Friday, May 2, 2008

Guru Gemar Membaca?



Oleh Nurpit Junus
Sebagai tenaga kependidikan, kita sangat berterima kasih terhadap pemerintah Provinsi Riau atas perhatiannya akan kesejahteraan dan peningkatan profesionalisme guru. Indikatornya dapat dilihat dari alokasi anggaran pendidikan pada RAPBD yang melebihi undang-undang, pembangunan gedung guru di Pekanbaru yang dapat dikatakan cukup mewah, dan gedung perpustakaan enam lantai yang dilengkapai dengan 40 ribu buku dari berbagai judul dan ilmu dengan anggaran sebesar Rp 7 miliar. Di samping itu, melalui pemerintah kabupaten dan kota, guru juga diberikan tambahan pendapatan dengan berbagai nama dan istilah, di antaranya uang insentif, uang transport, uang buku dan lain lain. Jangan heran, keberpihakan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota terhadap guru di provinsi ini telah menimbulkan kecemburuan sosial bagi dosen, yang nota bene juga adalah guru pada jenjang pendidikan tinggi.

Apakah dengan meningkatnya pendapatan, prasarana dan sarana yang diberikan kepada guru dapat meningkatkan motivasi dan profesionalisme guru? Jawabannya belum tentu. Hal itu sangat tergantung dari individu guru yang bersangkutan. Tapi harapan kita dengan meningkatnya kesejahteraan guru ini, guru akan termotivasi untuk meningkatkan profesionalisme, terus-menerus belajar yang dimulai dari gemarnya membaca buku.

Ketidakgemaran guru membaca telah lama menjadi perhatian pengamat dan pakar pendidikan. Darmaningtyas (2005) pernah berkomentar: ‘’Setuju kalau kesejahteraan guru ditingkatkan, tapi sebetulnya guru yang ada sekarang tidak layak digaji tinggi karena mereka tidak memiliki kompetensi, otoritas dan integritas tinggi sebagai guru.’’ Lebih lanjut dikatakannya bahwa guru umumnya tidak pintar, loyo, enggan membaca, tidak memiliki keingintahuan terhadap ilmu, dan kurang berhasrat untuk meningkatkan kualitas diri. Akibatnya, mereka tidak pernah merasa gelisah, meskipun mutu pendidikan nasional belakangan ini makin amburadul.

Pakar pendidikan yang lain, Mochtar Buchari sebagaimana dikutip Isjoni (Riau Pos, 27/01/2008) mengatakan bahwa banyak guru memiliki kewenangan formal sebagai guru profesional, akan tetapi mereka tidak memiliki kemampuan nyata untuk mendemonstrasikan profesionalismenya. Pokok permasalahan di sini adalah karena guru tidak gemar membaca. Ini bisa dilihat dari jarangnya guru berkunjung ke perpustakaan atau menganggarkan sebagian kecil gajinya untuk membeli buku. Kita akui banyak faktor yang menyebabkan guru tidak gemar membaca buku baik faktor internal maupun faktor eksternal guru yang bersangkutan. Faktor eksternal misalnya, harga buku di republik ini sangat mahal dan merupakan barang mewah sehingga dengan gaji guru sebelumnya (sekarang sudah agak lumayan) tidak mampu untuk membeli buku. Faktor internal adalah keterbatasan waktu luang guru. Mayoritas guru kita mempunyai tugas rangkap, di samping sebagai guru juga ada tugas lainnya. Pagi mengajar di sekolah, siang di swasta, malamnya memberikan les di tempat lain. Hal ini dilakukan guru untuk mencukupi keperluan hidupnya. Di samping itu, juga faktor malas. Guru juga manusia, sebagai manusia juga mempunyai sifat malas, yang dalam konteks ini malas membaca buku. Ketidakgemaran guru membaca buku jelas akan berdampak negatif terhadap apresiasi murid-muridnya terhadap buku dan prestasi murid-muridnya dalam membaca.

Coba kita lihat laporan Bank Dunia (1998) tentang hasil tes membaca murid kelas lV Sekolah Dasar di Indonesia yang berada pada peringkat terendah di Asia Timur. Rata-rata hasil tes membaca di beberapa negara menunjukkan sebagai berikut: Hongkong 75,5 persen, Singapura 74 persen, Thailand 65,1 persen, Filipina 52,6 persen, dan Indonesia 51,7 persen. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa para siswa di Indonesia hanya mampu memahami 30 persen dari materi bacaan,dan menghadapi kesulitan dalam menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.

Boleh jadi hasil tes membaca murid yang rendah di atas disebabkan kurangnya guru memotivasi murid untuk banyak membaca atau memberikan tugas-tugas yang mengharuskan si murid membaca buku. Bisa jadi juga, murid melihat sang guru sebagai teladannya juga tidak gemar membaca. Sangat sulitlah bagi guru untuk menyuruh murid-muridnya membaca buku bilamana guru tidak memberikan contoh yang baik. Tidakkah kita tahu bahwa guru menjadi role model, digugu dan ditiru bagi murid-muridnya.

Dengan kenaikan kesejahteraan guru dan tersedianya sarana dan prasarana untuk meningkatkan profesionalisme guru berupa adanya perpustakaan yang dilengkapi dengan buku-buku yang bervariasi dan juga fasilitas internet, maka akan memotivasi guru untuk gemar membaca. Murid-murid sekarang yang lebih kritis dan rasa ingin tahu yang lebih tinggi sering mengajukan pertanyaan di muka kelas dengan permasalahan masa kini yang hanya dapat dijawab oleh guru yang mempunyai wawasan luas dan sering membaca. Guru yang gemar membaca ini akan sangat mudah mengasosiasikan pelajaran yang diberikan kepada murid-muridnya dengan realitas sosial terkini. Mereka tidak semata-mata terkutat dengan silabus yang dari tahun ke tahun itu-itu juga.

Sudah seharusnya perhatian pemerintah yang begitu tinggi terhadap guru, direspons oleh guru dengan meningkatkan profesionalismenya, selalu belajar dan membaca untuk menambah wawasan dan memperluas pengetahuan. Hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan mental murid dan memberi contoh untuk banyak membaca. Apakah mimpi kita, akan tercipta generasi guru di Riau ini yang sejahtera, berdedikasi tinggi terhadap profesinya dan gemar membaca akan terwujud?***


Dr Nurpit Junus MM
Pengamat Pendidikan dan Dosen Politeknik Caltex Riau.

The passing of a dictator
Arief Budiman reflects on Suharto and his legacy.
Rahadian Permadi


Arief Budiman, the recently retired Professor of Indonesian Studies at the University of Melbourne, was a student activist in Indonesia in the 1960s and 1970s. Like many in the student movement at the time, he initially supported the New Order. Arief moved to Australia in 1997 after being blacklisted for his critical analysis of Indonesian politics in 1996.

Why did you decide to support Suharto?

It was 1963 I think when Bung Karno made a speech in which he officially banned the Cultural Manifesto [a declaration by a group of writers and intellectuals rejecting Sukarno’s leftist cultural policies]. He also condemned those who he felt were pro-West, like Sutan Takdir Alisyahbana. Up until then we didn’t have a problem with Bung Karno. He was a hero of Independence, a brave man, and someone who could articulate the aspirations of the nationalist struggle. But the banning of the Cultural Manifesto meant I wasn’t allowed to write. We opposed Bung Karno, and he became increasingly hard line. The good thing, though, was that he didn’t arrest us.

When Sukarno entered a period of crisis – economic, communist, and military – we sided with the military. When Pak Harto made moves to remove Sukarno, we supported him, thinking that he would restore democracy. We didn’t know who he was – he was a nobody really. Basically we didn’t care what hell we were getting into, we just wanted to get out of the hell we were in. We hoped Suharto would become democratic. But that didn’t happen.

At that time I told myself that my support for Suharto’s movement didn’t mean that I supported Suharto the man. Rather, I was supporting the principle of democracy, and Suharto was the person who could save us from Sukarno’s dictatorship. When Suharto turned into a dictator, I opposed him too.

So was it his dictatorship that made you disillusioned?

Yes, I demonstrated when the electoral laws were changed to allow only three parties. We advocated a boycott of the election. Later we also demonstrated against the banning of the PKI. If a member of the PKI broke the law, an individual should be charged. If Aidit orchestrated a coup, then arrest Aidit, but don’t restrict the party.

Do you regret that early support now? Do you think you were naïve?

No. I think there were strong reasons for supporting Suharto at that time. We were bringing down Sukarno’s dictatorship. It would have been different if Sukarno was a democratic leader. I saw myself as part of a moral force. We had to oppose what was wrong.

You have met Suharto. Can you describe the context of that meeting and your impressions?

I was demonstrating against corruption. I wasn’t accusing Suharto of anything, I was accusing his cronies. Then Suharto said to the media, ‘If the students have evidence that I am corrupt they should bring it to me.’ So we presented evidence of, amongst other things, contracts that Bu Tien [Suharto’s wife] had obtained from the Bureau of Logistics without going through a tender process.

Suharto was kind. He was an old gentleman, fatherly. We thought he was alright. He accepted us well, and was not confrontational. When Suharto was attacked, he did not bite back. He was a typical Javanese.

What were Suharto's strengths as a politician? How could he stay in power for so long?

He was not an articulate politician. He led from behind the scenes. Even though he was hard line, he was not confrontational. As I said, very Javanese. He would not show emotion, even though all his actions were based on emotion.

I think [he stayed in power so long] because he was able to control the military, and because of how he distributed government funds. Many military officials prospered under Suharto, many generals became heads of state companies, or advisors.

How do you relate this personality to his acts of repression?

Suharto was basically a military man, not a political manipulator. If someone criticised him, he would not express anger, but someone would be arrested. Suharto’s men would act on his behalf without direct instruction, but with his implicit agreement. If Suharto disagreed with their actions he would correct them.

It’s interesting to contrast Suharto’s style with Sukarno, who is also Javanese, but much more expressive…

Sukarno is like the Javanese working class. Before acting, he would explain why he was planning to do something. His intellectual bent also meant he based actions on reason. Agree or disagree, Sukarno’s deeds were based in his ideological convictions: Marxism, Marhaenism, Nasakom [Sukarno’s amalgam of Nationalism, Religion and Communism].

In contrast, Suharto could make big moves – like arresting someone – without feeling the need to justify it intellectually. For Suharto the important thing was that there was calm and order.

What were Suharto’s weaknesses?

He could not do democracy. He was not able to engage in intellectual dialogue or discussion. As a result his actions were seen as authoritarian. Suharto could present ideology, but his ideology was very simple and not well explained. The development trilogy, for example, was probably someone else’s idea.

Economic growth was his first priority, but this could not happen without political stability. And neither could be truly achieved without equality. Suharto achieved economic growth, but with the burden of large foreign debts. He also achieved political stability, not through a dynamic of multi-party engagement, but rather through repression. So he failed to achieve equality, the third element of his agenda.

His weakness was his family. Why was Suharto so weak with his own family, when he was so strict with everyone else? Suharto himself had been adopted by Sudwikatmono. He was treated well, but differently to the other children. The children all ate, but Suharto was the one to clean the dishes. Suharto saw how his step brothers and sisters were treated, and longed for his own family. So when Suharto became powerful, he put his family first, to the point of excessiveness. If his family were attacked, Suharto was enraged. Because of his childhood experience, he longed for a harmonious family life.

How did this family experience affect Indonesian politics?

Suharto saw Indonesia as a big family. In the Javanese concept of family, the father can do no wrong. A critic of his government, therefore, was like a child speaking disrespectfully to his or her father. Suharto was not familiar with the Western political belief that openness and discussion do not equate to hostility.

Do you think it would have been very different if one of the other generals – say, Ali Moertopo or Soemitro – had taken over?

Ali Moertopo was more refined. Sumitro would have been a greater contrast, because he loved to talk. There would have been more discussion under Sumitro. Indonesia might not have been democratic, but there would have been a greater exchange of ideas. It might have been better, although we can’t say how much.

Were you surprised with the way that Suharto fell from power? Do you think Suharto made poor judgements and if so, why?

I don’t think I was surprised. Particularly given the events of the final months. Suharto had already lost international support due to corruption, and [Speaker of the People’s Consultative Assembly and Golkar party head] Harmoko had withdrawn Golkar’s support. I also heard from Chinese businesspeople that they no longer supported Suharto either. When people walked away from Suharto, they walked away in great numbers.

Yeah, he did make poor judgements. Because he’d get angry when criticised, he wasn’t getting good feedback. Miscalculations happened because he didn’t have enough information, a direct consequence of his style of leadership.

What do you think Suharto's legacy is? What lasting effect has he had on the way that Indonesian politics works?

Indonesia has become used to corruption. This is a real negative. On the positive side, the Suharto era saw the formation of a strong state in which government programs could be carried out. Unfortunately since Suharto’s fall, there has not been a strong political leader. Habibie lacked legitimacy, Gus Dur was chaotic, Megawati was incompetent. The emergence of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perhaps signifies a compromise.

Have Suharto’s ‘cronies’ hindered reformasi, and the installation of democracy in Indonesia?

I don’t think so. With the rise of reformasi, there was a political move to exclude the military. Anything that smelled of the military was removed. The absence of the military put more responsibility in civilian hands. But the political parties were not ready. Their political growth had been inhibited during Suharto’s rule. Any good leader had been beaten down by Suharto. The removal of the military resulted in a leadership vacuum. The political parties who should have taken the lead lacked good candidates. These days there are efforts to improve this.

What is the most significant impact of his death on Indonesian politics?

There will be no immediate impact. De-Suhartoisation has already happened. Maybe the emotion surrounding his death will make people focus more on the positive aspects of his rule. Indonesians do not like to speak ill of the dead. ii

Rahadian Permadi (rahadianp@hotmail. com ) is a third year student of Arts at Latrobe University.

CR7 Still the Best

Produktif di lapangan dan pandai menjual diri memang menjadikan Cristiano Ronaldo sebagai megabintang yang sulit disamai pemain mana pun saat ini. Status CR7 sebagai pesohor kian sahih setelah pada Senin (28/4) pemain asal Funchal-Madeira itu dinobatkan sebagai pemain terbaik 2008 di Inggris.

Cristiano Ronaldo memang layak tetap terbaik.

Penghargaan versi asosiasi pemain sepakbola profesional (PFA) tersebut diraihnya untuk kedua kali berturutan. So, ia pun menjadi orang keempat setelah Mark Hughes, Alan Shearer, dan Thierry Henry sebagai sosok yang dua kali mendapat status terbaik di mata sesama pemain bayaran.

Hanya saja kesempurnaan Ronaldo kali ini sedikit cacat. Bila tahun silam ia meraih dwi-gelar sebagai pemain terbaik dan pemain muda terbaik, kini gelar young player of the year jatuh pada Francesc Fabregas.

Gelandang Arsenal ini juga mengungguli nomine sejumlah youngster terbaik lainnya karena dinilai lebih komplet secara teknis. Selain mencetak 13 gol di semua ajang pada musim yang tengah berjalan ini, Fabregas juga membukukan jumlah assist yang tinggi (18).

Meski terkenal sebagai produsen pemain muda, Arsenal ternyata sudah lama tidak memperoleh junior award tersebut. Nicolas Anelka adalah pemain Gunners peraih gelar pemain muda terbaik terakhir sebelumnya di 1999.

Well, berbeda dengan Fabregas, yang menghadiri acara penyerahan penghargaan tersebut di London, Ronaldo hanya bisa menyatakan apresiasinya lewat tayangan rekaman video.

