
Refleksi: Garuda itu burung dalam mitologi Hinduisme, dipakai sebagai lambang di negeri paham surgawi gurun pasir, tentu saja tidak cocok. Pasti disambar pertir kutukan surgawi silih berganti. Kalau lambang burung Garuda diganti dengan gambar burung Unta, mungkin dirahmati berkat illahi. Bukan itu saja malah kalau diukur umur garuda dari masa mula ceritanya hingga sekarang sudah terlalu tua, jadi tak mungkin bisa terbang dengan baik pada zaman canggih yang penuh polusi udara. Terlepas dari kelakar, dapat dikatakan bahwa mismanagement dperusahaan Garuda bukan baru, nepotisme membiarkannya berlarut-larut dan kerugian yang tak berakhir.
http://www.suarapem baruan.com/ News/2007/ 05/24/index. html
SUARA PEMBARUAN DAILY
TAJUK RENCANA I
Hengkangnya Aset Garuda
Maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia, kembali dirundung masalah. Setelah bergumul dengan masalah keuangan, kini persoalan yang menghadang adalah rencana pengunduran diri 77 pilotnya, menyusul 110 pilot yang terlebih dulu hengkang selama kurun 2005-2006.
Alasan utama rencana pengunduran diri itu adalah rendahnya gaji yang diterima selama menerbangkan 48 pesawat Garuda, selain iklim kerja yang tidak kondusif, serta tidak jelasnya jenjang karier. Persoalan tersebut menemukan solusinya manakala banyak maskapai penerbangan asing dan swasta nasional yang meminang mereka, tentu dengan gaji dan fasilitas lain yang menggiurkan.
Bak gayung bersambut, pinangan itu pun disambut antusias. Akibatnya, gelombang eksodus pilot Garuda terjadi sejak 2003 hingga kini. Ironisnya, manajemen Garuda menganggap hal itu bukan persoalan luar biasa. Mereka berpandangan, adalah hak setiap karyawan untuk menentukan kariernya. Di samping itu, Garuda mengklaim masih memiliki lebih dari 500 pilot, ditambah pilot baru yang baru direkrut.
Gelombang eksodus pilot Garuda, seharusnya tidak dilihat atas dasar kerangka pikir yang sederhana, yakni hak karyawan untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Informasi mengenai rencana hengkangnya 77 pilot tahun ini, dan mungkin masih bertambah lagi, adalah bentuk komunikasi publik yang merugikan Garuda Indonesia, sebagai national flag carrier. Semua operator penerbangan, para awak penerbangan, dan calon awak penerbangan, seketika menilai, Garuda bukanlah perusahaan yang bonafide.
Tentu saja ini kontraproduktif dengan upaya manajemen dan cita-cita kita, masyarakat Indonesia, agar BUMN itu bisa menjadi maskapai penerbangan kelas dunia. Dari sisi sumber daya manusia, nyata terlihat bahwa Garuda tidak memiliki daya saing dengan maskapai lain, baik domestik maupun internasional. Terbukti, ratusan pilot dalam kurun waktu empat terakhir, hengkang.
Di sisi lain, berapa miliar dana pelatihan para pilot yang terbuang percuma, jika pada akhirnya para pilot terkikis loyalitasnya kepada perusahaan, oleh karena manajemen sumber daya manusia yang lemah. Tentu menjadi keuntungan besar bagi maskapai penerbangan asing dan swasta nasional, yang cerdik menuai pilot-pilot Garuda yang sudah siap pakai.
Jika dihitung-hitung, besarnya biaya transfer dan gaji yang diberikan maskapai baru kepada para pilot Garuda, mungkin cukup kompetitif dengan investasi yang semestinya mereka keluarkan untuk melatih pilot baru. Dengan demikian, iklim kerja di Garuda telah membuang investasi yang dikeluarkan untuk melatih para pilot.
Hal yang patut kita cermati, harga tiket Garuda jauh lebih mahal dibanding maskapai penerbangan lainnya. Tingkat okupansi penumpangnya pun boleh dibilang lumayan. Anehnya, hal itu tak berarti banyak terhadap keuangan maskapai, termasuk untuk memberi tingkat kesejahteraan yang memadai. Lantas ke mana pemasukan yang selama ini diperoleh dari tiket dan unit usaha Garuda lainnya?
Pertanyaan itu bermuara pada jawaban masih adanya inefisiensi biaya di tubuh Garuda. Hal itu tercermin dari warisan utang yang hingga kini tak terselesaikan, meskipun sudah direstrukturisasi. Satu-satunya nilai lebih yang masih dimiliki Garuda mungkin hanya peringkat keselamatan penerbangan yang relatif lebih baik dibanding sejumlah maskapai penerbangan swasta bertarif murah yang menyesaki angkasa kita.
Sayangnya, modal yang sangat elementer itu tanpa didukung kinerja manajemen keuangan dan sumber daya manusia yang memadai, hanya akan menjadikan Garuda semacam Balai Latihan Kerja bagi maskapai-maskapai lain yang lebih mumpuni dalam menyelenggarakan jasa penerbangan.
http://www.suarapem baruan.com/ News/2007/ 05/24/index. html
SUARA PEMBARUAN DAILY
TAJUK RENCANA I
Hengkangnya Aset Garuda
Maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia, kembali dirundung masalah. Setelah bergumul dengan masalah keuangan, kini persoalan yang menghadang adalah rencana pengunduran diri 77 pilotnya, menyusul 110 pilot yang terlebih dulu hengkang selama kurun 2005-2006.
Alasan utama rencana pengunduran diri itu adalah rendahnya gaji yang diterima selama menerbangkan 48 pesawat Garuda, selain iklim kerja yang tidak kondusif, serta tidak jelasnya jenjang karier. Persoalan tersebut menemukan solusinya manakala banyak maskapai penerbangan asing dan swasta nasional yang meminang mereka, tentu dengan gaji dan fasilitas lain yang menggiurkan.
Bak gayung bersambut, pinangan itu pun disambut antusias. Akibatnya, gelombang eksodus pilot Garuda terjadi sejak 2003 hingga kini. Ironisnya, manajemen Garuda menganggap hal itu bukan persoalan luar biasa. Mereka berpandangan, adalah hak setiap karyawan untuk menentukan kariernya. Di samping itu, Garuda mengklaim masih memiliki lebih dari 500 pilot, ditambah pilot baru yang baru direkrut.
Gelombang eksodus pilot Garuda, seharusnya tidak dilihat atas dasar kerangka pikir yang sederhana, yakni hak karyawan untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Informasi mengenai rencana hengkangnya 77 pilot tahun ini, dan mungkin masih bertambah lagi, adalah bentuk komunikasi publik yang merugikan Garuda Indonesia, sebagai national flag carrier. Semua operator penerbangan, para awak penerbangan, dan calon awak penerbangan, seketika menilai, Garuda bukanlah perusahaan yang bonafide.
Tentu saja ini kontraproduktif dengan upaya manajemen dan cita-cita kita, masyarakat Indonesia, agar BUMN itu bisa menjadi maskapai penerbangan kelas dunia. Dari sisi sumber daya manusia, nyata terlihat bahwa Garuda tidak memiliki daya saing dengan maskapai lain, baik domestik maupun internasional. Terbukti, ratusan pilot dalam kurun waktu empat terakhir, hengkang.
Di sisi lain, berapa miliar dana pelatihan para pilot yang terbuang percuma, jika pada akhirnya para pilot terkikis loyalitasnya kepada perusahaan, oleh karena manajemen sumber daya manusia yang lemah. Tentu menjadi keuntungan besar bagi maskapai penerbangan asing dan swasta nasional, yang cerdik menuai pilot-pilot Garuda yang sudah siap pakai.
Jika dihitung-hitung, besarnya biaya transfer dan gaji yang diberikan maskapai baru kepada para pilot Garuda, mungkin cukup kompetitif dengan investasi yang semestinya mereka keluarkan untuk melatih pilot baru. Dengan demikian, iklim kerja di Garuda telah membuang investasi yang dikeluarkan untuk melatih para pilot.
Hal yang patut kita cermati, harga tiket Garuda jauh lebih mahal dibanding maskapai penerbangan lainnya. Tingkat okupansi penumpangnya pun boleh dibilang lumayan. Anehnya, hal itu tak berarti banyak terhadap keuangan maskapai, termasuk untuk memberi tingkat kesejahteraan yang memadai. Lantas ke mana pemasukan yang selama ini diperoleh dari tiket dan unit usaha Garuda lainnya?
Pertanyaan itu bermuara pada jawaban masih adanya inefisiensi biaya di tubuh Garuda. Hal itu tercermin dari warisan utang yang hingga kini tak terselesaikan, meskipun sudah direstrukturisasi. Satu-satunya nilai lebih yang masih dimiliki Garuda mungkin hanya peringkat keselamatan penerbangan yang relatif lebih baik dibanding sejumlah maskapai penerbangan swasta bertarif murah yang menyesaki angkasa kita.
Sayangnya, modal yang sangat elementer itu tanpa didukung kinerja manajemen keuangan dan sumber daya manusia yang memadai, hanya akan menjadikan Garuda semacam Balai Latihan Kerja bagi maskapai-maskapai lain yang lebih mumpuni dalam menyelenggarakan jasa penerbangan.
No comments:
Post a Comment