Saturday, November 8, 2008

Perayaan - Warga AS di Indonesia Berpesta untuk Obama








Jakarta, Kompas - Warga Amerika Serikat dan simpatisan Barack Obama di sejumlah daerah di Indonesia ikut bersorak dan larut dalam kegembiraan setelah Obama dipastikan memenangi Pemilu AS, 4 November. Pesta menyambut kemenangan juga diadakan di sekolah dasar tempat Obama pernah bersekolah di kawasan Menteng, Jakarta.

Kedutaan Besar AS di Jakarta kemarin menggelar acara bertajuk ”Decision 2008” di Grand Ballroom Hotel Intercontinental, Jakarta. Mereka yang hadir dalam acara itu diajak ikut menyaksikan suasana penghitungan suara Pemilu AS sekaligus pesta kemenangan pendukung Obama. Sebuah layar lebar di dinding menampilkan peta electoral college yang terus diperbarui seiring masuknya hasil suara.

Acara lainnya adalah foto bersama para ”calon presiden AS” berupa papan karton besar dibuat menyerupai Obama dan John McCain. Tamu undangan yang ingin mengetahui sistem Pemilu AS juga dapat memperoleh sejumlah informasi tentang hal itu di meja khusus. Sejumlah pakar dan komentator dari Indonesia maupun AS di bidang media, pemerintahan, dan akademi memberikan perspektif mereka tentang Pemilu AS.

Duta Besar AS untuk Indonesia Cameron R Hume dalam sambutannya mengatakan, pihaknya menaruh perhatian atas antusiasme warga Indonesia terhadap Pemilu AS kali ini. ”Pemilu AS tahun ini telah menarik perhatian dunia, tetapi perhatian di Indonesia sungguh besar. Terlepas dari Obama yang pernah hidup di sini, warga Indonesia juga sangat tertarik dengan proses politik di AS dan mencoba membandingkannya dengan pemilu di sini tahun depan,” kata Hume.

Menjelang pelaksanaan Pemilu AS, Kedutaan Besar AS di Indonesia secara aktif melakukan program sosialisasi untuk menjelaskan sistem pemilu di AS kepada masyarakat Indonesia melalui media. Para diplomat AS juga diberikan kesempatan untuk mempresentasikan tentang pemilu dan sistem politik AS secara umum. Lebih dari 60 presentasi telah digelar dan diberikan kepada 6.000 mahasiswa Indonesia, akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan daerah lain di Indonesia.

Malam harinya, sejumlah warga AS dan para pendukung Obama menggelar pesta di kawasan Kuningan, Jakarta, dalam bentuk pentas musik. Tampil sejumlah artis Indonesia dalam acara itu, seperti Oppie Andaresta dan musisi jazz, Ireng Maulana.

Dari Bali, seperti dilaporkan Antara, warga AS yang bermukim atau sedang berlibur di Pulau Dewata berkumpul menyaksikan penghitungan suara melalui layar lebar di Sector Bar di kawasan wisata Sanur. Mereka juga berpesta setelah mengetahui kemenangan Obama.

John M Daniels, warga AS yang telah lama tinggal di Bali, mengatakan, kemenangan Obama merupakan kemenangan rakyat AS karena sosok Obama diharapkan mampu mengatasi berbagai kesulitan yang saat ini melanda negeri itu, khususnya krisis finansial.

Sementara itu, di SDN Menteng 01 (dulu SD Besuki, Menteng, tempat Obama pernah bersekolah selama dua tahun), 300 siswanya berpesta untuk kemenangan Obama. Sambil menari dan bernyanyi, mereka meneriakkan nama Obama berkali-kali, khususnya setelah wakil kepala SD itu mengumumkan kemenangan Obama.

”Senang rasanya tahu Presiden AS pernah bersekolah di sekolah ini. Kami mendoakan dia supaya menang, dan doa itu terkabul,” kata Muhammad Yodi (11), salah satu siswa SDN 1 Menteng (AFP/BEN)

-----


Sampah Tutupi Pintu Air

Sebanyak 136 Rumah di Lagoa Jakarta Utara Dibongkar Paksa


Jakarta, kompas - Berbagai macam sampah yang dihanyutkan hujan lebat dan banjir kiriman dari Bogor menghalangi laju arus air di sejumlah pintu air di Jakarta. Selama tiga hari terakhir, Pemerintah Kota Jakarta Pusat terpaksa membersihkan 30-40 ton sampah dari beberapa pintu air.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Jakarta Pusat Oyong Hanna Abidin, Rabu kemarin, mengatakan, hujan lebat yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya sejak Minggu (2/11) hingga Selasa (4/11) malam menyebabkan kenaikan permukaan air di saluran air dan sungai. Naiknya muka air karena beberapa pintu air, seperti Pintu Air Karet dan Pintu Air Manggarai, tertutup sampah.

”Pokoknya, dalam tiga hari ini, kami telah mengeruk sampah di pintu-pintu air. Total ada 10 truk dengan kapasitas setiap truk 3-4 ton mengangkut berbagai macam sampah dari pintu air agar aliran air dan banjir kiriman dapat kembali lancar,” kata Oyong, Rabu.

Pembersihan sampah di pintu air merupakan kewajiban pemerintah kota, termasuk rehabilitasi saluran mikro. Di Jakarta Pusat, saat ini direhabilitasi 58 saluran mikro.

Bongkar paksa

Terkait upaya antisipasi banjir, 136 bangunan liar yang tiga tahun terakhir menutupi saluran gedong Kali Kresek di Lagoa, Jakarta Utara, dibongkar paksa aparat ketentraman dan ketertiban (tramtib), Rabu. Badan saluran sepanjang 400 meter dengan lebar 5 meter telah kehilangan rupa setelah warga membangun gubuk, warung, garasi, dan gudang.

Akibat hilangnya saluran, selama tiga tahun terakhir Lagoa terendam banjir, terutama di RW 02, 03, 04, dan RW 07. Pembongkaran paksa yang dilakukan sekitar 150 aparat gabungan tramtib, polisi, dan petugas bintara pembina desa (babinsa). Warga yang merasa bersalah tidak melakukan perlawanan.

Lurah Lagoa M Andri mengungkapkan, pihaknya sudah memberikan surat pemberitahuan dan peringatan 7 x 24 jam bagi penghuni untuk segera membongkar sendiri bangunannya. ”Karena tak diindahkan, petugas pun membongkar paksa. Hilangnya saluran adalah salah satu penyebab banjir,” katanya.

Sudah diperingatkan

Terkait adanya korban jiwa saat terjadi banjir kiriman awal pekan ini, Kepala Subdinas Kesiagaan, Pusat Krisis DKI Jakarta, Bobby Aryono membantah tidak diaktifkannya peringatan dini banjir. Sistem peringatan dini sudah diaktifkan sampai tingkat kelurahan dan para petugas yang mengurusi masalah banjir mempunyai kontak langsung dengan petugas di pintu air Katulampa.

Namun, Koko, warga di RW 11 Kelurahan Bidara Cina, mengaku tidak mendengar peringatan apa pun dari petugas pemerintah sebelum banjir. Bahkan, peringatan melalui masjid pun tidak ada.

”Selasa (4/11) malam air naik lagi sampai 20 sentimeter, tetapi tidak ada peringatan apa pun. Kebijaksanaan operasional peringatan dini harus dievaluasi,” kata Koko. (ECA/CAL/NEL)

----




Faktor Apa saja yang Mempengaruhi Motivasi
Johanes Papu

Beberapa faktor yang dapat mempngaruhi motivasi kelompok (teamwork) dalam bekerja dapat dikategorikan sebagai berikut:

Tujuan
Visi, misi dan tujuan yang jelas akan membantu team dalam bekerja. Namun hal tersebut belum cukup jika visi., misi dan tujuan yang ditetapkan tidak sejalan dengan kebutuhan dan tujuan para anggota..

Tantangan
Manusia dikarunia mekanisme pertahanan diri yang di sebut “fight atau flight syndrome”. Ketika dihadapkan pada suatu tantangan, secara naluri manusia akan melakukan suatu tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut (fight) atau menghindar (flight). Dalam banyak kasus tantangan yang ada merupakan suatu rangsangan untuk mencapai kesuksesan. Dengan kata lain tantangan tersebut justru merupakan motivator.

Namun demikian tidak semua pekerjaan selalu menghadirkan tantangan. Sebuah team tidak selamanya akan menghadapi suatu tantangan. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya memberikan suatu tugas atau pekerjaan yang menantang dalam interval. Salah satu criteria yang dapat dipakai sebagai acuan apakah suatu tugas memiliki tantangan adalah tingkat kesulitan dari tugas tersebut. Jika terlalu sulit, mungkin dapat dianggap sebagai hal yang mustahil dilaksanakan, maka team bisa saja menyerah sebelum mulai mengerjakannya. Sebaliknya, jika terlalu mudah maka team juga akan malas untuk mengerjakannya karena dianggap tidak akan menimbulkan kebanggaan bagi yang melakukannya.

Keakraban
Team yang sukses biasanya ditandai dengan sikap akraban satu sama lain, setia kawan, dan merasa senasib sepenanggungan. Para anggota team saling menyukai dan berusaha keras untuk mengembangankan dan memelihara hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal menjadi sangat penting karena hal ini akan merupakan dasar terciptanya keterbukaan dan komunikasi langsung serta dukungan antara sesama anggota team.

Tanggungjawab
Secara umum, setiap orang akan terstimulasi ketika diberi suatu tanggungjawab. Tanggungjawab mengimplikasikan adanya suatu otoritas untuk membuat perubahan atau mengambil suatu keputusan. Team yang diberi tanggungjawab dan otoritas yang proporsional cenderung akan memiliki motivasi kerja yag tinggi.

Kesempatan untuk maju
Setiap orang akan melakukan banyak cara untuk dapat mengembangkan diri, mempelajari konsep dan ketrampilan baru, serta melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Jika dalam sebuah team setiap anggota merasa bahwa team tersebut dapat memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan hal-hal tersebut di atas maka akan tercipta motivasi dan komitment yang tinggi. Hal ini penting mengingat bahwa perkembangan pribadi memberikan nilai tambah bagi individu dalam meningkatkan harga diri.

Kepemimpinan
Tidak dapat dipungkiri bahwa leadership merupakan faktor yang berperan penting dalam mendapatkan komitment dari anggota team. Leader berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi team untuk bekerja dengan tenang dan harmonis. Seorang leader yang baik juga dapat memahami 6 faktor yang dapat menimbulkan motivasi seperti yang disebutkan diatas. (Dari berbagai sumber)

Have a positive day!

--------



SENYUMLAH...



Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana . Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.



Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.



Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi keluar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.



Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.



Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.



Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.



Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu.



Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.



Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai di depan counter.



Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.



Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka...



Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.



Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.



Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."



Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."



Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."



Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.



Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak2ku!"



Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.



Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."



Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai2kan tangannya ke arah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya.



Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!



Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini di tangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.



Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.



Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper saya. "Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."



Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."



Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!



Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!



Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu.



Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya! Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.



Orang-orang muda yang 'cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang 'cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri (dari milist tetangga)

------

Pemimpin Baru Dunia Barack Ombama

dan Jakarta

Hari-hari ini hampir sebagian besar mata dan telinga masyarakat dunia tertuju kepada negara adidaya demokrasi dunia Amerika Serikat, tak terkecuali masyrakat Indonesia. Mudah2an tidak hanya mata dan telinga kita saja yang bekerja, namun hati, pikiran, semangat dan jiwa pun berperan aktif!

Pesta akbar demokrasi dunia AS telah digelar….demokrasi bangsa dan kebangsaan Amerika telah memberikan training kilat, pembelajaran, practice cources, dan langkah nyata rakyat AS. Keputusan rakyat Amerika saat ini mengalir deras, dalam 2 kanal demokrasi partai republik dan partai demokrat, membuncah-buncah mengaliri seluruh negeri paman Sam, yang akan membawa pencerahan dunia.

Akumulasi jumlah suara pun akan balik kembali dalam sekejab, dalam hitungan jam, mengkristal melahirkan tokoh dunia. Karena pemilihan umum di AS saat ini mengunakan sistim kartu ATM, bayangkan betapa tingginya akurasi perhitungan dan kecepatan pengumpulan datanya. Tanpa harus menunggu 2-3 hari, minggu atau bulan the winner sudah jelas hasilnya.

Terima kasih kita ucapkan kepada paman Sam mc cain, oom bama, joe biden, ‘te palin, pemerintah AS dan seluruh rakyat Amerika. Yang sudi memberikan teladan demokrasi yang baik, semoga dapat menjadi contoh bagi rakyat Indonesia, khususnya menjelang pilleg dan pilpres tahun depan, 2009.

-------


Daniele De Rossi
Membalas Kesetiaan Suporter

Kiprah AS Roma di awal musim 2008/09 sungguh di luar dugaan dalam arti negatif. Di Serie A, pasukan Luciano Spalletti hanya setingkat di atas zona degradasi. Performa di Liga Champion juga belum memuaskan. Padahal, secara materi lini per lini, kekuatan I Giallorossi cukup dahsyat. Tentu ada yang salah sehingga membuat taring-taring Pasukan Serigala mendadak tumpul.

Daniele De Rossi, optimis Roma akan bangkit. (Foto: AFP)

Kondisi ini tak ayal membuat segenap I Romanisti mulai gelisah. Menyikapi hal tersebut, para pemain mulai terlecut untuk memperlihatkan kembali komitmen awal membawa Roma ke jajaran klub-klub elite Italia dan Eropa.

Salah satunya adalah Daniele De Rossi (25). Gelandang penerus predikat Pangeran Roma ini menjadi salah satu sosok yang paling gemas melihat kondisi tim. Kepada uefa.com, sebelum partai melawan Chelsea (4/11), didikan asli akademi sepakbola Roma itu mengemukakan pendapat.

Roma belum optimal di Serie A. Bagaimana menilai performa tim sejauh ini?

Sejauh ini penampilan klub memang kurang menggembirakan. Kami masih berada di papan bawah Serie A. Namun, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami pasti bisa mencapai hasil yang lebih baik dari saat ini.

Bagaimana reaksi suporter melihat pencapaian tim yang sangat minim?

Dukungan suporter adalah hal yang paling penting. Sangat menyenangkan ketika mengetahui bahwa mereka selalu berada di belakang kami dan selalu memberi semangat agar kami terus melangkah maju.

Kehadiran tifosi bisa memberikan kekuatan ekstra bagi pemain yang bertanding di lapangan. Dengan dukungan tersebut, kami semakin termotivasi untuk mencapai hasil yang lebih baik. Setidaknya hal itulah yang bisa dilakukan untuk membalas kesetiaan mereka.

Faktor apa yang menyebabkan Roma mengalami krisis?

Saya sendiri tak bisa menjelaskan apa yang salah saat ini. Terlalu banyak gangguan yang menghadang, mulai dari permasalahan teknis, taktik, hingga kondisi fisik pemain. Kami seolah terjebak dalam lingkaran permasalahan. Selain itu, terkadang kami juga tidak beruntung dalam pertandingan.

Mulai ada suara yang meminta Spalletti diganti.

Tak ada alasan untuk meragukan kualitas Spalletti. Dia telah bekerja dengan sangat baik dan kami juga menikmati metode kepelatihannya. Kami menjadi tim yang lebih baik saat dilatih oleh Spalletti. Apa pun rumor yang beredar di luar sana, seluruh tim selalu bersatu mendukungnya.

Yang harus dilakukan adalah kembali bekerja dan tidak menyalahkan siapa pun atas kondisi yang terjadi sekarang. Semua elemen dalam klub harus mengerahkan segenap tenaga dan saling bekerja sama.

Francesco Totti kembali diganggu cedera. Bagaimana pengaruhnya terhadap tim?

Kondisi Francesco memang sangat disayangkan. Ia baru saja mulai pulih, tapi harus kembali absen akibat cedera lutut. Hal ini adalah kerugian besar bagi kami.

