Tuesday, June 5, 2007

Berinvestasi di Pasar Modal


Pertanyaan:
Pak Eko, bagaimana cara berinvestasi di pasar modal? Berapa dana yang harus saya siapkan untuk proses administrasinya dan minimal dana yang harus saya siapkan untuk investasi? (Vera, Jakarta—021-9911xxxx)

Jawaban:
Hai Vera, sedang berencana berinvestasi di saham? Wah bagus itu. Tapi saya selalu mengingatkan kepada teman-teman pembaca Bahana bahwa investasi tidak pernah terlepas dari yang namanya risiko. Artinya, kalau kita mengharapkan dan meminta hasil yang tinggi, maka kita juga harus siap dengan risiko yang tinggi pula. Kebetulan investasi di saham adalah investasi dengan risiko yang tinggi. Artinya, Vera harus siap dengan risiko yang tinggi pula.

Besarnya dana yang dibutuhkan untuk investasi di pasar modal sangat tergantung banyak hal. Namun secara umum, untuk membeli saham, Vera harus membelinya dalam satuan lot. Satu lot berjumlah 500 lembar saham. Jadi, besar dana yang dibutuhkan tergantung berapa banyak lot yang dibeli Vera dan berapa besar harga saham tersebut. Sebagai contoh, harga saham sebesar Rp500,- Kalau Anda membeli 10 lot berarti dana yang dibutuhkan adalah Rp500 (harga saham) x 500 (satuan lot) x 10 (jumlah lot). Ini berarti Vera membutuhkan dana sekitar Rp2.500.000,- mudah kan hitungannya?Tetapi, di pasar modal, Vera tidak bisa langsung membeli saham di Bursa Efek sebagai tempat jual beli saham.

Vera harus melalui perantara yang di-namakan perusahaan sekuritas. Nah, di sini yang berbeda-beda. Beberapa perusahaan sekuritas menerapkan peraturan yang berbeda-beda berkenaan dengan besar dana yang harus disiapkan untuk bertransaksi. Sebagai contoh, ada salah satu perusahaan menerapkan besarnya dana yang harus disediakan oleh nasabahnya Rp25 juta. Ini bukan sebagai saldo atau investasi minimum, tetapi besarnya dana minimal yang harus disiapkan untuk bertransaksi. Artinya, kalau kita setor Rp25 juta, angka itulah yang kita gunakan untuk memulai transaksi, jadi bukan saldo minimal seperti perbankan. Semoga gambaran awal ini bisa sedikit memberikan gambaran tentang investasi di pasar modal.

Eko Endarto, RFA
Konsultan Perencana Keuangan, Biro Perencanaan Keuangan Safir Senduk dan Rekan.
www.perencanakeuangan.com



Membedakan Kebutuhan dan Keinginan

Oleh: Eko Endarto, RFA (Konsultan Perencana Keuangan, Biro Perencanaan Keuangan Safir Senduk dan Rekan. www.perencanakeuangan.com)

Pertanyaan:
Halo Bung Eko,Senang bisa menulis surat ini ke redaksi. Saya merasa rubrik ini memiliki cukup banyak manfaat untuk mengelola keuangan secara kristiani. Saya ingin bertanya, bagaimana supaya bisa mengatur pengeluaran? Saya sudah berusaha, tapi masih saja “jebol” di pengeluaran. Apa yang salah dengan cara saya? MariaYogyakarta.

Jawaban:
Halo juga Maria,Bagaimana kabar Jogja nih? Sudah lebih baik, kan? Saya sangat senang menerima surat Anda. Dan, lebih senang lagi bahwa rubrik ini bisa banyak membantu pembaca Bahana.Masalah keuangan memang cukup pelik. Bayangkan, sudah berusaha maksimal masih saja kurang. Bahkan dengan bertambahnya penghasilan pun tidak membantu. Tetap saja pengeluaran selalu lebih tinggi daripada penerimaan.

Untuk mengatur pengeluaran, saya selalu sarankan agar setiap kita bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah sesuatu yang harus kita penuhi sementara keinginan adalah sesuatu yang masih bisa kita tunda. Sebagai contoh, makan adalah kebutuhan. Tetapi kalau makan di salah satu restoran besar di Jogja, saya yakin Anda juga tahu bahwa itu adalah suatu keinginan. Demikian pula dengan pakaian. Baju adalah kebutuhan. Tapi kalau baju dari butik di Jogja, itu pasti keinginan. Nah, bagaimana? Sudah bisa membedakan?

Biasanya kita sulit membedakan antara butuh dan ingin karena memang batasnya tipis sekali. Apalagi bila dikaitkan dengan emosi, gengsi, dan egoisme. Bayangkan, Anda hanya butuh baju, tetapi lingkungan sekitar menganggap baju tanpa merek itu bukan baju. Atau, Anda memang butuh acara makan-makan untuk merayakan ulang tahun. Tapi tanpa makan-makan di hotel bintang lima, ulang tahun jadi tidak sah. Padahal kalau kita mau jujur, Allah juga mengajari kita untuk menggunakan uang dengan benar. Semoga bahasan ini cukup membantu Anda menentukan dan mengatur pengeluaran.


Mari Ngobrol dengan Anak!


Bagaimana dan kapan kita menanamkan nilai-nilai yang baik dalam diri anak-anak kita? Di zaman yang sibuk dan penuh persaingan ini, rasanya tidak banyak lagi waktu yang tersisa untuk mereka. Maka, sebagai orang-tua kita harus pandai-pandai mengisi waktu untuk ngobrol dengan anak. Bagaimana dengan mengisi waktu dalam perjalanan ke sekolah?

Suatu pagi saya mengantar Moze (9 tahun) ke sekolah. Tapedi mobil memutar CD Koes Plus versi Erwin Gutawa. Moze senang beberapa lagu yang ada di situ. Dia pindah ke bangku depan, mengeraskan volume tape dan menggoyangkan badan sambil menepuk-nepuk pintu mobil seirama dengan lagu-lagu yang diputar.

Dekat Supermal Karawaci, lagu berganti irama rock:

Kujemu dengan hidupku
Yang penuh lika-liku
Bekerja di malam hari,
Tidur di siang hari
Kurasa berat, kurasa berat,
be-ban hidupku uuuu... yeah!
Ku tak tahu, ku tak tahu, ku tak tahu..... yeah. Kujemu!
Kerja keras bagai kuda,
Dicambuk dan didera
Semua tak kurasakan
Untuk mencari uang ....

Tiba-tiba Moze tertawa terbahak-bahak. ”Tentu saja jemu,” katanya pada saya, ”habis, tidur di siang hari, kerja di malam hari. Bagaimana itu!”
Saya ikutan tertawa. ”Itu namanya kalong, Je. Bayangkan saja. Orang enak-enakan tidur, dia kerja keras, seperti kuda lagi. Itu berarti kerjanya sampai keringat bercucuran.”
Kami menghabiskan tiga kilo-meter ke depan sambil mendiskusikan topik ini. ”Ada lho, orang-orang yang harus bekerja keras untuk dapat uang,” kata saya, ”kadang-kadang tidak ada pilihan kerja. Soalnya cari kerja sangat sulit sekarang.”

”Kalau begitu, pantas dia jemu, ya Ma.”
”Mungkin lebih tepat: lelah,” jawab saya. ”Jemu itu artinya negatif. Sama dengan bosan. Seharusnya, kalau kita bosan, kita bisa cari cara lain yang kreatif untuk menghilangkan bosan, tanpa harus berhenti atau mencari pekerjaan lain.”

Kami berhenti bicara karena sudah dekat sekolah. Moze siap-siap turun dari mobil. Saya berpikir-pikir, kalimat apa yang baik saya ucapkan untuk memberi Moze semangat belajar hari ini. Maka saya berkata, “Apa yang kita lakukan kalau bosan, Je?”

“Kreatif,” jawabnya, sambil menjinjing tasnya yang berat di punggung, botol minuman bergantung di leher, lunch box di tangan kiri, Moze melambaikan tangannya, ”Dah, Mama!” kemudian dia membanting pintu mobil.

Dalam perjalanan pulang saya berpikir, dengan makin terbatasnya waktu bersama anak-anak, saya harus mencari peluang untuk menanamkan nilai-nilai dan tata cara hidup kepada anak-anak saya. Sebenarnya banyak cara untuk itu. Ada hal-hal yang bisa kita diskusikan, yang akan menolong mereka berpikir. Tentang hal kreatif kami sudah bicarakan beberapa kali di rumah. Saya berharap dia berhasil menerapkannya di sekolah.

Saya teringat pada keluhan seorang ibu beberapa minggu lalu. Tiap hari dia mengantar dan menjemput tiga anaknya ke sekolah (2 anak di SMP dan seorang di SMU). Tapi suasana di mobil sepi, anak-anak asyik SMS dan mamanya merenungi macetnya jalan yang harus dilewati. ”Bagaimana saya bisa menerobos lingkaran setan ini?” tanya ibu itu pada saya. Dia ingin sekali menggunakan waktu di jalan untuk sekadar ngobrol dengan anak-anaknya. Tetapi anak-anaknya sudah tidak mau berbicara sama mamanya, sedangkan suaminya seorang pelaut yang pulang selama dua minggu dua kali setahun.

DEKAT DENGAN ANAK

Beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah kegiatan Parents Seminar. Pembicara menyampaikan hasil penelitian Columbia University mengenai dampak kehadiran ayah: 32% dari anak-anak yang bermasalah dibesarkan oleh single mom, namun 68% anak-anak yang bermasalah dibesarkan oleh orangtua yang utuh tapi tidak merasakan kehadiran ayahnya.

Selain itu, saya mencatat beberapa data:

Usia anak 0-5 tahun adalah kesempatan kita menanamkan disiplin. 85% dari hal-hal yang diperlukan oleh seorang anak untuk bertumbuh, ada pada usia ini. Siapa yang menanamkan disiplin pada anak kecuali orangtuanya?



Usia 6-13 tahun adalah kesempatan kita memberikan training pada anak. Di usia ini orangtua perlu sekali mendampingi anak-anak dalam banyak hal. Orangtua ”ikut bermain”, mengajari, memberitahu. Ini juga usia anak menyerap keteladanan orangtuanya. Teladan seperti apa yang kita tanamkan dalam diri anak-anak kita?

Usia anak 14-19 memberikan kita kesempatan menjadi coach. Ar-tinya, anak-anak pemain, kita pelatih, berdiri di tepi lapangan. Jika kita sudah memberikan disiplin dan training pada anak sesuai usianya, kita tidak perlu terlalu menguatirkan dia di usia teenager. Kalau ada masalah perlu juga time-out dan pengarahan. Tetapi sudah bukan waktunya ”ikut bermain”.

Terakhir usia 20 tahun sampai menikah, kita membangun hubungan persahabatan dengan anak. Kedekatan kita dengan anak-anak akan menolong kita peka ter-hadap hal-hal yang mungkin ”tidak biasa” serta membutuhkan perbaikan dan relasi yang baru. Saya menyadari, kami bukan orangtua yang sempurna buat anak-anak kami. Tetapi kami berusaha untuk itu. Sesekali bisa jadi kita gagal. Kedekatan itu membuat ”alarm” kita langsung kedap-kedip kalau ada yang tidak beres, sehingga kita bisa mencaritahu akar masalah, kemudian memperbaikinya. Pada dasarnya, itulah skill parenting: mencoba, salah, memperbaiki; mencoba lagi, salah, perbaiki .... begitu terus-menerus. Kita belajar dari prosesnya. Waktu-waktu bersama anak-anak kita, tidak akan kembali lagi. Jadi, semasih ada waktu, mari kita menjadi orangtua yang bijaksana bagi anak-anak kita.

Julianto dan Roswitha mendirikan Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3), lembaga konseling Kristen yang juga menyelenggarakan kursus-kursus konseling dan parenting serta rumah konseling ”Share”. LK3 juga ada di Denpasar dan Makassar. Orang bijak peduli konseling!

No comments: