Rasa Percaya Diri Yang Terlatih

Penulis : Insyirahman - Pencinta dan pemerhati manusia positif
Rasa Percaya Diri adalah tiga rangkaian kata yang apabila dipecah akan mempunyai makna sendiri-sendiri.
Rasa adalah perasaan diri yang teridentifikasi dari hati dan dicerna di otak.
Percaya adalah komitmen dari hati yang berbuah perilaku.
Sedangkan Diri adalah tempat bersemayamnya Rasa Percaya.
Rasa Percaya Diri adalah potensi yang sangat luar biasa dan mempengaruhi standar kualitas hidup pada setiap manusia .
Apabila sebutan pada anda “rasa percaya diri anda tinggi” itu berarti potensi rasa percaya diri yang sudah melalui proses latihan.
Melatih Rasa Percaya Diri
Melatih rasa percaya diri tidak sebatas sekedar mengetahui ilmunya melalui membaca buku, tetapi jauh lebih penting adalah dengan mengkondisikan diri pada situasi yang memberikan pengalaman bagi si rasa percaya diri, misalnya:
1. Menjadi sales/ penjual barang apa saja dan menawarkan dari rumah ke rumah,
2. Berani berbicara didepan forum,
3. Memberi nasehat/ masukan pada orang lain, nasehat tidak harus sempurna,
4. Biasakan menjadi yang pertama/ pioner,
Penulis sudah merasakan ke empat kondisi diatas dan benar, orang lain memberikan penilaian yang baik ...”anda punya rasa percaya diri yang tinggi”.
Manfaat Rasa Percaya Diri yang tinggi
Apa manfaat yang dirasakan apabila kita mempunyai Rasa Percaya Diri yang tinggi??
Beberapa item yang penulis rasakan adalah:
1. Diri menilai bahwa kualitas pribadi muncul dari dalam,
2. Kuat dalam berargumentasi dan selalu ingin menang (diperlukan penjabaran lebih lanjut)
3. Mental bersaing sangat tinggi,
4. Tidak mudah menyerah,
5. Selalu ingin punya alternatif dalam menyelesaikan setiap masalah,
Siapa yang ingin meningkatkan Rasa Percaya Diri, cobalah keempat item diatas!
Insyirahman
Pencinta dan pemerhati manusia positif
e-mail: insyi74@yahoo.com
WeBsite: www.insyrahman.multiply.com
----------
Meloloskan Diri Dari Belenggu Pemikiran - 2008-10-22 11:34:07-04
Penulis : Ade Asep Syarifuddin
WAKTU saya kecil saya sangat kagum kepada kakak sepupu saya. Dia orangnya pintar, nilainya selalu di atas 8 setiap akhir ujian sekolah. Orangnya pendiam, tidak banyak bicara, tapi cukup rajin belajar. Kelas 4 SD, dia di-“ambil” oleh seorang dermawan kaya dan menyekolahkannya sampai selesai. Prestasinya tetap konsisten sampai di masuk ke ITB lewat PMDK. Saya pernah bertanya pada dia, mengapa dia selalu mendapatkan nilai yang tinggi, selalu rangking lima besar dan bisa masuk perguruan tinggi prestisius. Dia hanya menjawab sederhana, “Saya yakin saya bisa melakukannya. Tapi harus dibarengi dengan sikap ulet dalam belajar, jangan cepat bosan dengan buku-buku yang menumpuk dan saya selalu penasaran kalau belum menemukan jawaban terhadap soal-soal, saya tidak akan berhenti sebelum memperoleh jawabannya,” tuturnya. Sekarang dia bekerja di sebuah perusahaan rekanan yang memiliki omzet ratusan juta rupiah per bulan.
Sementara tetangga saya yang lain, dia hanya lulus SMA, sekolahnya juga swasta yang kurang bermutu. Nilainya selalu di bawah rata-rata, paling besar hanya 6, pernah tinggal kelas sekali waktu di SD. Setiap hari kerjaannya hanya ngerumpi temannya yang berprestasi tinggi dengan mengatakan, “Terang saja dia pintar kan karena bapaknya kepala sekolah. Dia nilainya tinggi kan karena dikatrol, dia dapat beasiswa kan karena katebelece dari orang tuanya.” Demikian kira-kira kerjaan setiap harinya sampai-sampai dia lupa kewajibannya untuk belajar. Kalau mengerjakan PR biasanya setengah jam sebelum masuk sekolah meminta kepada temannya untuk mencontek. Semalaman dia menonton televis sampai jam 12 malam, pagi-pagi kadang kesiangan bangunnya. Sekarang dia adalah pengangguran, keluar dari pekerjaannya karena banyak menggunakan uang perusahaan dengan cara tidak jelas.