Tentu saja kami ingin Francesco benar-benar sembuh. Ia pemain hebat dengan peran yang sangat penting bagi tim. Namun, kami harus bisa bertahan. Salah satu cara yang bisa dilakukan mungkin dengan berkaca pada musim lalu saat kami bisa meraih kemenangan tanpanya.

Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki tim?

Fokus saat ini adalah mengembalikan kondisi moril dalam tim. Jika sudah demikian, kami akan meraih lebih banyak kesuksesan. Namun, tetap saja semua berpulang pada diri kami sendiri. Jika berada dalam kondisi kurang menyenangkan seperti ini, kami harus siap untuk berusaha lebih keras lagi. Hukumnya memang demikian.Kami harus bersikap sebagaimana layaknya profesional sejati.

Apakah itu cukup untuk membawa Roma lebih baik?

Tim ini masih punya kualitas yang dibutuhkan untuk bersaing di level atas. Buktinya dua tahun terakhir kami melaju hingga perempatfinal Liga Champion.

Jika bisa kembali ke titik tersebut, kami akan meraih hasil yang lebih baik dari sekarang. Tak peduli setangguh apa lawan yang akan dihadapi nanti, kami pasti sanggup mengatasinya.

Setelah kemenangan 3-1 atas Chelsea, DDR mengemukakan pendapatnya kepada Sky Italia.

Kenapa Roma berbeda?

Taktik baru jelas mempengaruhi kami. tapi saya melihat perbedaan utamanya adalah mentalitas.

Apakah benar Roma lebih memikirkan Eropa?

Roma mesti memikirkan Eropa karena dalam dua musim terakhir kami meraih hasil bagus. Tapi, kami juga harus memikirkan Serie A.

Final dimainkan di Roma. Namun, bukan berarti kami otomatis mendapat tiket tampil di sana. Ada banyak skuad yang lebih lengkap dari kami untuk berada di final. Ini tak akan mudah. (cw-1)

Jeh Johnson, a black partner at a prominent Manhattan law firm, strolled down the hall from his corner office to chat with a fellow partner: Theodore Sorensen, President Kennedy's former speechwriter. It was late 2006, and another of Mr. Johnson's allies, Barack Obama, was pondering a bid for the White House. He suggested to Mr. Sorensen that he meet the politician.

Mr. Sorensen drafted notes about the pros and cons of running, including issues of personal safety. He and Mr. Obama talked by phone and later met face-to-face. Impressed, Mr. Sorensen vowed to support the young senator.

Today, Mr. Johnson, a Democratic fund-raiser who advised Sen. John Kerry during his 2004 race, is among a tightknit group of black Obama backers preparing for their own victory laps. Seated in his office recently, Mr. Johnson casually pulled out a list that's been circulating over the Internet of rumored Obama cabinet picks. Next to his name was the title secretary of labor. "I was flattered," said Mr. Johnson, before dismissing the speculative document with a laugh. "I am part of the Obama team and I'd want that to continue -- if asked."

For more than a decade, Mr. Obama has cultivated ties with a growing circle of black power brokers who are poised -- and eager -- to wield greater national influence. Some of these insiders stand to gain new status in an Obama administration, and many more in law firms, big corporations and on Wall Street. They believe that their proximity to the president-elect will burnish their reputations, much in the way that white elites always have leveraged connections in business and politics.

"When I get introduced to a new client these days, the first thing my colleagues mention is that I am a litigator and the second is that I am on Obama's national finance committee," says Mr. Johnson, 51 years old.

Being known as a top fund-raiser or adviser to Mr. Obama has given African-Americans "the opportunity to build wonderful relationships," says John Rogers, the 50-year-old founder of Chicago-based Ariel Capital Management who has known the president-elect for years. "Once people get to meet someone like [senior Obama adviser] Valerie Jarrett, they say, 'They are so smart, so sharp -- I want to do business with them. I want to have them on my board.'" On Wednesday, Mr. Obama spent much of the day working out of Mr. Rogers's office.

The senator's network of black executives, lawyers, fund-raisers and advisers stretches from Chicago to Cambridge, Mass., to Wall Street to Washington, D.C. In many ways, their careers mirror that of the candidate himself. They are graduates of Ivy League and other prestigious colleges and law schools. They ascended the ranks of mainstream corporate America, often accumulating great wealth in the process. They've been adept at navigating elite white precincts while retaining ties to the black community. They are also bound by an intricate social web that operates largely out of sight from whites: family connections, black law-school alumni organizations, black fraternities and sororities, as well as popular vacation spots for affluent African-Americans like Martha's Vineyard.

Many are now eyeing Washington -- for jobs and less-formal resumé-boosting roles. "These black executives see a window of opportunity for themselves," says Peniel Joseph, a black professor of political science at Brandeis University. "Obama being elected president shatters the last glass ceiling."

Of those hoping for access and government stints, some may be disappointed. Loyalties aside, Mr. Obama, according to people familiar with his thinking, may be constrained in the number of blacks he appoints to avoid any charges of favoring African-Americans.

Other blacks, meanwhile, complain that they have been shut out altogether. Absent from the senator's advisory circle, for instance, are the civil-rights leaders and ministers who figured prominently in the candidacies of an older generation of black politicians such as the Rev. Jesse Jackson. "There is no one who represents the black inner city, who is rooted in the black community," says the Rev. Eugene Rivers, an influential black Boston minister. "It's the whole black Brahmin thing: Vote for us because we're better than you."

Obama supporters point out that the senator himself worked as a community organizer in a black Chicago neighborhood. "There are a lot of ways other than being from the street to be tough and have wisdom," says Martin Nesbitt, a Chicago real-estate developer and close friend.

"There will be room in an Obama administration for all kinds of talented people," says Ms. Jarrett, a longtime friend and key adviser to Mr. Obama who is now a member of the triumvirate heading his transition team. Blacks, she stresses, won't be pigeonholed into "historically conventional" roles, such as secretary of housing and urban development or assistant attorney general for civil rights.

On Wednesday, Mr. Obama offered Illinois Rep. Rahm Emanuel the job of White House chief of staff. An Obama spokesman declined to comment on other specific administration assignments.

African-Americans have held top cabinet and presidential advisory positions before -- most notably Colin Powell and Condoleezza Rice in the Bush administration and Vernon Jordan, who was a close adviser and friend to President Bill Clinton. Both Mr. Jordan and Mr. Powell have advised Mr. Obama.

But now, the spotlight has shifted to a new cadre of African-Americans in their 40s and 50s. Their growing visibility is already changing the tone of Washington and creating new power matrixes. For example, Eric Holder -- who helped conduct Mr. Obama's search for a vice president and is considered by people close to the campaign as a candidate for attorney general -- met Mr. Obama two years ago at a Washington dinner party organized by Ann Walker Marchant. Ms. Marchant is a black former Clinton administration official who is also the niece of Mr. Jordan and a cousin of Ms. Jarrett.

Judith Byrd, 52, a graduate of Georgetown Law School, first met Mr. Obama during his early career days, in the 1980s. Back then, he was a community organizer and she was a city official. At a meeting where he was leading local opposition to landfills, Ms. Byrd recalls "my head whipping around as he spoke because of the conviction and clarity with which he was making his case."

In 2004 she introduced Mr. Obama to her husband, Ron Blaylock, 48, an African-American veteran of Citigroup and UBS who now runs a private-equity fund. Backing their friend's political efforts, the couple quickly ramped up their social network for fund-raising events. One gathering, held this spring, was at the Park Avenue home of a friend. The invitation list consisted of friends and clients as well as colleagues from the predominantly white, A-list nonprofit boards on which they've served: Georgetown and New York Universities, Carnegie Hall, the American Ballet Theater. The event raised $370,000.

"That's our existing network," says Mr. Blaylock. "Our friends and the people we associate with every day are mixed, of all races. It's not all black."

For the past several months, Mr. Blaylock has been emailing Austan Goolsbee, Mr. Obama's top economic adviser, with his thoughts on the housing crisis and its impact on financial markets. "I reached out to them and they have reached out to me," says Mr. Blaylock.

Ms. Byrd says she approached Mr. Obama three months ago at a fund-raising event and joked about his personal availability. "If I ever need to talk with you would I need to go through 100 people?" Ms. Byrd says the senator laughed, summoned a staffer, then handed over his cellphone number.

Chicago provides the oldest and closest circle of black business executives around Mr. Obama. Many have benefited from the historically strong black business community and the 1983 election of the city's first black mayor, Harold Washington, who appointed many African-Americans to city posts.

Mr. Nesbitt, a 45-year old real-estate developer and a close friend of the senator, is chairman of the Chicago Housing Authority. Before Ms. Jarrett was named president of a large Chicago real-estate development and management company, she was a top aide to Mayor Richard Daley. In addition to raising money for Mr. Obama, Mr. Rogers, of Ariel Capital, played major fund-raising roles for Bill Bradley during his presidential run and for the successful 1992 Senate race of Carol Mosley Braun.

Harvard Law School is another nexus of influence, having played a key role in expanding the African-American power base. Since it began accepting blacks in large numbers in 1968, Harvard has typically admitted 30 to 40 black law students a year, according to David Wilkins, a Harvard Law professor who has tracked the numbers. In 2000, Mr. Wilkins organized a reunion of black graduates and found there were 1,400 black alumni -- more black law-school graduates than any other law school except historically black Howard University.

"Harvard Law School has always produced an influential network....Now blacks are part of that network," says Rep. Artur Davis (D., Ala.), who attended law school with Mr. Obama.

When Mr. Obama first ran for office in Chicago, campaign workers recall, he took out his copy of the Harvard Law School alumni directory and began dialing to solicit donations. In this campaign cycle, Mr. Obama has raised more than $500,000 from Harvard faculty and staff -- not including alumni -- making the school the third-largest contributor among employers.

Starting in the 1990s many aspiring black policy makers began finding work in Washington as Democratic congressional and White House staffers. President Clinton appointed more blacks to sub-cabinet and White House jobs than any previous president. Some are now top advisers to Mr. Obama including Mr. Holder and Susan Rice (who worked in the Department of State under Clinton and now is a possible candidate for National Security Adviser, according to people close to the Obama campaign). Cassandra Butts, one of Mr. Obama's top advisers on domestic issues, worked as a senior adviser to Rep. Richard Gephardt.

"The Clinton administration brought a lot of African-Americans into government and into policy-making roles," says Ms. Butts, who, along with Ms. Rice, has been tapped for Mr. Obama's transition team. "They came out and landed in law firms or think tanks or on Capitol Hill."

Mr. Johnson, for example, was named a partner at his firm, Paul, Weiss, Rifkind, Wharton & Garrison, in 1993. He joined the Clinton administration as general counsel of the Air Force from 1996 to 2001, then returned to his law firm, where he has remained active in politics. He now serves as part of Mr. Obama's foreign-policy advisory team as well as a fund-raiser.

Some blacks believe that a larger ripple effect is under way -- that Mr. Obama's ascendancy is affecting, for instance, things like the number of black commentators appearing on cable-TV news shows. Says Ms. Butts: "You will see changes in Washington, D.C., where people are making decisions about who is running a news bureau, who is heading up a lobbying shop," bringing in more blacks to top positions.

While Mr. Obama's political rise has augmented the role of many well-connected blacks, the country's overall racial progress remains uneven, notes Mr. Rogers. As an example, he points to the financial sector in Chicago where there are virtually no African-American partners at the major investment banks, hedge funds or venture-capital firms.

This election "isn't going to change everything," says Harvard's Mr. Wilkins. "But it is going to change the way people understand power. It changes the view of who could be an important person."

Mr. Wilkins and other influential blacks say they have already noticed subtle changes in the way they are treated at upscale restaurants in Washington, D.C., and places like Martha's Vineyard where affluent Americans -- and the Obamas -- vacation. "No one is quite sure who you are," says Mr. Wilkins. "Now the assumption is you might know the next president of the United States."

Muxic :

http://www.videoku.tv/action/music/422/Nikita___Oleh_Kuasa_DarahMu/?ref=Belajar777

No comments: