Le Clezio, Suara bagi Si Lemah

Selasa, 21 Oktober 2008 | 00:59 WIB
Siapakah sejatinya seorang sastrawan? Di mata Jean-Marie Gustave Le Clézio (68), peraih Hadiah Nobel Sastra 2008, sastrawan, secara khusus novelis, bukanlah filsuf, bukan pula teknisi bahasa tutur. ”Dia adalah seseorang yang menulis, tentu saja, dan melalui novel dia bertanya,” katanya.
Pandangan itulah yang membawa Le Clézio menekuni dunia sastra sepanjang hidupnya. Sejak masih belia, usia 8 tahun, Le Clézio sudah menulis. Hingga kini, lebih dari 50 novel, esai, cerita pendek, telah lahir dari tangannya.
Konsistensi Le Clézio membuahkan Hadiah Nobel Sastra 2008 yang diumumkan oleh Svenska Akademien (Akademi Swedia) pada 10 Oktober lalu di Stockholm. Saat mengumumkan penghargaan itu, Horace Engdahl, Sekretaris Tetap Akademi Swedia, menyebut Le Clézio sebagai ”pengarang angkatan baru dengan petualangan puitis dan ekstasi sensual, serta penjelajah kemanusiaan di luar kekuasaan peradaban.”
Engdahl juga menggambarkan Le Clézio sebagai seorang pengarang kosmopolitan, seorang musafir, seorang warga dunia, dan seorang nomaden.
”Dia tidak secara khusus seorang penulis Perancis, kalau Anda melihat dia dari pandangan kultural. Dia melampaui berbagai fase berbeda dalam perkembangannya sebagai penulis dan telah melibatkan peradaban lain, juga cara hidup lain, dalam karyanya,” ujar Engdahl, seperti dikutip The New York Times.
”Saya senang dan sangat terharu karena tidak mengira sama sekali. Ini kehormatan besar. Saya tidak percaya, kemudian merasa kagum, dan akhirnya merasa gembira,” kata Le Clézio kepada wartawan dalam konferensi pers di Paris, seusai namanya diumumkan sebagai penerima Hadiah Nobel Sastra 2008.
Kendati tidak dikenal di Amerika Serikat, Le Clézio dipandang sebagai figur besar dalam kesusastraan Eropa. Lahir di Nice, Perancis, 13 April 1940, dia enggan mengidentifikasi dirinya secara kaku sebagai seorang Perancis.
”Saya memulai di Perancis, tetapi ayah saya seorang warga negara Inggris yang lahir di Mauritius. Jadi, saya memandang diri saya sebagai sebuah campuran, seperti banyak orang di Eropa sekarang ini,” tuturnya seperti dikutip The Guardian.
Le Clézio adalah penulis Perancis pertama yang menerima Hadiah Nobel Sastra sejak penulis keturunan Perancis-China, Gao Xinjiang, menerima penghargaan prestisius itu tahun 2000. Selain menulis dalam bahasa Perancis, Le Clézio juga menulis dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Swedia.
Evolusi
Debut Le Clézio di dunia sastra adalah novel berjudul Le Procès-Verbal (1963), diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Interrogation (1964). Novel ini langsung menyedot perhatian dibandingkan dengan karya Jean-Paul Sartre, Nausea, dan karya Albert Camus, The Outsider.
Novel yang berkisah tentang seorang laki-laki muda yang berakhir di rumah sakit jiwa itu memenangi penghargaan Prix Renaudot. Novel itu pula yang memperkenalkan keasyikan utama Le Clézio, yaitu pelarian dari norma ke dalam cara pikir yang ekstrem.
Le Procès-Verbal segera disusul serangkaian karya lain yang menggambarkan situasi krisis, termasuk kumpulan cerita pendek La Fièvre (1965) dan Le Déluge (1966). Kisah-kisah di dalamnya menuturkan tentang kesulitan dan ketakutan yang menghantui kota-kota besar di Barat.
Gaya bertutur Le Clézio kemudian berevolusi dalam karya- karya berikutnya, menjadi lebih liris. Ia berbicara banyak soal lingkungan. Itu terlihat dari karya semisal Terra Amata (1967), Le Livre des Fuites (1969), La Guerre (1970), dan Les Géants (1973).
Terobosan besar Le Clézio sebagai novelis adalah Désert (1980). Novel ini berkisah tentang kebudayaan yang hilang di gurun Afrika Utara, dan dikontraskan dengan Eropa yang dilihat melalui kacamata seorang imigran. Lalla, sang tokoh utama, adalah pekerja asal Aljazair yang menjadi antitesis utopis atas keburukan dan kebrutalan masyarakat Eropa. Désert meraih penghargaan Grand Prix Paul Morand yang dianugerahkan Académie Française.
Faktor yang menentukan karya-karya Le Clézio adalah waktu yang dihabiskannya di berbagai belahan dunia. Ketika berusia delapan tahun, keluarganya pindah ke Nigeria di mana ayahnya bertugas sebagai dokter bedah di angkatan bersenjata Inggris. Ia menuntut ilmu di Inggris dan Perancis, kemudian bekerja sebagai guru di Amerika Serikat.
Tahun 1967 Le Clézio ditugaskan ke Thailand untuk tugas militer. Oleh karena protes menentang prostitusi anak, dia dipindahkan ke Meksiko. Tahun 1970-1974 dia tinggal bersama suku Indian Embera di Panama. Dari tempat itu, dia menghasilkan Haï dan Voyage de l’autre Côté. Ia juga menerjemahkan beberapa karya besar tradisi Indian, seperti Les Prophéties du Chilam Balam.
Tahun 1975 Le Clézio bertemu istrinya, Jemima, seorang Maroko. Berdua, mereka membagi waktu antara Nice, Mauritius, dan Albuquerque di New Mexico sejak tahun 1990.
Suara ”underdog”
Mendekati era 1990-an, karyanya bergerak ke arah eksplorasi dunia dan sejarah keluarga. Perkembangan itu dimulai dengan novel Onitsha (1991) yang dilanjutkan dengan La Quarantaine (1995). Pergerakan itu berpuncak pada Révolution (2003) dan L’Africain (2004). Révolution menyimpulkan tema paling penting dari karya-karyanya, yaitu kenangan, pembuangan, reorientasi masa muda, dan konflik budaya.
Karya Le Clézio yang terhitung baru adalah Ballaciner (2007), sebuah esai personal tentang sejarah seni film dan pentingnya film dalam kehidupan dia. Karya terbarunya, Ritournelle de la Faim, baru saja diterbitkan.
”Ada dua fase dalam karier Le Clézio,” kata Adrian Tahourdin, editor Times Literary Supplement. ”Ada karya awal yang eksperimental hingga pertengahan 1970-an, kemudian beralih ke dalam gaya yang lebih liris, naratif tradisional, dan mulai mengeksplorasi budaya lebih banyak,” ujarnya.
Alison Anderson, salah satu penerjemah karya Le Clézio ke dalam bahasa Inggris, menyebut Le Clézio sebagai pendukung kaum underdog, orang yang tidak memiliki suara sendiri.
”Dia adalah suara mereka,” ujar Anderson.
”Saya kira Komite Nobel telah membuat pilihan bagi suara kasih sayang dan empati, yang tidak perlu sesuai dengan mode paling mutakhir, tetapi sangat penting,” tuturnya.
Le Clézio yang tidak menyangka akan mendapat penghargaan Nobel Sastra hanya mengatakan, ”Saya merasa menjadi bagian kecil dari planet ini. Sastra memungkinkan saya untuk mengekspresikannya.”
Lalu, apa yang dia inginkan setelah menerima penghargaan bergengsi itu?
”Pesan saya jelas, kita harus terus membaca novel karena novel adalah sarana bagus untuk mempertanyakan dunia saat ini, tanpa mendapat jawaban yang terlalu sistematis, terlalu otomatis,” ujar Le Clézio. (FRO)
William Henry Gates III atau lebih terkenal dengan sebutan Bill Gates, lahir di Seatle, Washington pada tanggal 28 Oktober 1955. Ayah Bill, Bill Gates Jr., bekerja di sebuah firma hukum sebagai seorang pengacara dan ibunya, Mary, adalah seorang mantan guru. Bill adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak kecil Bill mempunyai hobi "hiking",bahkan hingga kini pun kegiatan ini masih sering dilakukannya bila ia sedang "berpikir".
Bill kecil mampu dengan mudah melewati masa sekolah dasar dengan nilai sangat memuaskan, terutama dalam pelajaran IPA dan Matematika. Mengetahui hal ini orang tua Bill, kemudian menyekolahkannya di sebuah sekolah swasta yang terkenal dengan pembinaan akademik yang baik, bernama "LAKESIDE". Pada saat itu , Lakeside baru saja membeli sebuah komputer, dan dalam waktu seminggu, Bill Gates, Paul Allen dan beberapa siswa lainnya (sebagian besar nantinya menjadi programmer pertama microsoft) sudah menghabiskan semua jam pelajaran komputer untuk satu tahun.
Kemampuan komputer Bill Gates sudah diakui sejak dia masih bersekolah di Lakeside. Dimulai dengan meng"hack" komputer sekolah, mengubah jadwal, dan penempatan siswa. Tahun 1968, Bill Gates, Paul Allen, dan dua hackers lainnya disewa oleh Computer Center Corp. untuk menjadi tester sistem keamanan perusahaan tersebut. Sebagai balasan, mereka diberikan kebebasan untuk menggunakan komputer perusahaan. Menurut Bill saat itu lah mereka benar- benar dapat "memasuki" komputer. Dan disinilah mereka mulai mengembangkan kemampuan menuju pembentukan micr*soft, 7 tahun kemudian.
Selanjutnya kemampuan Bill Gates semakin terasah. Pembuatan program sistem pembayaran untuk Information Science Inc, merupakan bisnis pertamanya. Kemudian bersama Paul Ellen mendirikan perusahaan pertama mereka yang disebut Traf-O-Data. Mereka membuat sebuah komputer kecil yang mampu mengukur aliran lalu lintas. Bekerja sebagai debugger di perusahaan kontrkator pertahanan TRW, dan sebagai penanggungjawab komputerisasi jadwal sekolah, melengkapi pengalaman Bill Gates.
Musim gugur 1973, Bill Gates berangkat menuju Harvard University dan terdaftar sebagai siswa fakultas hukum. Bill mampu dengan baik mengikuti kuliah, namun sama seperti ketika di SMA, perhatiannya segera beralih ke komputer. Selama di Harvard, hubungannya dengan Allen tetap dekat. Bill dikenal sebagai seorang jenius di Harvard. Bahkan salah seorang guru Bill mengatakan bahwa Bill adalah programmer yang luar biasa jenius, namun seorang manusia yang menyebalkan.
Desember 1974, saat hendak mengunjungi Bill Gates, Paul Allen membaca artikel majalah Popular Electronics dengan judul "World`s First Microcomputer Kit to Rival Commercial Models". Artikel ini memuat tentang komputer mikro pertama Altair 9090. Allen kemudian berdiskusi dengan Bill Gates. Mereka menyadari bahwa era "komputer rumah" akan segera hadir dan meledak, membuat keberadaan software untuk komputer - komputer tersebut sangat dibutuhkan. Dan ini merupakan kesempatan besar bagi mereka.
Kemudian dalam beberapa hari, Gates menghubungi perusahaan pembuat Altair, MITS (Micro Instrumentation and Telemetry Systems). Dia mengatakan bahwa dia dan Allen, telah membuat BASIC yang dapat digunakan pada Altair. Tentu saja ini adalah bohong. Bahkan mereka sama sekali belum menulis satu baris kode pun. MITS, yang tidak mengetahui hal ini, sangat tertarik pada BASIC. Dalam waktu 8 minggu BASIC telah siap. Allen menuju MITS untuk mempresentasikan BASIC. Dan walaupun, ini adalah kali pertama bagi Allen dalam mengoperasikan Altair, ternyata BASIC dapat bekerja dengan sempurna. Setahun kemudian Bill Gates meninggalkan Harvard dan mendirikan microsoft.
Kisah Bill Gates Meninggalkan Harvard Demi Mengejar Impian
Ketika ia bosan dengan Harvard, Gates melamar pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan komputer di daerah Boston. Gates mendorong Paul Allen untuk mencoba melamar sebagai pembuat program di Honey-well agar keduanya dapat melanjutkan impian mereka untuk mendirikan sebuah perusahaan perangkat lunak.
Pada suatu hari di bulan Desember yang beku, Paul Allen melihat sampul depan majalah Popular Mechanics, terbitan Januari 1975, yaitu gambar komputer mikro rakitan baru yang revolusioner MITS Altair 8080 (Komputer kecil ini menjadi cikal bakal PC di kemudian hari). Kemudian Allen menemui Gates dan membujuknya bahwa mereka harus mengembangkan sebuah bahasa untuk mesin kecil sederhana itu. Allen terus mengatakan, Yuk kita dirikan sebuah perusahaan. Yuk kita lakukan.
Kami sadar bahwa revolusi itu bisa terjadi tanpa kami. Setelah kami membaca artikel itu, tak diragukan lagi dimana kami akan memfokuskan hidup kami. Kedua sahabat itu bergegas ke sebuah komputer Harvard untuk menulis sebuah adaptasi dari program bahasa BASIC. Gates dan Allen percaya bahwa komputer kecil itu dapat melakukan keajaiban. Dari sana pula mereka mempunyai mimpi, tersedianya sebuah komputer di setiap meja tulis dan di setiap rumah tangga.
Semangat Allen dan Gates tidak percuma, dan dari sana mereka mendirikan perusahaan "Microsoft". Berawal dari komputer kecil itulah yang menjadi mode dari segala macam komputansi. Dan sekarang bisa Anda lihat bahwa Microsoft telah benar-benar menjadi bagian dari kebutuhan komputansi di seluruh dunia. Dan hampir setiap orang mengenal Bill Gates sebagai orang terkaya di dunia saat ini.
"Orang yang sukses adalah
orang yang memiliki mimpi
dan keyakinan bahwa mimpi itu akan dapat terjadi
berapapun harga yang harus ia bayar…"
Perilaku Kesatria Verstraeten
Celtic kalah 0-3 di Old Trafford pada Selasa (21/10). Dua gol pembuka Manchester United lewat Dimitar Berbatov ternyata dicetak dalam posisi off-side. Kontroversi ini meruyak ke permukaan lantaran asisten wasit, Alex Verstraeten, mengakui dirinya salah mengambil keputusan di koran The Scotman.
Perilaku ofisial pertandingan asal Belgia ini termasuk sebuah anomali karena semua rapor dan kinerja para pengadil laga seharusnya tidak diungkap atau dikomentari yang bersangkutan di media.
“Ini adalah kesalahan pertama yang saya buat sepanjang menengahi 52 pertandingan internasional,” ungkap Verstraeten.
Menurut pendamping wasit Peter Hermans pekan lalu itu, kesalahan manusiawi wasit biasa terjadi dalam pertandingan. Namun, akan berbeda dampaknya bila keteledoran itu mengarah pada terciptanya sebuah gol.
Uniknya, para pemain Celtic tidak sedikit pun memprotes kedua gol Berba pekan lalu. Reaksi Bhoys ini disebut Verstraeten memperlihatkan sulitnya menentukan sebuah kondisi off-side dari sudut pandang pemain dan pelatih.
“Saya sendiri baru menyadari kesalahan yang saya lakukan ketika melihat rekaman pertandingan. Kejadiannya begitu cepat dan saya ini hanyalah manusia biasa yang terbuat dari darah dan daging,” ujarnya lagi.
Reaksi publik Glasgow beragam setelah pengakuan kontroversial di atas. Mayoritas dari mereka menyebut fakta baru ini seharusnya membuat moral Celtic naik ketika mereka menjamu United pada 5 November.
Secara administratif, UEFA pasti melakukan sanksi bagi Verstraeten karena mengungkap kesalahannya di ruang publik. Perilaku kesatria tersebut memang terpuji, tapi bakal mengundang konsekuensi profesional yang bakal tidak dibeberkan UEFA pada pers.
Selama ini, UEFA pun melakukan penilaian terhadap wasit-wasitnya secara tertutup. Mereka yang dinilai melakukan kesalahan bakal tidak tampil dalam durasi yang cukup panjang di level Piala UEFA, Liga Champion, atau laga antarnegara. (toen)
"I do not know anyone who has got to the top without hard work. That is the recipe. It will not always get you to the top, but should get you pretty near."
Margaret Thatcher
Former Prime Minister of England
Music :
http://www.videoku.tv/action/music/2771/Storm/?ref=Belajar777
No comments:
Post a Comment