Mepetnya jadwal laga perempatfinal kedua Manchester United pada Liga Champion di Old Trafford dengan seremoni tersebut memang membuat CR7 tidak bisa bertolak ke belahan selatan Inggris.

“Saya sangat gembira,” kata Ronaldo dalam tayangan video. “Amat menyenangkan tentunya bila kerja keras saya untuk klub ternyata juga dihargai sesama pemain di Inggris. Ini adalah sebuah penghargaan yang membuat saya merasa terhormat.”

Dipilih Musim Semi

Sementara itu, Fabregas melihat penghargaan untuk dirinya dari sisi lain. “Sepakbola adalah permainan kolektif dan saya lebih suka memenangi trofi dengan teman-teman seklub saya. Tapi, harus diakui, memperoleh penghargaan yang sifatnya individual seperti ini tetaplah membesarkan hati,” katanya pada Daily Telegraph.

Penghargaan PFA Players’ Player of the Year diadakan sejak musim 1973/74. Pada setiap awal musim semi, di awal Maret, setiap anggota PFA memilih dua sosok yang dianggapnya terbaik tahun itu. Para pemain yang mendapatkan jumlah suara yang banyak diumumkan sebagai nomine di setiap bulan April.

Selain versi PFA penghargaan sejenis juga diadakan oleh Football Writers’ Association dan pihak sponsor Premier League. Tidak jarang pemain yang terpilih oleh sebuah asosiasi juga dinobatkan sebagai yang terbaik oleh lembaga lain.

Pastinya, kini CR7 memang still the best di mata rekan sejawat yang menjadi kawan atau lawan pada setiap pekan. (Darojatun)


Persulit Jalan United

Setelah berhasil menahan imbang Chelsea 1-1 di pekan ke-34, tampaknya Wigan akan kembali memainkan peran kunci untuk menentukan juara Premier League 2007/08. Ya, setelah The Latics berhasil meraih satu poin atas Reading (0-0) pekan lalu, posisi mereka praktis aman dari ancaman degradasi bila pekan ini kembali meraih angka tambahan.

Sayang, sebelum menjamu Manchester United di final day mereka harus bertandang ke Villa Park. Bila kalah dari Aston Villa pekan ini, pasukan Steve Bruce tentu harus mencuri poin atas Red Devils agar bisa bertahan di Premier League.

Kondisi ini jelas akan mempersulit jalan United sebagai league leader. Dibanding sepekan silam, kini hanya Sunderland yang keluar dari daftar tujuh tim yang masih terancam turun divisi. Nilai 39 The Black Cats memang tidak bakal lagi terkejar Birmingham, yang berada di urutan ke-18. (toen)


Parma Menuju Neraka

Ancaman degradasi sudah semakin nyata buat Parma. Klub yang dulu pernah dianggap sebagai salah satu dari tujuh tim terkuat di Serie A (Il Sette Magnifico) itu sudah begitu dekat dengan "neraka".

Saat ini Parma berada di peringkat ke-19. Mereka mengoleksi 31 poin, defisit dua angka dari zona aman. Untuk bisa lolos dari degradasi, I Ducali harus memenangi semua partai sisanya.

Yang jadi masalah performa Parma saat ini sedang buruk. I Ducali selalu kalah dalam tiga pertandingan terakhir. Penampilan dua tim yang berada di peringkat ke-17 dan 18, Empoli dan Reggina, masih lebih baik dari mereka.

Performa memprihatinkan ini jelas bukan modal bagus bagi Parma untuk menghadapi tiga partai terakhirnya. Semua calon lawan Gialloblu adalah tim penghuni papan atas: Genoa (4/5), Fiorentina (10/5), dan Inter (18/5).

Wajar kegelisahan publik Ennio Tardini sekarang mulai berubah menjadi kepanikan. Parma tampaknya memerlukan mukjizat untuk menghindari hisapan "pintu neraka".

Kemarahan Presiden

Yang menganalogikan Serie B dengan neraka adalah Presiden Parma sendiri, Tommaso Ghirardi. Si bos sangat marah melihat prestasi I Crociati dalam tiga partai terakhir.

"Cukup sudah. Kami sudah mencapai titik tertinggi dalam hal mempermalukan diri sendiri, tifosi, dan kota ini," kata Ghirardi kepada situs Football Italia.

"Saya tidak tahu apa penyebab krisis ini. Saya pikir saya sudah mengerjakan tugas. Saya memberikan Parma skuad yang bagus. Saya tidak tahu lagi apa yang kurang," tambah pria yang juga memiliki klub Serie C2, Carpenedolo, ini.

Kata-kata terakhir Ghirardi yang paling keras. "Jika pemain merasa dirinya laki-laki, mereka bisa menyelamatkan Parma dari degradasi. Jika tidak, mereka akan ikut menderita di neraka Serie B bersama saya".

Titik Terendah

Turun ke Serie B memang pantas disebut sebagai neraka buat Parma. Masalahnya sejak debutnya di Serie A pada 1990, I Crociati langsung muncul sebagai salah satu kekuatan utama di Serie A.

Mereka berprestasi bagus di Serie A dan Eropa. Parma menjuarai Piala UEFA (1995, 1999), Piala Super Eropa (1993), Piala Winner (1993), Coppa Italia (1992, 1999, 2002), dan Piala Super Italia (1999). I Ducali juga menelurkan bintang-bintang Serie A macam Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, dan Gianfranco Zola.

Degradasi ke Serie B akan menjadi titik terendah Parma, yang sejak 2003 berusaha keras bertahan di Serie A pascakebangkrutan perusahaan induknya, Parmalat.

Sementara itu, Ghirardi memastikan bahwa pelatih Hector Cuper akan tetap bertahan di Parma apa pun pencapaian I Ducali di akhir musim nanti.

"Dia akan tetap bersama kami. Dia satu-satunya yang terus menjaga antusiasme untuk membuat Parma kembali besar. Semua pemain harus mencontohnya," kata Ghirardi. (Dwi Widijatmiko)

Duet Terbaik Juve

Saat keduanya mencetak gol ke gawang Lazio pada giornata 35, Minggu (27/4), Alessandro Del Piero dan David Trezeguet semakin mengonfirmasi mereka adalah duet striker terbaik yang pernah dimiliki Juventus.

Sembilan belas gol dari Trezeguet dan 18 dari Del Piero membuat I Bianconeri sekarang menjadi tim paling tajam di Serie A. Koleksi gol La Vecchia Signora bahkan lebih banyak dibandingkan sang calon juara musim ini, Inter.

Secara individu, Trezegol dan Alex juga bisa menorehkan catatan hebat lain. Trezeguet sudah berada di puncak daftar marcatori bersama Marco Borriello (Genoa) dan Del Piero berada persis di bawahnya.

Apabila posisi ini tidak berubah hingga akhir musim, Trezegol dan Alex akan menjadi satu-satunya duet pemain Juventus yang bisa berdiri beriringan dalam daftar pencetak gol terbanyak. Belum pernah ada pasangan pemain I Bianconeri yang berhasil menorehkan prestasi ini.

Yang lebih hebat lagi, sejak Serie A bergulir musim 1929/30, hanya ada empat pasangan yang mampu melakukan hal tersebut. Duet yang terakhir melakukannya adalah Diego Maradona dan Antonio Careca. Pasangan pemain Napoli ini masing-masing mencetak 15 dan 13 gol untuk mendominasi daftar marcatori musim 1987/88.

Apabila dijumlahkan, koleksi gol Trezeguet dan Del Piero musim ini sudah 37. Angka ini bisa bertambah karena Serie A 2007/08 masih menyisakan tiga partai.

Trezeguet dan Del Piero rasanya sudah tidak mungkin menyaingi Istvan Nyers-Amadeo Amadei sebagai duet pendominasi marcatori dengan jumlah gol terbanyak. Namun, Trezegol-Alex masih bisa menjadi tandem striker nomor dua terbaik sepanjang sejarah Serie A. (wid)

No comments: