Pemilik NPWP Bebas Bea Fiskal

Singapura dan Malaysia Sudah Lama
Senin, 23 Juni 2008 | 01:06 WIB
Jakarta, Kompas - Kabar gembira bagi pemilik nomor pokok wajib pajak atau NPWP. Mulai tahun 2009, semua calon penumpang penerbangan atau pelayaran menuju ke luar negeri akan dibebaskan dari kewajiban membayar biaya fiskal jika menunjukkan bukti kepemilikan NPWP.
Kebijakan ini diterapkan karena pemerintah dan DPR ingin mendorong orang untuk memiliki NPWP sehingga jumlah pembayar pajak di dalam negeri akan semakin banyak.
Hal itu merupakan keputusan Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (RUU PPh) yang terdiri atas wakil dari 10 fraksi di DPR serta pemerintah.
Keputusan tersebut diungkapkan Ketua Panitia Khusus Paket RUU Perpajakan Melchias Markus Mekeng di Jakarta, Minggu (22/6).
Saat ini semua penumpang pesawat terbang atau pelayaran internasional yang berangkat dari bandar udara atau pelabuhan internasional di Indonesia wajib membayar biaya fiskal Rp 1 juta per orang. Ini merupakan salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak bagi pemerintah.
Dengan adanya keputusan Panitia Kerja RUU PPh itu, semua penumpang yang berusia 21 tahun ke atas wajib membayar fiskal kecuali yang bersangkutan bisa menunjukkan NPWP.
Jika ada anak atau istri yang hendak bepergian ke luar negeri, mereka bisa bebas fiskal asal menunjukkan NPWP ayah atau suami. Hal itu dimungkinkan karena Indonesia menganut prinsip satu NPWP dalam satu keluarga.
”Namun, jika penumpang itu sudah berusia 21 tahun ke atas dan tidak memiliki NPWP, dia wajib membayar fiskal yang tarifnya ditetapkan menyusul oleh pemerintah,” ujar Melchias.
Tingkatkan daya tarik
Menurut Melchias, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik Indonesia di mata orang asing. Selama ini hanya Indonesia di negara kawasan yang menerapkan kewajiban fiskal, sementara negara-negara tetangga Indonesia, terutama Malaysia dan Singapura, telah membebaskan biaya fiskal sejak lama.
Saat ini jumlah pemilik NPWP efektif atau yang benar-benar memiliki identitas jelas mencapai 6 juta orang. Namun, jumlah wajib pajak badan yang benar-benar membayar pajak baru sebanyak 1,3 juta, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang membayar pajak mencapai 1,1 juta orang.
Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan, pembebasan bea fiskal dari pemilik NPWP bisa mendorong efektivitas program ekstensifikasi pajak.
Direktur Penyuluhan Pajak Joko Slamet Suryoputro menambahkan, dulu fiskal diberlakukan untuk membatasi orang ke luar negeri. (OIN)
Gunakan Kekayaan untuk Memakmurkan Rakyat
ORANG terkaya di Indonesia kembali diumumkan. Kini orang nomor satu terkaya adalah Budi Hartono (66), pemilik perusahaan rokok Djarum dengan total kekayaan Rp 37,8 triliun. Di tempat kedua Rahman Halim (60), pengusaha rokok Gudang Garam (Rp 31,5 triliun), menyusul Eka Tjipta Wijaya (84) pemilik Sinar Mas Group (Rp 27,9 triliun). Kemudian Sudono Salim yang lebih dikenal Liem Sioe Liong (92) dari Salim Group (Rp 25,2 triliun), Putra Sampurna (59) mantan pemilik pabrik rokok Sampurna (Rp 19,8 triliun). Masih ada lagi sederet nama orang terkaya seperti Aburizal Bakrie (Menko Kesra), Sultan Hemengku Buwono X (Gubernur DI Yogyakarta), Jusuf Kalla (Wakil Presiden), pengusaha minyak Arifin Panigoro dan lain-lain.
Nama-nama di atas diumumkan Executive Chairman Globe Asia Rizal Ramli di Jakarta. Menurut Rizal, mereka hanyalah sebagian dari 150 orang terkaya di Indonesia yang saat ini menguasai kekayaan Rp 419 triliun. Setiap tahun mereka hanya saling geser kedudukan tempat teratas. Yang menarik, di antara mereka adalah pengusaha-pengusaha muda seperti Sandiaga Uno (38), Benyamin Jiaravanon (36), Chaerul Tanjung (45) dan Rahmat Gobel (45).
Kita tentu gembira dan bangga atas keberhasilan mereka. Semangat kewirausahaannya telah mengangkat namanya demikian tinggi dalam jajaran dunia bisnis di Indonesia yang sedang terpuruk ini. Mereka orang-orang yang mau memeras keringat dengan membuka lapangan kerja dan memberikan kontribusi pajak yang tinggi kepada negara. Seandainya para taipan di Indonesia bersikap seperti itu niscaya negeri ini tidak akan mengalami krisis berkepanjangan. Sayang sebagian dari konglomerat yang sudah dibesarkan oleh pemerintah justru menjadi pecundang, ngemplang utang dan melarikan diri ke luar negeri termasuk Singapura. Menurut catatan, dari 55.000 orang super kaya di Singapura, 18.000 orang dari Indonesia dengan kekayaan sekitar Rp 800 triliun.
Harapan kita, orang-orang terkaya di Indonesia bisa menggunakan kekayaannya untuk membangun bangsa, memakmurkan rakyat dengan mengembangkan suku-suku usaha di Indonesia, tidak menanamkan modalnya di luar negeri. Sebab pada saat Indonesia sedang mengalami krisis seperti ini rasanya tidak nasionalis jika orang memilih membawa modalnya ke luar Indonesia sementara negeri sendiri memerlukan investasi untuk mengangkat pertumbuhan.
Kita semua juga tahu bahwa konsumen utama dari produk mereka adalah rakyat. Rokok, misalnya, di manapun orang mengisap rokok. Meski berbagai peringatan akan bahaya rokok terus dikumandangkan, bahkan lewat iklan rokok sekalipun, produksi rokok tidak berkurang. Kalangan yang sadar kesehatan kini memang banyak yang berhenti merokok, tapi jumlahnya tak sebanding dengan hadirnya perokok baru yang terus betambah. Iklan-iklan rokok yang begitu dekat dengan komunitas anak muda terus bermunculan, mengajak anak-anak untuk merokok, bahkan melahirkan kebanggaan tersendiri dengan merek-merek tertentu. Dari segi ini mungkin pengusaha rokok termasuk "berdosa", tapi pemerintah tidak bisa lain karena cukai yang didapat dari tembakau cukup tinggi.
Di luar rokok, konsumen minyak goreng, tepung terigu, barang-barang elektronik dan lainnya juga rakyat. Karena itu wajarlah kalau para konglomerat berkewajiban ikut memakmurkan rakyat melalui investasi yang bisa menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan pajak. Perilaku pengusaha nasional diharapkan memiliki tanggung jawab yang lebih dibanding pengusaha asing yang sering berbenturan dengan rakyat karena hanya ingin mendapat untung besar tanpa memikirkan nasib rakyat. Kasus Newmont di Manado, tambang emas Tembagapura di Papua atau sepatu Nike di Jakarta adalah contoh-contoh kurang tanggung jawabnya pengusaha terhadap nasib rakyat atau buruh.
Tentu pengusaha nasional juga harus terus dirangsang agar tidak mengalirkan dananya ke luar. Kecuali perizinan yang mudah, pungutan liar ditekan dan adanya kepastian hukum, masyarakat juga dituntut kesadarannya untuk ikut menciptakan iklim yang tidak membuat takut para investor ***
Neuchatel dan Sponsor
Pernahkah mendengar nama kota Neuchatel di Swiss? Kalau pernah, mungkin Anda mendengarnya untuk pertama kali beberapa pekan yang lalu, saat tim Portugal datang ke kota kecil di tepi Danau Neuchatel itu untuk melakukan persiapan menjelang Euro 2008.
Selama tiga minggu terakhir, kota ini mengalami demam segala sesuatu yang berbau tim Portugal. Hal yang sama dialami toko sport di kawasan La Chaux-de-Fonds, tempat di mana sebagian besar jam Swiss diproduksi. Semua senang karena tim Portugal berada di Neuchatel.
Kaus resmi dari sejumlah tim peserta Euro 2008 laku keras. “Saya tak menyangka permintaan untuk kaus begitu tinggi. Kaus tim Portugal dan Italia yang paling laku,” kata Robert Brusa, salah satu pemilik toko.
Untuk sementara, lupakan Lisboa dan Porto. Neuchatel menjadi ibu kota Portugal selama Cristiano Ronaldo cs. berada di sana. Sejumlah fan bahkan berpikir mereka harus mengganti nama kota. Sekelompok anak muda menciptakan situs dengan nama www.noucastelch.ch. Dengan sekali mengklik mouse, Anda akan berada di dalam situs berbahasa Portugal.
Pihak berwenang di Swiss sebetulnya tak berkenan dengan hal ini dan berniat menutup situs tersebut. Toh hingga sekarang situs itu tetap ada. Biarlah para pemuda yang membuat situs itu tetap bahagia. Neuchatel pun akan tetap terkenal selama beberapa tahun ke depan.
Kereta Juara Eropa
Bicara hal lain, tim nasional Swiss memang tak lolos dari penyisihan grup. Namun, di Swiss, sistem dan jaringan kereta sudah menjadi juara Eropa.
Selama dua pekan awal Euro digelar, sebanyak satu juta fan memakai angkutan kereta untuk bepergian. Mereka, termasuk wartawan BOLA, merasakan tiket kelas satu untuk datang ke kota tempat pertandingan dan tempat latihan tim.
Sebanyak 85% fan memakai kereta. Artinya hanya sedikit mobil di jalanan dan itu berarti sedikit polusi yang terjadi. Sebuah kesuksesan yang dicapai Swiss. Hanya, lonjakan penumpang ini tak membuat pemerintah Swiss mendapat banyak uang karena pemegang tiket pertandingan diperbolehkan menaiki kereta tanpa bayar.
Namun, fan yang menumpang kereta ini memiliki masalah pada awal turnamen. Normalnya pekerja dan sukarelawan memakai jaket berwarna oranye. Namun, warna oranye yang juga dipakai suporter Belanda membuat jaket para pekerja dan sukarelawan diganti menjadi warna kuning.
Wajah Berbeda
Euro 2008 ini juga memperlihatkan dua wajah yang berbeda. Di lapangan, 16 tim saling mengalahkan untuk merebut gelar. Namun, di sekitar lapangan tak ada kompetisi. UEFA mengontrol segalanya. Mereka mengatur wartawan untuk melakukan wawancara dengan pemain.
Di fan zone, Anda hanya bisa mendapatkan satu gelas bir atau minuman ringan saja. Di situ juga hanya bisa ditemui tiga produsen apparel yang menjadi penghasil kaus resmi, yaitu Nike, Adidas, dan Puma. Perusahaan apparel kecil, seperti Umbro, adalah hal yang gampang dilupakan. Apalagi mereka hanya memiliki Swedia yang bermain di Euro 2008.
Bisnis besar dilakukan tiga merek lainnya. Puma memiliki lima tim. Namun, tinggal Italia yang tersisa di perempatfinal. Adidas punya Jerman dan Spanyol. Sementara itu, Nike mensponsori tim yang saling berhadapan: Kroasia vs Turki dan Belanda vs Rusia. Jika bicara soal pertandingan yang melibatkan bisnis, seharusnya final mempertemukan wakil Adidas dan Nike. Jerman vs Rusia mungkin?
Federasi Sepakbola Prancis (FFF) Februari lalu menandatangani kontrak baru dengan Nike setelah sebelumnya bekerja sama dengan Adidas sejak 1972. Nike akan membayar 42,6 juta euro per tahun ke FFF, sebuah rekor di bisnis sepakbola. Kontrak akan dimulai pada 1 Januari 2011.
Tak ada yang tahu apakah yang dirasakan Adidas setelah kehilangan Prancis. Namun, setelah hasil yang dicapai di Euro 2008, kita bisa membayangkannya. Sebelumnya Adidas hanya perlu membayar 10 juta euro per tahun, sedangkan Nike harus membayar empat kali lipat.
Pada 2006, kaus Adidas yang berharga 70 euro terjual lebih dari 1,5 juta potong di Jerman. Tahun ini mereka berharap bisa menjual 1 juta lagi.
Di Prancis, kaus yang terjual lebih sedikit, hanya 30% dari yang terjual di Jerman. Kenapa Nike menawarkan kontrak yang amat besar ke FFF?
Mereka tak memenangi pertarungan untuk mendapatkan Federasi Sepakbola Jerman (DFB), namun Nike tetap menginginkan tim papan atas. Karena itu, mereka menaikkan tawaran yang cenderung tak masuk akal, hingga mencapai angka 42,6 juta euro per tahun. Uang memang memenangi Prancis, tapi hasilnya? (Michael Dickhauser)
Memadukan Sepakbola dan Hiburan
Zona Suporter Sukses
Perpaduan sepakbola, layar raksasa, budaya postmo dan tradisional, musik, dan pergelaran seni merupakan konsep awal fan zone Euro 2008. Itulah daya tarik yang dianggap sempurna oleh delapan kota penyelenggara di Austria-Swiss, dengan restu UEFA tentunya.
Fan Zone Zurich menyajikan tontonan spektakuler di atas Danau Limmat. (Foto: Saptp Haryo Rajasa/BOLA)
Konsep awal itu kini berbuah manis. Terbukti dengan tercapainya dua juta pengunjung di delapan kota itu hingga akhir pekan lalu. Angka tersebut tertembus ketika Swiss menjamu Portugal di Berne dalam penyisihan Grup A (15/6). Berarti hingga babak perempatfinal jumlah tersebut telah terlewati.
Jumlah pengunjung terbesar adalah 290.000 suporter secara keseluruhan di seantero fan zone ketika Belanda menghadapi Prancis (13/6). Dengan pencapaian tersebut, dapat disimpulkan bahwa zona suporter itu berhasil merealisasikan visi awal yang telah dibuat penyelenggara, mengajak semua orang menikmati atmosfer Euro 2008, baik warga setempat maupun pendatang.
Kesuksesan venue ini tak sekedar dari meledaknya jumlah pengunjung, tapi juga dari pendapatan yang diterima kota tersebut. Pasalnya setiap kota pasti mempromosikan situs-situs bersejarah kebanggaan mereka di fan zone. Kontan para pengunjung menjadi tertarik dan hendak mengunjungi tempat tersebut.
Tidak hanya itu, hiburan untuk seluruh keluarga pun disajikan di tempat tersebut. Tidak ada yang merasa dikucilkan menjadi moto panitia.
Keuntungan Pedagang
Keuntungan turut dirasakan pemilik stand seperti para pedagang bir dan sosis yang hampir menjadi kudapan utama yang menemani para pengunjung di zona suporter setiap kali ada pertandingan atau tidak.
Namun, para pengunjung asal Jerman di Wina menyesalkan satu hal. Tidak tersedianya Radler, bir favorit mereka. Tapi, secara keseluruhan mereka menyukai desain apik yang disajikan ibu kota Austria itu.
Tidak adanya merek itu bukanlah sebuah wujud kegagalan Austria-Wina, malah fan negara lain kebanyakan memberi pujian kepada pihak penyelenggara dengan tersedianya fasilitas hiburan yang all-in itu.
Fan Zone
Tempat Menguji Jiwa Besar
Melihat tim kesayangan kalah tentu sudah teramat menyakitkan. Bayangkan apa rasanya jika juga harus menerima ledekan dari pendukung tim yang menang? Tersayat-sayat? Sudah pasti! Emosi? Tak salah lagi. Tapi apa perlu sampai baku pukul?
Sederet pertanyaan di atas ini lumrah terlontar sepanjang Euro 2008. Terutama bagi para pengunjung fan zone yang tersebar di delapan kota penyelenggara turnamen. Maklum, di sinilah tempat berkumpulnya para pendukung yang tak cukup beruntung untuk mendapatkan match-ticket.
Layaknya di dalam stadion, di fan zone juga terdapat suporter dengan beragam tipe usia dan status sosial. Mulai anak bayi yang dibawa orang tuanya, anak ABG, kaum sosialita dengan pakaian mewahnya, hingga football pundit tenar semisal Martin Tyler.
Bersama istrinya, kolumnis BBC dan komentator televisi Sky ini hadir di fan zone Zurich. Bukan sebagai pekerja tentunya, melainkan dalam kapasitas penikmat sepakbola. Hari itu tersaji partai perempatfinal panas antara Kroasia versus Turki sebagai menu utama di layar raksasa yang mengapung di atas Danau Limmat.
Sempat terjadi bentrokan kecil antara kubu Turki dan Kroasia yang dimulai dari pelemparan gelas dan saling siram bir di sini. Akan tetapi, yang pantas kita garis bawahi tebal-tebal adalah segala sesuatu cepat bisa diantisipasi lantaran kedewasaan para suporter itu sendiri.
Master of ceremony yang memimpin acara di panggung utama langsung memanggil pentolan kedua blok ke atas. Kedua figur ini pun berbicara memakai bahasa masing-masing dengan tujuan menghentikan pertikaian. “Mari kita saling hormat,” begitu kata sang MC mencoba menetralisasi situasi.
Empat kata ini ampuh. Suasana panas pun mereda. Yang tersisa tinggal jiwa besar para suporter Kroasia yang mampu menerima segala kepahitan karena kalah di adu tendangan penalti.
Dengan kepala dingin seperti ini, fiesta pun bisa dilanjutkan kembali. Kan sayang melewatkan suguhan menarik yang ditawarkan fan zone, hanya dengan alasan tim yang dibela sudah tereliminasi. Setuju?
Rusia Atasi Kepasifan
Banyak kolumnis di Amsterdam yang mencatat bahwa Rusia bermain lebih Belanda dari Belanda sendiri akhir pekan lalu. De Telegraaf, misalnya, menilai stamina buruk De Oranje membuat mereka kalah dominan dibanding Rusia, yang tidak kenal lelah berlari-lari membuka ruang hingga extra time.
Kemenangan skuad Sbornaya sebenarnya tidak semata karena soal keunggulan stamina. Guus Hiddink dengan cerdik meniru taktik timnas negeri asalnya, yang pasif menunggu diserang dan lalu balik menyerang cepat, di putaran grup lalu.
Yuri Zhirkov dkk. diinstruksikannya menyerang dengan cepat dan tidak berlama-lama menahan bola. Rusia pun langsung menempatkan 11 pemainnya behind the ball. Ya, 100% dari semua pemain kembali ke daerah pertahanan saat bola dikuasai lawan.
Sbornaya sama sekali tidak berusaha merebut bola di daerah Belanda pada babak pertama. Imbasnya, tidak ada ruang bagi Giovanni van Bronckhorst untuk melakukan overlapping dan Ruud van Nistelrooy pun tidak pernah mendapatkan bola-bola terobosan.
Berkat Drilling Rutin
Para pemain Belanda kikuk, tak tahu harus berbuat apa. Sebaliknya pola yang sama di pihak Belanda berhasil diatasi pasukan Hiddink dengan mempraktikkan pertukaran posisi striker-gelandang dengan cara saling berlari diagonal dengan arah yang berlawanan.
Oleh karena itulah sering tercipta ruang kosong di kotak penalti De Oranje, yang salah satunya membuat Roman Pavlyuchenko bisa membuka skor. Tanpa kesepakatan sebelum laga, penggunaan dua striker murni, dan drilling dalam latihan rutin, hal ini sulit dilakukan Belanda.
Setelah unggul, Hiddink bertahap mengganti para pemain ofensifnya. Ia punya 2 tujuan, yaitu untuk menjaga ritme serangan lewat pemain yang segar dan memperlancar munculnya pemain dari lini kedua masuk ke kotak penalti Belanda. Hasil akhirnya pun kita sudah tahu.
Gema di Daerah
Ajang Parpol Curi Start
Panggung akbar Euro 2008 memang digelar di Austria-Swiss. Namun, gaungnya bisa dirasakan di belahan dunia lain, termasuk di berbagai daerah di Indonesia.
Di Surabaya, misalnya, Euro 2008 benar-benar menyita perhatian mayoritas warga kota. Tak hanya di kafe-kafe yang terikat kontrak resmi dengan broadcast partner, MNC Group, di beberapa lokasi strategis di Surabaya, warga Kota Pahlawan berinisiatif menggelar acara nonton bareng dengan layar raksasa. Virus Euro memang sudah menyebar. Banyaknya acara membuat warga Surabaya mempunyai seabrek pilihan untuk menyaksikan Euro.
“Saya pilih kafe karena lokasinya tertutup. Kesehatan bagi saya sangat penting karena pagi saya harus bekerja lagi,” ujar Alex, manajer sebuah perusahaan yang menyaksikan laga Euro di Surabaya Town Square.
Momentum Euro bukan hanya milik para pencinta sepakbola. Partai politik juga melihat peluang besar itu. Di Jatim, dua parpol, PDI-P dan PKB/Patriot, yang mengusung bakal calon gubernur berbeda, memanfaatkan kesempatan untuk mencuri start kampanye. Padahal, kampanye baru bisa dilakukan pada 6 Juli mendatang. Pemungutan suara dilakukan pada 23 Juli.
PDI-P, yang mengusung cagub Sutjipto dan cawagub Ridwan Hisyam, memilih Taman Bungkul, Surabaya, menjadi home base. Foto dan inisial “SR” (Sutjipto dan Ridwan Hisyam) pun terpampang jelas di bawah layar raksasa yang digunakan untuk menyiarkan laga-laga Euro. Bahkan penjual asongan maupun pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar lokasi nonton bareng diberi kaus kampanye pasangan tersebut.
Di Medan, Euro dianggap senjata ampuh bagi pengelola hotel untuk meningkatkan omzet. Buktinya hampir semua hotel menggelar nonton bareng. Manajemen Garuda Plaza Hotel, misalnya, mulai perempatfinal menggelar nonton bareng dengan menyediakan TV layar lebar berukuran 2x2 dan 4x4 meter. Fasilitas bukan cuma disediakan bagi tamu yang menginap, tapi juga untuk masyarakat umum.
“Acara nonton bareng ini kami buat setelah mendapat lisensi dari sponsor utama PT Djarum,” jelas Afwandi, koordinator humas GPH.
Pernak-pernik Euro
Bukan hanya kafe dan hotel yang laris. Para penjual pernak-pernik Euro seperti kaus dan boneka maskot juga laku keras. Di Bandung, para penggemar sepakbola ramai-ramai memburu kostum tim favoritnya, baik impor maupun lokal, dengan harga mulai 40 ribuan buat produk lokal sampai 300 ribuan untuk produk yang diklaim asli.
“Selama Piala Eropa, omzet melonjak hingga 100 persen. Buatan lokal dijual antara Rp 85 sampai Rp 95 ribu, bergantung pada ukurannya. Yang impor sekitar Rp 300 ribu,” sebut Nana, karyawan Vilour Sport di kawasan Jalan Dipati Ukur, Bandung.
“Seorang pria pernah datang ke sini katanya mencari boneka maskot buat istrinya, yang sedang ngidam,” tambah Nana.
Susah Menonton
Jika di daerah lain bisa cukup mudah menangkap siaran langsung Piala Eropa yang ditayangkan stasiun TV MNC grup, hal ini tidak berlaku di daerah Pegunungan Jayawijaya, Papua, yang memiliki ketinggian antara 1.800-2.300 meter di atas permukaan laut. Kebanyakan penduduk di Wamena menggunakan antena parabola untuk bisa mendapatkan akses TV, namun akses satu-satunya ini diacak.
“Awalnya kami bisa menyaksikan melalui saluran TV negara tetangga, tapi kemudian diacak juga. Terpaksa harus-cepat-cepat berlangganan Indovision,” tegas Christian K. Padang, dirijen Wamena Fanatik and Extrem Suporter, yang menggunakan ruangan 4x8 meter di Sekretariat WAFXTER di Jalan Irian 15, Wamena, untuk dijadikan tempat acara nonton bareng suporter Persiwa.
Selain masalah pengacakan, kendala suhu udara yang kadang mencapai 7 derajat celcius membuat warga di sana harus berjuang ekstra untuk bisa menyaksikan Euro. Belum lagi selisih waktu yang membuat warga harus langsung berangkat kerja setelah menonton.
“Selisihnya dua jam dengan di Jawa, jadi kalau di Jawa selesai pukul 04.35 di sini pukul 06.35,” terang Christian.
Lain di Wamena lain pula di Malang. Meski suhu pagi hari mencapai 19 derajat celcius, warga cukup antusias menyaksikan Euro. Selain di Cafe De Live di Jalan Semeru, warga juga memanfaatkan videotron milik Pemkot Malang yang terpasang di daerah alun-alun untuk nonton bareng.
“Enak nonton di sini, puas. Gambarnya besar dan ramai-ramai, sekalian mencari rezeki,” ujar Sunarto, pengayuh becak asal Jombang yang mengadu nasib di Malang sejak 15 tahun silam. (riz/buk/tgh/wis/idr)
Jalan Titang
Kampung Piala Eropa
Berkenaan dengan Euro 2008, Jalan Titang di Makassar kini mendapat sebutan baru: kampung Piala Eropa. Hampir setiap rumah di jalan itu memasang bendera negara peserta turnamen, tergantung tim mana yang didukung. Pokoknya makin banyak pendukung negara itu, makin banyak pula bendera yang berkibar di jalan tersebut.
“Ini sudah tradisi kami. Tanpa dikomando, tiap empat tahun sekali kami pasti memasang bendera peserta Piala Eropa, saya sendiri mengunggulkan Prancis. Sayang, mereka sudah tersingkir,” kata Adi Tumpas, warga Jalan Titang.
Di jalan itu, tak jarang ada dua sampai tiga bendera peserta berkibar dalam satu rumah. Ini terjadi karena setiap orang di rumah itu punya tim unggulan sendiri. Bapaknya boleh saja menjagokan Prancis, tapi anaknya mungkin mengunggulkan Italia.
“Kalau tim yang didukung sudah tersingkir, bendera negara itu harus dilepas atau minimal diturunkan sampai setengah tiang. Itu sebagai simbol yang punya bendera sedang berkabung,” timpal warga lain, Andi Nasrun.
Berkah
Pergelaran Euro juga membawa berkah bagi pedagang kaki lima yang menjajakan kaus dan aksesori Euro di Surabaya dan Sidoarjo. Betapa tidak, setengah bulan sebelum Euro berlangsung, dagangan mereka diserbu pembeli. Keruan saja omzet mereka terdongkrak.
Joko Santoso, pedagang kaus di depan stadion Gelora 10 November, Surabaya, mengaku bisa mendapatkan Rp 200 hingga 300 ribu sehari. Padahal sebelum ada Euro paling hanya meraup Rp 75.000.
“Setiap kali ada pertandingan sepakbola pasti laku keras,” katanya. Tak hanya Joko, pedagang kaus di sekitar Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, juga merasakan hal yang sama. Harga kaus yang terjangkau adalah salah satu penyebabnya. (jam/riz)
Mental Juara Berbicara
Kemenangan Jerman atas Portugal 3-2 pada perempatfinal Euro 2008, Kamis (19/6), kembali memberi pelajaran kepada kita bahwa mental juara dalam sebuah tim itu sangat penting. Selain itu, kemenangan juara Eropa tiga kali di Stadion St. Jakob Park, Basel, juga didukung kepiawaian mereka sebagai tim turnamen.
Jerman tak pernah bisa dipandang remeh dalam sebuah turnamen. Kunci mereka adalah periodisasi tim dan permainan. Dalam turnamen panjang dan padat seperti ini, pelatih mesti jitu dalam memainkan strategi dan mengembalikan fisik pemain.
Pelatih Jerman, Joachim Loew, terlihat jago dalam mengontrol ritme permainan. Pemain yang dipasang mengalami pergantian sehingga kebugaran begitu terlihat di lapangan.
Mental juara Jerman terbukti dari determinasi mereka. Di babak knock-out seperti ini, pemain harus punya mental baja dan keinginan kuat untuk menang serta pantang menyerah. Tradisi seperti itu kebetulan dimiliki manusia Jerman atau tim-tim asal Jerman.
Jerman, yang tidak diunggulkan di laga ini, malah memiliki motivasi ganda. Portugal justru sebaliknya. Ditambah lagi mereka juga kalah strategi.
Salah Antisipasi
Dari permainan di lapangan, Portugal melakukan banyak kesalahan. Mereka kurang mengantisipasi bola-bola silang yang dilakukan Jerman. Terbukti tiga gol semua dari bola silang. Satu dari bola silang yang dilakukan mendatar oleh Lukas Podolski dan dua dari umpan tendangan bebas Bastian Schweinsteiger.
Keunggulan strategi Jerman yang lain adalah mereka membiarkan dua per tiga lapangan dikuasai Portugal, khususnya di babak kedua. Namun, ketika masuk ke sepertiga lapangan terakhir, Portugal benar-benar dikunci.
Hal ini membuat Cristiano Ronaldo sulit mengembangkan permainan. Pemain-pemain Jerman tampak menumpuk di lini belakang. CR 7 jadi mati kutu karena dia tipe pemain yang membutuhkan ruang untuk melakukan akselerasi dengan kecepatannya mendribel bola.
Ini pula yang membuat daya gedor Portugal jauh menurun dibanding pertandingan sebelumnya. Memang mereka boleh menguasai permainan, tapi itu semua sudah diantisipasi Jerman.
Formasi Favorit
Soal strategi Jerman, saya melihat mereka sedikit merombak formasi dari 4-4-2 menjadi 4-3-2-1. Miroslav Klose hanya dibiarkan sendirian di depan. Sementara itu, Podolski dan Schweinsteiger lebih berperan dari second line.
Saya melihat formasi 4-5-1 atau 4-3-2-1 ini akan menjadi formasi favorit bagi sejumlah tim di Euro 2008 dan dalam waktu-waktu mendatang. Semua tim terlihat begitu berkonsentrasi pada pertahanan.
Bahkan Belanda, yang dulu dikenal sebagai pemakai 3-4-3, kini juga mengadopsi formasi seperti itu. Sebelumnya, di tingkat klub-klub Eropa, formasi ini sudah banyak dipakai. Permainan dengan formasi ini memang menjadi lebih fokus di lini belakang dan tengah.
Dua gelandang bertahan disiapkan guna memenangi lapangan tengah dan dua pemain tengah yang mempunyai naluri menyerang tinggi membantu striker tunggal di depan. Dengan demikian formasi itu juga bisa melakukan serangan cepat dan mematikan dengan dukungan dari lini kedua.
Benny Dollo adalah pelatih timnas Indonesia.
No comments:
Post a Comment