantah bahwa antar keduanya sulit
dibangun jembatan damai serta harmonisasi.

Tapi dalam buku ini, The Hidden Face of Iran,, fakta yang kita dapatkan
justru sebaliknya: ‘Iran’ dan ‘Amerika’ bergandengan tangan layaknya
saudara. Hubungan keduanya demikian erat, bersahabat dan penuh
kekeluargaan. Sesuatu yang tidak kita dapatkan dalam cakrawala polotik praktis
kedua Negara tersebut.

Buku ini membawa sebuah pesan tulus; mengidentikkan serta
menggenaralisir individu (rakyat) dalam sebuah Negara dengan pemerintahan politiknya
merupakan sebuah sikap yang sama sekali tidak tepat. Ward ingin
berpesan bahwa fakta yang mengemukan pada tataran politis tidak dapat serta
digeneralisir pada aspek sosio-kultural. Tidak selamanya realitas
sosio-kultural parallel dengan kekelaman fakta politik. Konflik politik
tidak dapat digeneralisir sebagai konflik peradaban. Keduanya tidak
identik, walaupun dalam batas tertentu kesalingpengaruhannya tidak dapat
dinafikan. Itu pasti. Namun, selalu saja banyak jalan untuk membuka pintu
dialog sosia-kultural (peradaban) ketika pintu politik justru menutupnya
dengan erat. Sebaliknya, bukan tidak mungkin, ketika relasi pada
tingkat sosial-budaya buntu, aktor-aktor politik dua buah Negara justru
bermesraan demi sebuah opportunisme-pragmatisme politik.

Buku ini merupakan rekaman perjalanan Terence Ward mengarungi tebing
curam realitas Iran. Ward ialah seorang berkebangsaan Amerika Serikat.
Bersama keluarga besarnya, ia menghabiskan masa kecilnya di Iran. Selama
itu, keluarga Ward ditemani seorang pembantu bernama Hassan, penduduk
setempat. Pengabdian Hassan yang tulus tanpa pamrih menempatkannya lebih
dari sekedar koki penyiap masakan. Terjalin hubungan demikian erat dan
istimewa antara keluarga Hassan dan keluarga Ward dalam satu atap.
Hingga akhirnya takdir memisahkan keduanya pada 1960-an. Keluarga Ward
kembali ke negaranya, Amerika Serikat. Sedangkan Hassan tetap bersemayam
di bumi pertiwinya, Iran.

Tiga puluh tahunan berselang, tepatnya 1998, terketuk hati keluarga
Ward untuk bertemu kembali dengan Hassan. Namun, kondisi Iran yang tidak
lagi seperti dulu membuat proses pencarian tidak mudah dilakukan. Ada
dua momentum penting yang terjadi dalam rentang waktu tersebut:
meletusnya revolusi Islam dan perang sepuluh tahun denga Irak. Dua momen itu
menjadi begitu penting, karena selain mengubah Iran sendiri, momen itu
membalikkan secara drastis hubungan politik pemerintah Negara itu dengan
Amerika Serikat: bukan lagi sebagai kawan karib sebagaimana masa
pemerintahan Syah Reza Pahlevi, namun berbalik menjadi musuh bebuyutan. Iran
dan Awerika Serikat tidak pernah akur. Ini tantangan terberat keluarga
Ward untuk memasuki Iran; melawan stigma politis tentang rakyat Iran
tentang bangsa Amerika Serikat.

Perjalanan kembali ke Iran, dalam rangka menemukan kembali Hassan
inilah yang menjadi bidikan utama Ward dalam dalam karyanya ini.
Perjalanannya bersama orang tua dan saudara-saudaranya, dinarasikan Ward secara
sederhana, namun penuh makna. Ward mencoba memotret realitas
sosio-kultur-politik Iran, tiga puluh tahun setelah ditinggalkannya. Banyak
elemen hidup masyarakatnya yang telah berubah drastis, dan kini asing di
mata Ward .

Namun sedemikian berubahnya, Ward tetap dapat menangkap energi kuat
negeri itu yang tidak pernah hilang dari dasar memorinya. Ketika itu, bagi
Ward , kampung halamannya adalah Iran, bukan Amerika Serikat. “kampung
halaman, tempat segala penemuan dan pengalaman masa kecil terjadi,
berubah-ubah seiring waktu, sehingga bisa dikatakan bahwa kita semua ialah
pengungsi dari sebuah dunia yang hilang”. Demikian Ward menarasikan
persepsinya tentang masa kecilnya di Iran, dengan mengutip Rebecca
Solnit dalam A Book of Migrations.

Secara kategoris, ada dua aspek yang menjadi fokus utama Ward di
bukunya ini; pertama, penelusuran serta penggambaran tentang pergumulan Iran
dalam mencari identitas kebangsaan-kenegaraannya. Karena diwarisi
reruntuhan peradaban Persia yang cukup gemilang, Iran memiliki bekal
berharga untuk menjadi besar, namun pada saat yang sama berpotensi terbebani
oleh masa lalunya. Salah satu penggambaran apik Ward tentang masalah
ini adalah tarik menarik yang kuat antara penggunaan nama Persia dan
sebutan Iran saja. Secara simbolik, ini merepresentasikan ketegangan
masyarakat Iran dalam menyikapi masa lalu mereka dan merengkuh masa depan
mereka.

Kedua, ketegangan lain yang dialami Iran dan disoroti Ward adalah
antara mempertahankan nilai-nilai ideal revolusi Islam dan keniscayaan
untuk membuka diri dengan realitas yang berkembang pada tingkat global.
Untuk mengakomodir keduanya, bukan agenda yang mudah bagi bangsa Iran.
Menjaga nilai suci revolusi, memiliki tantangan berat untuk tidak terjebak
pada stagnasi dan sikap tertutup. Adapun tuntutan untuk senantiasa
berparadigma terbuka dan dinamis kerap dicurigai akan menjerumuskan
penduduk negeri itu pada virus westernisasi. Maka, ketegangan menjadi tidak
terhindarkan. Ini salah satu tantangan terbesar bangsa Iran.

Dari aspek tema, buku ini cukup relevan dan aktual, mengingat fenomena
global dewasa ini semakin menunjukkan signifikansi berlangsungnya
proses dialog peradaban di tengah carut marut tata politik ekonomi global.
Dari perjalanan jauhnya mengarungi bumi Iran, Ward membawa ‘oleh-oleh’
tentang pentingnya dialog peradaban. Bahwa kita harus tetap optomis ada
jalan menuju dialog, bukan melalui jalur politik, melainkan
sosio-kultural. Dan itulah ratusan jalan menuju dialog dan peradaban, pesan Ward
demikian kuat.

Namun, sesederhana inikah persoalan tentang dialog peradaban ini? Tentu
tidak. Buku Ward bukanlah buku ilmiah atau akademis. Ini ‘sekedar’
buku journey, dengan pesan tulus, polos, dan bijaksana di dalamnya.
Sementara itu, domain persoalan yang hendak direngkuhnya, yaitu soal dialog
peradaban, jauh menelisik ke diskursus filosofis, sosiologis dan
politis.

Telah banyak buku ilmiah-akademis lahir untuk mengupas tuntas soal
dialog peradaban, dengan berbagai pendekatan keilmuan serta beragam teori.
Tentu, sebuah dokumentasi perjalanan yang tidak bercorak ilmiah,
sebagaimana yang ditulis Ward ini, tidak berpretensi menuntaskan persoalan
yang kompleks ini. Tapi, apa artinya keilmiahan serta keakademisan
sebuah pesan jika tidak mengandung ketulusan dan kebijaksanaan?
Ward hanya hendak menyampaikan pesan perdamaian dan dialog sebagai
oleh-oleh dari perjalanan jauhnya. Bukan buku ilmiah dengan seabrek teori
dan pikiran yang njelimet. Toh, bukankah perdamaian itu persoalan cukup
sederhana jika bukan (nalar politik) kita sendiri yang
memperumitnya?***



Dermaga cinta

Laksana setitik air di sahara

Sejuk jiwa yang kehausan

Seperti itu kurindu datang sang pencinta

Untuk menyegarkan jiwa yang dahaga



Awan siang pun berarak gelisah

Daun-daun jatuh berguguran

Namun cinta ini terbit laksana mentari

Yang selalu setia menunggu dan menanti tanpa salah



Bawalah aku bersama bahagia

Dalam perjalan rasa yang ada

Tak sanggup nalar ini memikirkan asa

Tentang keindahan kita



Cinta¡Ä

Ke mana kapalmu melempar sauh

Disana juga ku akan berlabuh

Kemana bidukmu kau arahkan

Disanalah Dermaga hadirmu kuinginkan

No comments: