Wednesday, June 13, 2007

Claudio Ranieri


Membenci Mediokritas

Banyak orang percaya bahwa uang adalah sumber dari segala kejahatan. Lain lagi dengan keyakinan Claudio Ranieri. Pelatih berkarakter kalem ini menganggap kekurangan uanglah sumber dari kesulitan dan akar perbuatan jahat.

Claudio Ranieri, matang dalam dua tahun pengasingan.

So, entah apa yang ada di kepala eks bek tengah yang tangguh ini kala menerima tawaran melatih Juventus. Menangani I Bianconeri bukanlah langkah yang bijak jika dilihat dari kamus finansial Claudio.

Didier Deschamps, yang digantikannya di Delle Alpi pekan lalu, hengkang lantaran La Vecchia Signora pelit merogoh kantong demi menggaet pemain baru menuju Serie A 2007/08. Bisa apa Ranieri dalam kondisi miris ini mengingat dirinya saja pernah gagal membawa Chelsea, yang berlimpah fulus, ke puncak prestasi?

Pertanyaan di atas seharusnya ditujukan pada Managing Director Claude Blanc, yang disebut-sebut Channel Four mengotaki kedatangan Ranieri ke kota Torino. Logika Blanc sederhana saja. Bila dengan sumber daya terbatas di Parma sang pelatih bisa melahirkan keajaiban musim ini, kenapa orang yang sama tidak mampu berbuat banyak di Juventus?

Deschamps pun mencibir. Pada L’Equipe pekan lalu sosok yang digadang-gadang bakal menangani Olympique Lyonnais itu menyebut bahwa membawa Bianconeri meraih scudetto lain urusannya dengan membetot I Gialloblu dari zona degradasi.

Belajar Banyak

Namun, Ranieri tetap tenang. Lelaki karismatis yang mengaku malas mengecat rambut ini sekarang telah berbeda karena dalam pengasingannya selama dua tahun ia telah belajar banyak.

“Apa yang berhasil di sebuah klub belum tentu tepat diterapkan di klub yang lain. Bukan masalah uang saja faktor yang harus diperhatikan, tapi juga nilai-nilai tradisional, karakter pendukung, dan yang paling penting adalah menjaga harmoni hubungan para pemain baru dan lama,” katanya pada ITV News bulan lalu setelah berhasil mengangkat posisi Parma di Serie A.

Ya, pengalaman gagal menangani Valencia di 2005 memang membuat Ranieri kian matang. Ia saat itu belajar untuk tidak selalu membongkar pasang pemain yang jadi poros tim, apalagi mengombinasikannya dengan penerapan strategi yang selalu berubah-ubah.

Kebijakan itu bisa berhasil di Chelsea, tapi tidak cocok untuk El Che dan Parma. Tapi, satu hal yang tidak berubah dari bekas kapten Catanzaro itu adalah kebenciannya pada mediokritas.

“Orang bermental medioker hanya punya pilihan untuk pergi, ke arah bawah dan terus ke bawah. Mungkin ia senang kemapanan, tapi orang seperti itu tak sadar bahwa lingkungannya terus bergerak naik melampuinya,” tandasnya lagi pada World Soccer.

Lampard Baru?

Uniknya gaya catenaccio ala Italia disebutnya bukan manifestasi mediokritas, tapi justru sebagai “jalan lain menuju keberhasilan”. Ranieri sendiri menyebut keseimbangan dalam falsafah catenaccio akan membuat Juventus kembali mapan di Serie A musim depan.

Scudetto? Bisa ya bisa tidak, tergantung pada keberhasilan Blanc mewujudkan permintaan Ranieri untuk mendatangkan Frank Lampard dari Chelsea. Lampard adalah hasil gaetan Ranieri dari West Ham di 2001 dengan transfer 11 juta pound (Rp 192 miliar) alias lebih murah dibandingkan dengan pemain termahal The Blues saat ini, Andriy Shevchenko (Rp 526,4 miliar).

Perbandingan di atas menunjukkan bahwa yang dicari Ranieri adalah kualitas, bukan nama besar semata. Sang pelatih memang bisa membaca kualitas sejati dari seorang pemain yang belum beken.

Berkat langkah strategis Ranieri, Lamps hingga kini menjadi satu dari dua pemain terpenting The Blues. Beberapa kolumnis terkenal di Inggris bahkan menyebut bahwa andai publik ingin melihat Lampard bermain bagus di timnas, caranya adalah dengan mengganti Steve McClaren dengan Ranieri!

Masalahnya kini Juventus hanya sanggup menghargai Lamps dengan harga 12 juta pound dibandingkan dengan banderol sang pemain yang ditaksir mencapai angka 25 juta pound. Jadi, kini yang dibutuhkan adalah ketajaman penciuman Ranieri pada bakat terpendam calon bintang berharga murah.

Sabarkan pendukung Bianconeri menunggu talenta pemain bintang matang di tangan The Tinkerman, alias si tukang utak-atik, tersebut? (Darojatun/Foto: Grazia Neri)

Claudio Ranieri
Lahir: 20 Oktober 1951 di Roma
Karier sebagai pemain: AS Roma (1973/74; 6 penampilan [0 gol]); Catanzaro (1974-1982; 225 [8]); Catania (1982-1984; 92 [1]); Palermo (1984-1986; 40 [0]).
Klub yang dilatih: Campania (1987/88); Cagliari (1988-1991); Napoli (1991-1993); Fiorentina (1993-1997); Valencia (1997-1999); Atletico Madrid (1999/00), Chelsea (2000-2004); Valencia (2004/05); Parma (2007); Juventus (2007-…)
Raihan trofi: Copa del Rey 1998, Coppa Italia 1996, Super Coppa Italia 1996, Juara Serie B 1994, Juara Serie C 1989, FA Premier Asia Cup 2003, Piala Super Eropa 2004.



Proud Man Walking

Membangun klub yang bisa memenangi sebuah gelar juara dan benar-benar membawa sebuah tim menjadi juara adalah dua hal yang benar-benar berbeda. Untuk mengilustrasikan hal ini, eks gelandang serang timnas Inggris yang kini menjadi football pundit, David Platt, langsung menunjuk sosok Ranieri.

Platt mengacu pada kecerdikan Ranieri dalam memilih dan meramu pemain saat Roman Abramovich membanjirinya dengan limpahan pound di awal 2003/04 di Chelsea. Dengan bermodalkan 120 juta pound (Rp 2,1 triliun), pria kelahiran Roma itu dianggap tidak gegabah mendatangkan sembilan pemain baru.

Terbukti kini lima di antaranya terus bertahan di era Jose Mourinho. Bahkan seharusnya enam andai Adrian Mutu tidak didepak di akhir 2004 lantaran kasus kecanduan si bomber Rumania tersebut pada kokain.

Sayangnya skuad Ranieri di 2003/04 hanya mampu melaju sebagai semifinalis Liga Champion, setelah merontokkan Arsenal, serta berakhir di posisi kedua Premiership di bawah rival yang sama. Terlihat di sini, Platt memang bicara fakta.

Prestasi oke yang dinilai sebagai kegagalan ini membuatnya dipecat di Mei 2004. Eh, empat bulan kemudian Ranieri menuangkan pengalaman uniknya melatih Chelsea di era Abramovich tersebut dengan merilis buku karyanya yang berjudul Proud Man Walking.

Kitab tersebut adalah rangkuman dari diary sang pelatih ketika menangani skuad gemuk The Blues, yang berkualitas yahud. Sama sekali tidak ada pembelaan diri tentang hasil akhir kerjanya yang dianggap tidak memuaskan di sana.

Seluruh hasil penjualan buku, yang kelak juga dibaca Mourinho, tersebut disumbangkan pada sebuah rumah sakit di London, Great Ormond. Banyak yang berkomentar bahwa andai Ranieri diberi kesempatan semusim lagi oleh Abramovich, Chelsea akan menjadi juara Premiership. (toen)





Kacaukan Bursa Taruhan

Siapa yang berani menyebut karier The Tinkerman belum habis setelah gagal menerapkan kebiasaan rotasi taktik dan pemain, yang jadi ciri khasnya, di Valencia pada 2005? Tidak ada. Kalaupun ada, jumlahnya pastilah sedikit sekali di kalangan penulis sepakbola senior di Italia.

So, tidaklah mengherankan pria berumur 55 tahun itu kembali melejit sebagai sosok allenatore beken karena melewati harapan banyak orang setelah menyelamatkan Parma dari kemungkinan jatuh ke Serie B.

Euforia di Lega Calcio pun merebak menyusul kembalinya ke peredaran salah satu dari barisan pelatih top bumi Tricolore yang seangkatan dengan Alberto Malesani (53), Marcello Lippi (59), Walter Novellino (54), Francesco Guidolin (51), hingga Fabio Capello (60). Grazie, Ranieri!

Kegembiraan ini pun mendorong terjadinya keganjilan dalam bursa taruhan William Hill. Bayangkan, belum lagi Parma mengumumkan Ranieri akan berhenti melatih I Gialloblu di akhir musim ini, ternyata para penggemar sudah amat yakin sang pelatih akan terus nyemplung di jagat sepakbola.

William Hill menawarkan para petaruh untuk memilih ke mana eks bos Chelsea itu akan hengkang berikutnya, ke Fulham, Manchester City, atau bertahan di Italia dengan menangani Palermo? Kegiatan pertaruhan ini dihentikan William Hill setelah besarnya volume uang yang terlibat tiba-tiba membengkak secara irasional.

Kala itu sang rumah taruhan mencium fenomena yang mencurigakan karena orang-orang terlihat yakin Ranieri bakal menangani City. Dikhawatirkan sebenarnya telah ada kesepakatan di bawah tangan antara Parma dan Manchester City.

Well, ternyata gonjang-ganjing ini berujung lebih mengejutkan lantaran malah Juventus yang menggenggam tanda tangan Ranieri. (toen)


Apakah yang dilakukan orang untuk menyabotase pertumbuhannya sendiri?*
**
*Mengapakah dia berlaku yang bertentangan dengan kepentingannya untuk
menjadi pribadi yang berhasil?*


Orang menyabotase pertumbuhannya sendiri setiap kali ia sibuk menjelaskan kelemahannya.
Padahal, seringkali kelemahan yang ia jelaskan itu belum tentu menghambatnya dalam melakukan tugas/tantangan yang ia terima.
Sikap pesimistis inilah yang sangat menghambat.

Kesadaran yang kurang tentang keharusannya untuk menjadi pribadi yang berhasil memungkinkan dirinya untuk melakukan hal-hal yang tidak mendukung prosesnya menjadi berhasil.
Keinginan menjalani kehidupan yang mudah (tidak mau repot), ketergersa-gesaan menikmati hasil cenderung membuatnya tidak menikmati proses penempaan dirinya.

Sebuah katana & tanto yang baik adalah seonggok besi yang telah melewati panasnya api dan kerasnya pukulan penempaan, juga pedihnya pengasahan...
Arang yang telah menikmati desakan tekanan tinggi dan panasnya perut bumi akan menjadi keras & bernilai: batu bara (coal).

Kelemahan bukan alasan menolak atau menunda pertumbuhan.
kita memiliki kekuatan. dan dalam kelemahan ada kekuatan.
dalam kekuatan ada kelemahan.
be optimistic!


Apa yang "menyabotase pertumbuhannya sendiri" ... ?? Saya pahami bahwa setiap orang selalu mengupayakan tumbuh dari waktu ke waktu ..sedapat mungkin selalu "naik kelas" ...sehingga dia harus memastikan setiap pilihan dan tindakannya akan berakibat terjadi kenaikan kelas dan pertumbuhan.. jika terjadi pilihan yang keliru dan tindakan yang salah, sehingga dapat mengakibatkan tidak terjadi kenaikan, atau pun tidak tumbuh dari waktu ke waktu ... harus cepat disadari untuk "bangkit kembali dan mengejar pertumbuhannya " ...

Dengan demikian, jika dia "tidak bangkit dan tidak mengupayakan kenaikan kelas, atau tidak mengupayakan pertumbuhan kembali", ..maka itulah tindakan sabotase yang dilakukan terhadap dirinya sendiri ... !

Mengapa dia melakukan itu ? Mengapa dia melakukan kekeliruan itu, mengapa dia "tidak bangkit kembali dan tidak mengejar kembali pertumbuhannya" ... Pertama, karena dia kurang membekali diri dengan pengetahuan untuk naik kelas dan tumbuh, dan..... Kedua, dia kurang belajar dari pengalamannya , kurang atau tidak belajar dari pengalaman orang lain .... Ketiga, dia tidak membangun kepercayaan untuk bangkit kembali ....

Pandangan ini sebagian saya sarikan dari pengalaman pribadi ... beruntung masih ada keajaiban yang menyadarkan dan membangkitkan saya ..sehingga saya bisa seperti sekarang ini !


No comments: