Stress Management"

Dua minggu lalu saya menerima e-mail dari sebuah bank besar di negeri
ini. E-mail itu berisi permohonan agar saya bisa menjadi salah satu
pembicara dengan tajuk seperti judul di atas. Dalam surat permohonan
itu dituliskan bahwa seminar ini ditujukan bagi para petinggi dengan
level paling rendah kepala cabang.
Saya membalas e-mail itu karena kaget, apakah salah alamat atau memang
mereka merasa saya bisa membantu. Dalam dua puluh empat jam saya tak
mendapat jawaban atas kesediaan saya menerima tawaran itu. Maka saya
menelepon si pengirim e-mail. Ketika saya telepon, seseorang menjawab
dengan gelagapan karena tak tahu permasalahannya dan dengan cepat ia
berkata, "Karena kami belum menerima balasan dari Bapak, kami batalkan."
Padahal, kalau ia tak menerima e-mail saya, apa pun alasannya, itu
dapat diketahui dari inbox dalam e-mail. Jadi saya tahu persis, wanita
itu memang salah alamat mengajukan permohonan agar saya menjadi
pembicara. Yang saya bingung, kok bisa ia langsung berbohong di tengah
teknologi canggih seperti masa sekarang ini. Saya tertawa geli setelah
menutup telepon.
Bola tenis
Wanita ini dan para petingginya memang benar membutuhkan pertolongan.
Bayangkan, bawahannya saja bingung, bagaimana petingginya. Mungkin
saking stresnya, ia pun mengajukan permohonan kepada orang yang salah.
Padahal, saya sudah sempat bahagia dan bersedia menjadi salah satu
pembicara.
Saya memang tak mendapatkan proyek cuap-cuap itu, tetapi saya malah
mendapat inspirasi dari permohonan yang salah alamat. Maka saya
memberi judul persis seperti seminar untuk para petinggi yang mungkin
sedang mengalami stres atau mungkin kaget kalau jadi petinggi ternyata
berteman dengan stres. Dan lucunya, seminar itu bertema stress
management. Saya kemudian berpikir dengan IQ saya yang jongkok ini,
kok stres dikelola?
Mungkin karena para petinggi dan seluruh bawahan di bank itu terbiasa
mengelola uang orang lain, maka stres pun sampai turut dikelola.
Tetapi kejadian itu benar-benar mengingatkan masa-masa saya menjadi
pe-manage terbaik untuk stres-stres yang hampir sebagian besar saya
ciptakan sendiri. Seharusnya, sejak dahulu saya tidak mengelola,
tetapi membuang stres saya jauh-jauh. "Emang bisa?" kata teman saya.
"Bukan elo pernah membuang jauh-jauh, terus elo ambil lagi?"
celetuknya lagi.
"Yaa… benar," kata teman saya itu, saya ini senangnya bermain dengan
stres. Kadang dibuang, kadang diambil lagi. Hari ini berkata, "Aku
enggak mau stres lagi." Tetapi baru dua hari kemudian atau bahkan lima
belas menit kemudian anak buah saya melaporkan bahwa sponsor acara
dibatalkan, saya stres dan teriak lagi. Jadi saya seperti sedang
bermain bola tenis sendirian dan melemparkan bola ke tembok. Bolanya
selalu mendatangi saya lagi, dan lagi, dan lagi....
Apalagi saya ini orangnya bukan orang yang kuat baik secara fisik dan
mental. Beda sekali dengan teman-teman saya, dalam meniti karier dan
membesarkan usaha, mereka begitu gigih, tak kenal panas dan hujan,
pantang mundur maju terus. Kerja kalau bisa sampai malam, bahkan
mungkin tak perlu tidur. Mereka bisa melihat stres sebagai peluang.
Kalau saya, mending pulang ke rumah.
"Say no to stress"
Saya ingin mencoba seperti mereka, sejujurnya saya ingin memiliki
ketegaran hati seperti mereka. Dan kesempatan itu datang juga pada
akhirnya. Setelah ayah saya meninggal, urusan kantor dan usahanya
sekarang menjadi tanggung jawab saya. Pusingnya setengah mati. Pergi
ke notaris, mengurus surat-surat di bank, ke yayasan ini dan ke
yayasan itu. Belum menghadiri RUPS. Belajar mulai dari nol soal ini
dan itu. Semuanya di luar urusan saya pribadi dan pekerjaan saya sendiri.
Saya sempat marah kepada ayah saya. Mbok kalau game over itu semuanya
diberesin dulu. Kok jadi saya yang mesti menerima kerepotan itu. Teman
saya bilang. "Eling Mas, eling. Wong mau mati ya ndak bisa ngomong
besok saya mati, surat ini kamu kirim ke notaris ya…." Maka, mau tak
mau saya harus melewati masa stres itu.
Dan ketika saya menceritakan hal ini kepada teman-teman saya yang
mampu melihat stres itu sebagai peluang, mereka cuma tertawa dan
memarahi saya. "Eh… elo itu mestinya bersyukur. Dari enggak tahu
apa-apa, sekarang elo bisa ngitung kredit, sekarang elo bisa menambah
wawasan elo di dunia perbankan, gak mulu fashion show aja. Dulu gak
tahu singkatan RUPS, sekarang elo tahu. Jadi, babe elo itu justru
ninggalin masalah supaya elo lebih maju dan lebih pinter, geblek."
Saya sampai dipanggil geblek. Saya terima saja karena saya memang
geblek untuk tak bisa melihat di tengah situasi segelap apa pun, saya
bisa menarik pelajaran yang terang. Kalaupun hanya ada titik kecil
yang terang di tengah kegelapan itu, seharusnya saya meloncat ke titik
itu, dan tak tinggal di kegelapan dengan mengomel tak berhenti. Kalau
saya bisa berdiri teguh di titik terang yang cuma kecil itu, saya
yakin, terang itu akan makin bercahaya di kegelapan.
Teman-teman saya yang pria, wanita, dan berstatus di antaranya telah
membuktikan itu. Sekarang giliran saya. Saya mungkin tak perlu harus
ikut seminar mengelola stres. Sebuah seminar yang keliru besar. Sekali
lagi, stres kok dikelola. Stres itu harus tidak diciptakan. Salah satu
caranya, melatih kemampuan saya untuk melihat bahwa stres itu tak ada,
semua yang terjadi adalah sebuah peluang. Nah, apakah peluang itu akan
dijadikan sebuah stres atau sebuah pecut untuk menjadi maju, yaa…
memang semuanya ada di tangan saya.
SAMUEL MULIA Penulis Mode dan Gaya Hidup
Menjerat Nona Manado
Berkulit kuning, tubuh ramping, dan berparas ayu, Angel Ombeng (18)
duduk terpaku di sebuah kursi di Pengadilan Negeri Manado, dua pekan lalu.
Wajah Angel yang mirip artis sinetron menjadi perhatian pengunjung.
Seorang lelaki yang mengaku mantan germo, saat melihat kecantikan
Angel bergumam, "Di Papua harganya bisa laku Rp 10 juta. Ini daun muda."
Angel, gadis asal Modoinding, Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut), itu
adalah satu dari empat gadis korban perdagangan manusia yang hari itu
menjadi saksi pemeriksaan kasus perdagangan orang (trafficking) di
Pengadilan Negeri Manado. Angel tak tahu apa itu trafficking, tetapi
ia baru sadar dirinya akan dijual setelah polisi menangkap para germo,
Agustus lalu.
"Om dan tante itu menawarkan pekerjaan kepada saya asal saya pergi ke
Papua," kata Angel menunjuk para terdakwa yang duduk di kursi sebelah.
Angel mengaku akan dipekerjakan di rumah makan, sedangkan sebagai
panjar uang Rp 500.000 telah diberikan kepada kakeknya.
Dalam persidangan itu, jaksa Yenny Debituru menyeret tiga germo
sekaligus. Sayangnya, status tahanan mereka berubah menjadi tahanan
kota ketika kasusnya ditangani pengadilan.
Di Sulut, perdagangan orang telah menjadi persoalan sosial serius.
"Kalau boleh saya bilang, trafficking seperti fenomena gunung es.
Semakin kami ungkap, ternyata semakin banyak kasus perdagangan
perempuan," kata Ny Greety Sumayku, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan
Pemerintah Provinsi Sulut.
Perdagangan orang yang menjerat nona-nona Manado sudah lama dikeluhkan
masyarakat. Banyak orangtua kehilangan anak gadisnya setelah terkena
bujuk rayu para germo. Di Papua mereka dijual di pub dan tempat karaoke.
Para germo turun ke desa-desa mencari mangsa, ada juga yang menjerat
korban di rumah sakit. Modus operandi germo berjenjang, dari desa
sampai para korban dibawa ke Manado untuk siap "dikapalkan" . Di rumah
sakit mereka membujuk gadis-gadis dengan iming-iming menanggung biaya
pengobatan orangtuanya, asal mau berangkat. Dengan iming-iming
pekerjaan dan janji gaji di atas Rp 1 juta, para nona itu diboyong ke
sejumlah kota di Papua. Mereka juga merangsek ke sejumlah daerah di
Kalimantan dan Maluku.
"Jika suatu waktu Anda bepergian ke kota-kota itu, pasti (di pub) ada
nona Manado. Di Sorong ada kafe bernama Mances, singkatan dari Manado
Cewek Seksi. Kurang ajar! Sebagian dari mereka korban trafficking,
tetapi apa daya sudah telanjur," geram Greety.
Signifikan
Greety tidak menampik jika di daerahnya kejadian perdagangan orang
cukup banyak dibandingkan daerah lain di Tanah Air. Di kalangan germo,
cewek Manado menjadi rebutan. Sulut menjadi daerah pemasok nomor satu
di Indonesia.
Pdt Ny Fike Kaunang dari Pusat Informasi dan Perlindungan Perempuan
dan Anak (PIPPA) Sulut mengatakan, ada asumsi di antara para germo
bahwa nona Manado memiliki "kecakapan khusus" selain berkulit kuning
dan berparas cantik. Asumsi pandai bergaul dan tidak sulit beradaptasi
dengan lingkungan baru membuat para germo berusaha mencari korban baru.
Fike yang telah tiga kali turun langsung ke Papua untuk menangani
korban perdagangan orang menuturkan, para korban yang telah terjerat
sulit keluar dari pekerjaan mereka. Biasanya pemilik pub atau kafe
meminta ganti rugi Rp 3 juta-Rp 5 juta. "Dari mana mereka dapat uang?
Akhirnya mereka pasrah dan menjual diri," katanya.
Secara materi keuntungan pemilik pub berlipat, sebab para korban
selain dipekerjakan sebagai pramuria juga dijual ke pengunjung dengan
harga Rp 1 juta-Rp 5 juta.
Inilah yang membuat hati Fike dan kalangan pembela perempuan di Sulut
miris. Begitu mudahnya orang menjual orang. Ketika bekerja di pub,
korban mendapat gaji dari banyaknya bir yang terjual, biasanya Rp
3.000 untuk setiap botol bir yang terjual.
Polisi lebih aktif
Dari catatan PIPPA, tahun 2006 hingga 2007 sudah sekitar 39 orang
korban melapor kepada mereka. Sementara itu, Lily Sitti Djenaan dari
LSM Swara Parampuan Manado, mencatat angka lebih banyak, sekitar 40
kasus. Mereka meminta polisi lebih aktif turun menangkap pelaku
perdagangan orang, mengingat banyaknya korban. "Ini yang melapor, saya
yakin lebih banyak lagi yang ditangani diam-diam," tambah Lily.
Kepolisian Daerah (Polda) Sulut selama dua tahun terakhir hanya
menangani 16 kasus. Kepala Bidang Humas Polda Sulut Ajun Komisaris
Besar Benny Bella menampik anggapan mereka kurang serius menangani
kasus perdagangan orang.
Upaya meredam kasus perdagangan orang dengan slogan "Stop Trafiking"
cukup getol dilakukan kalangan pembela HAM dan perempuan di Sulut.
Setidaknya ada lebih dari 10 LSM perempuan yang bergerak mencegah
kejahatan tersebut. PIPPA, misalnya, membuka saluran telepon
0431-847040 untuk korban perdagangan orang.
"Kami terjun sampai ke desa-desa, melakukan sosialisasi apa itu
trafficking, " tambah Lily.
Usaha yang dirintis sejak dekade 1990-an itu hasil konkretnya terlihat
tahun 2004 dengan terbitnya Perda Anti-Trafiking yang disahkan DPRD
Provinsi Sulut. Namun, perda saja tidak cukup. Penerapan perda
dianggap mubazir karena tidak memuat sanksi kurungan.
"Dalam menyidik kami tak gunakan Perda Anti-Traficking lagi, tetapi
KUHP dan KUHAP," kata Ajun Komisaris Desi Hamang di Polda Sulut.
Menurut Lily, aplikasi Perda Anti-Traficking tidak membuat pelaku
jera, sebab biasanya hanya dikenai sanksi administrasi terhadap
pejabat di tingkat kelurahan dan kecamatan.
Desi menambahkan, sejak tahun 2007 para penyidik kasus perdagangan
orang menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman
minimal tiga tahun penjara. "Mudah-mudahan pelaku bisa jera. Meski
begitu, upaya stop trafficking harus dari semua pihak," katanya.
Banyak penyebab perdagangan orang, salah satunya kemiskinan. "Orang
miskin mestinya diangkat dari kemiskinan, bukan dijual. Ini tugas kita
bersama. Pemerintah dan kepolisian harus lebih aktif," ujar Fike.
__.
Kalo lihat di majalah Globe Asia edisi khusus Agustus 2007.Pengusaha ( Konglomerat ) paling kaya diIndonesia punya harta U$ 4.2 Billion dan Pejabat Publik Paling Kaya punya harta U$ 16.638.186 jadi negri ini memang banyak hutang dan 10 % dari masyarakat mengusai 90 % uang dinegri ini sebaliknya yang90 % cuma dapat10!% dari uang jadi wajarlah kalo negara ini akan terus miskin dan banyak hutang karena rakusnya kelompok yang 1 % sebagai pengausa negri ini .Kalo lah akan berubah hutang harus dilunasi dan Pejabat Publik harus bebas KKN serta Pengusaha taat Pajakdan Pemimpin negri ini harus Progessive dan Pragmatis
You are, at this moment, standing, right in the middle of your own 'acres of diamonds.'"
Earl Nightingale
1921-1989, Syndicated Radio Announcer and Author
No comments:
Post a Comment