Dua contoh kasus di atas bisa dijadikan representasi cara berpikir masyarakat kita. Orang pertama memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, sementara orang yang kedua memiliki keyakinan juga tapi keyakinan yang tidak memberdayakan dirinya alias yakin akan kekurangan dirinya. Keduanya menghasilkan sesuatu sesuai dengan jalan pikirannya, yang pertama menjadi orang sukses, sementara yang kedua menjadi pecundang dan menjadi beban masyarakat. Persoalannya sangat sepele kalau dilihat dari sisi manajemen pikiran, mau atau tidak pikiran memutuskan sesuatu sesuai dengan keinginan tuannya. Siapakah tuannya? Tuannya adalah kita sendiri. Kalau kita menyuruh pikiran untuk memprogram kesuksesan, maka pikiran dengan sangat cepat membuahkan hasil-hasilnya, sementara kalau kita memprogram pikiran untuk gagal, pikiran pun akan menjawab dengan segera dan menyodorkan kegagalan tersebut.
Kalau memang demikian, berarti pikiran bisa diarahkan dong? Benar sekali, kita dapat mengarahkan pikiran ke arah yang kita inginkan. Tapi bagaimana kalau yang teringat hanyalah kegagalan, kefrustrasian, ketidakpercayaan kepada diri sendiri, pesimis, negatif thinking, cemburu tidak beralasan, iri, dengki. Ini sudah bisa ditebak, hasilnya juga akan sama. Kalau kita tidak dapat melepaskan diri dari hal-hal tadi, ini artinya pikiran kita telah dikunci, telah dikungkung dan telah dibelenggu oleh sesuatu keyakinan yang tidak memberdayakan. Terlalu banyak alasan yang dikemukakan oleh masyarakat kita untuk memberikan pembenaran bahwa dirinya tidak mau untuk berusaha dan tidak mau bekerja keras. Ada yang berdalih, saya kan anak orang miskin, mana bisa jadi kaya, saya kan anak kampung, tidak mungkin bisa sukses seperti orang-orang yang tinggal di Jakarta, saya kan balung kere. Saya kan pendidikannya cuma SD, sementara pekerjaan mensyaratkan ijazah S-1, tidak mungkin dapat berkompetisi dengan anak kuliahan.”
Coba saja perhatikan di sekeliling Anda, apa yang dikatakan oleh kawan-kawan Anda, tetangga Anda, teman sejawat Anda. Lebih banyak memikirkan sesuatu yang positif atau yang negatif? Sudah bisa ditebak, 60% dari mereka selalu membicarakan sesuatu yang negatif, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri. Hal lain yang perlu ditanyakan adalah, mengapa hal itu bisa terjadi, sejak kapan muncul pikiran negatif tadi. Sewaktu kita kecil, pikiran kita sangat bebas, tidak ada yang melarang. Kita bebas mengucapkan sesuatu walaupun salah, kita boleh mencoret-coret tembok karena masih kecil, kita boleh memecahkan gelas, kita boleh merobek-robek koran. Nyaris semua yang dilakukan baik benar ataupun salah diperbolehkan. Orang tua akan berkata, “Kan dia masih anak kecil, tidak apa-apa mencorat-coret tembok. Nanti juga kalau sudah besar mengerti dan menghentikan kebiasaannya.” Bahkan orang tuanya selalu bilang pinter terhadap apapun yang dilakukan sang anak tersebut walapun salah.
Ketika beranjak besar, biasanya di usia 4 atau 5 tahun perlakuan orang tua mulai berbeda. Kalau ada tindakan yang keliru langsung dibilang salah, bahkan tidak segan-segan kelopak mata orang tuanya diperlebar alias melotot. Sang anak menjadi ketakutan dengan respons orang tuanya yang agak berbeda tidak seperti biasanya. Tapi lagi-lagi anak mencoba sesuatu sampai-sampai memecahkan gelas, piring atau mainan dari listrik. Kontan aja tidak ada maaf bagi si anak. Tidak jarang anak dimaki-maki, dimarahin dan dihukum. Ditambah lagi ketika anak masuk sekolah dasar (SD) sewaktu pelajaran tertentu kebetulan anak tersebut mendapatkan nilai kecil, temannya bilang dia bodoh, gurunya pun bilang dia bodoh, sampai ke rumah orang tua dan kakak-kakaknya juga bilang bodoh. Tidak ada satupun yang mau mengerti mengapa dia mendapatkan nilai yang rendah.
Dalam perjalanan selanjutnya tidak heran anak-anak yang dididik dengan model ini menjadi introvert, rendah diri, tidak percaya kepada orang lain, cemburu dengan prestasi temannya. Celakanya sikap-sikap tersebut terus dibina hingga dewasa dan menjadi file permanen. Trauma-trauma masa kecil yang cukup menggunung tidak bisa lepas dari file-file pikirannya. Semua pengalaman masa lalu tersebut telah membelenggu pikirannya, telah membuat keyakinan-keyakinan yang sama sekali tidak memberdayakan. Bila tidak diterapi, maka kondisi seperti ini akan sangat merugikan masa depannya. Hidupnya kering, tidak bermakna. Dalam Neuro Linguistic Programming (NLP) kondisi seperti ini bisa diterapi dengan tool Reframing (membuat bingkai baru). Persepsi pikiran lama yang tidak memberdayakan digantikan dengan persepsi baru yang lebih memberdayakan.
Reframing ini adalah salah satu cara untuk lolos dari belenggu pikiran-pikiran yang tidak memberdayakan tadi. Ini bukan pekerjaan mudah, diperlukan usaha yang kuat dan sungguh-sungguh untuk keluar dari keyakinan negatif tadi. Misalnya, mengapa mesti cemburu kepada orang lain, kalau orang lain memiliki prestasi yang hebat kita mestinya senang karena kita dapat belajar dari mereka, tidak perlu jauh-jauh mencari orang yang bisa membantu. Kalau di dalam diri kita ada kekurangan tidak mesti rendah diri. Setiap orang memiliki kekurangan, belajarlah untuk menutupi kekurangan tersebut sampai kita memiliki kemampuan lain. Yang tidak wajar adalah tidak mengakui kekurangan dan tidak mau belajar untuk keluar dari kekurangan tadi. Sikapilah segala sesuatu di sekeliling kita secara proporsional, jangan terlalu berlebihan, jangan mudah menyimpulkan negatif padahal kita tidak memiliki bukti-bukti kongkrit dan jangan menilai seseorang hanya dari permukaan luarnya saja.
Milikilah prinsip-prinsip seperti, Pertama, sesuatu yang terjadi pada diri kita pada hari ini adalah sesuatu yang terbaik dalam pandangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tetap bersyukur kalau yang datang kepada kita terasa enak. Sebaiknya kita juga harus bersyukur kalau yang datang kepada kita terasa tidak enak secara fisik. Pernah ada satu cerita, seseorang yang mau terbang ke London terlambat datang di sebuah Bandara. Ia marah-marah kepada petugas bandara. Sekitar 15 menit kemudian terdengar kabar bahwa pesawat tersebut meledak. Dari sikap marah-marah ia langsung bersyukur dan segera menginsyafi sesuatu yang baru saja terjadi. Ini artinya, segala sesuatu yang terjadi pada diri kita adalah yang terbaik menurut pandangan Tuhan.
Prinsip kedua, tanyakan, apa hikmah positif dari segala kejadian yang menimpa kepada kita walaupun lagi-lagi terasa tidak enak dan merugikan dalam pandangan biasa. Bisnis kita rugi misalnya, tanyakan kepada diri sendiri, apa manfaat dari kerugian bisnis ini. Pikiran kita akan menjawab secara jujur, kalau bisnis rugi berarti kita harus belajar lagi kepada orang yang sudah sukses, hati-hari dalam manajemen keuangan, dan lain-lain. Segala kejadian pasti ada manfaat positif yang bakal datang kepada kita. Ketiga, sesuatu yang menurut kita baik belum tentu baik untuk kita. Manusia hanya memiliki pandangan mata, telinga, dan asumsi akal. Belum tentu yang sudah dipikir matang-matang akan berdampak baik juga. Artinya, kalau sudah memutuskan sesuatu, lakukanlah, tapi tetap tawakal dan pasrah kalau-kalau hasil yang datang tidak sesuai dengan rencana kita. Oleh karenanya, loloskanlah kita dari belenggu pikiran kita supaya kita tidak menjadi tahanan di dalamnya. Inilah langkah awal Success Revolution. (*)
*) Penulis adalah General Manager Harian Radar Pekalongan. Bisa dihubungi di asepradar@gmail.com
ROMANCE MATHEMATICS:
*
Smart man + smart woman = romance
*
Smart man + dumb woman = affair
*
Dumb man + smart woman = marriage
*
Dumb man + dumb woman = pregnancy
OFFICE ARITHMETIC:
*
Smart boss + smart employee = profit
*
Smart boss + dumb employee = production
*
Dumb boss + smart employee = promotion
*
Dumb boss + dumb employee = overtime
SHOPPING MATH:
*
A man will pay $20 for a $10 item he needs.
*
A woman will pay $10 for a $20 item that she doesn't need.
GENERAL EQUATIONS & STATISTICS:
*
A woman worries about the future until she gets a husband.
*
A man never worries about the future until he gets a wife.
*
A successful man is one who makes more money than his wife can spend.
*
A successful woman is one who can find such a man.
HAPPINESS:
*
To be happy with a man, you must understand him a lot and love him a little.
*
To be happy with a woman, you must love her a lot and not try to understand her at all.
LONGEVITY:
*
Married men live longer than single men do, but married men are a lot more willing to die.
PROPENSITY TO CHANGE:
*
A woman marries a man expecting he will change, but he doesn't.
*
A man marries a woman expecting that she won't change, and she does.
DISCUSSION TECHNIQUE:
*
A woman has the last word in any argument.
*
Anything a man says after that is the beginning of a new argument.
Hwakakakak.. ....Do you agree????
Madrid 2002 vs 2008
Dibedakan Peran Maestro
Sekeras apa kita menyangkal, sulit dimungkiri bahwa kesuksesan Real Madrid pada musim 2001/02 adalah berkat peran para maestro yang menghuni skuad El Real. Tanpa kontribusi mereka, mustahil gelar Liga Champion kesembilan itu hadir di Santiago Bernabeu.
Figur Figo dan Zidane, tak dimiliki Real Madrid generasi sekarang. (Foto: AFP)
Di kancah regional, aksi fenomenal generasi Luis Figo, Roberto Carlos, dan Zinedine Zidane inilah yang mampu mempersembahkan trofi prestisius terakhir bagi Los Merengues.
“Inilah yang akan Anda dapatkan dengan memiliki dua pemain terbaik dunia dalam skuad Anda.” Begitu komentar Klaus Toppmoeller, pelatih Bayer Leverkusen, dalam konferensi pers setelah kekalahan timnya 1-2 dari Madrid di final.
Yang dimaksud Toppi--begitu julukannya--adalah Figo, peraih predikat Pemain Terbaik Dunia 2000 versi FIFA, dan Zidane, yang penggondol gelar yang sama pada 1998 dan 2002 (Zidane kembali meraih gelar ini pada 2003, setelah final LC).
Figo dan Zizou menjadi inspirasi Madrid menuju partai puncak. Khusus bagi Zizou, laga final adalah one-man show sang legenda Les Bleus. Ayah tiga putra berdarah Aljazair ini mencetak gol kemenangan lewat eksekusi sepakan “ajaib”.
Zizou melakukan tendangan voli kaki kiri dalam kondisi kaki yang bisa dibilang tidak seimbang. Namun, bukan pemain terbaik jika tak mampu memunculkan daya magis. Di tengah ketidakseimbangan ini, Zidane mengukur sepakannya secara akurat sehingga mampu menembus gawang Hans-Joerg Butt.
Kita pantas bertanya-tanya mengapa dalam rentang enam musim kemudian, Madrid tak mampu menambah koleksi gelar Eropa. Faktor usia mungkin menjadi jawaban klise. Akan tetapi, dalih itu layak dibenarkan lantaran trio di atas ini memang sudah melewati masa peak mereka.
Saat melakoni final di Hampden Park, Mei 2002 itu, mereka sudah menginjak usia 30 tahun. Untuk ukuran pesepakbola profesional saat ini, usia kepala tiga terlalu tua guna mengarungi tiga kompetisi sengit sekaligus.
Sangat beralasan ketiganya mulai kurang berfungsi optimal pada tahun-tahun berikutnya. Akhirnya Figo memutuskan untuk meninggalkan Bernabeu pada 2005, lalu Zizou pada 2006, dan terakhir Carlos pada 2007, Madrid terbukti cuma mampu sampai di semifinal, perempatfinal, dan babak 16 besar (empat kali).
Masih terlalu dini untuk meraba kekuatan Madrid di musim 08/09 ini. Namun, dalam dua matchday yang telah dilalui, kita layak merasa pesimistis akan datangnya gelar kesepuluh. Selain permainan yang kurang meyakinkan, Madrid kini juga tak memiliki maestro sekelas Figo atau Zizou.
Padahal kualitas dan faktor X yang dibawa Figo dan Zidane ini mutlak dibutuhkan saat alur cerita di lapangan macet total. Kehadiran Wesley Sneijder dan Rafael van der Vaart mungkin bisa menambah cakrawala Madrid dalam berkreasi. Namun, apakah hal itu cukup saat berada dalam guyuran tekanan? Ini yang pantas ditunggu. (Sapto Haryo Rajasa)
No comments:
Post a Comment