“Mengapa kita sering dipertemukan dengan situasi ‘harus membantu orang’?”
Pernahkah pertanyaan tersebut terlintas di pikiran rekan-rekan sekalian?
Tidak ada angin, tidak ada hujan saudara jauh menelepon mengabarkan bahwa ada family yang sakit parah dan tidak bisa berobat, hati kita tergerak.
Sesekalinya main ke rumah tetangga, mendengar cerita bahwa tukang sampah kakinya kena beling dan sudah 1 bulan tidak bisa bekerja, hati tersentuh.
Ke rumah orangtua, kemudian mendengar bahwa saudara kita sedang kesulitan keuangan sehingga anaknya tidak bisa bersekolah. Hati kita sedih.
Dijalan raya, melihat anak cacat digeletakan dipinggir jalan, yang untuk menyuapkan rotinyapun, hanya kaki yang bisa digunakannya. Hati kita menangis.
Tidakkah berdesir hati kita? Atau kita tulikankah hati kita? Tidakkah terngiang dan terbayang di pikiran kita?
Papayku adalah salah satu dari orang yang paling sering dihampiri oleh ’situasi’ dimana dia dituntun untuk membantu orang. (masih ingat papayku yang ingin serba ‚murah’?)
Salah satu ceritanya berikut ini, hanya untuk menceritakan salah satu sisi seorang papay yang aku kenal.
Cerita papay:
Aku baru saja turun dari mobil dimuka rumah, saat sebuah taxi berhenti di depan rumah tetangga sebelah. Pintu taxi dibuka, dan keluarlah beberapa orang yang mengusung badan tante yang selama ini tinggal di sebelah. Kemudian,
Aku (P) : Kenapa tuh?
Pengantar (P) : Tante ini kena stroke.
A: Lho, kalau stroke, langsung ke rumah sakit dong.
P: Nanti tunggu anaknya.
A: Anaknya? Memang anaknya tahu?
P: Nanti kita hubungi.
Aku mengamati tubuh tante sebelah (yang tidak kita ketahui namanya, karena hanya menyapa pagi saat akan berangkat kerja) dibaringkan dikursi tamu di rumah sebelah. Aku pulang ke rumah mengganti baju. Aku meminta asisten rumah tanggaku membuatkan bubur untuk tante sebelah. “kalau sudah matang, antar ke sebelah ya. Minta orang-orang itu menyuapi tante itu ya’” bagitu pesanku pada asistenku.
Cerita Aku (istri papay)
Setelah bubur matang, Aku baru kembali dari kantor. Papay menyuruhku menengok tante sebelah. Aku mengganti baju, dan pergi ke sana, ternyata tidak ada satu orangpun di sana.
Tante tersebut tidur mengorok, aku bingung tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku kembali ke rumah dan memberitahu papay keadaan yang aku lihat di rumah sebelah. Dia bangun dari tempat istirahatnya, dan meminta salah seorang untuk pergi ke pemimpin rumah ibadat yang mengenal keluarganya untuk menghubungi keluarganya.
Pemimpin rumah ibadat tersebut tidak datang karena tante tersebut bukan jemaat langsungnya, yang datang salah satu jemaatnya dan berusaha menghubungi keluarganya. Di Hp tante yang tergeletak sakit, tersimpan begitu banyak nama pemimpin rumah ibadat lain, tetapi semua yang dihubungi melemparkan dari satu nama ke nama lain. Dimana anaknya? Tidak ada yang tahu... Beberapa orang jemaat dari tempat ibadat yang sama datang, mereka melantunkan doa......
Tiba-tiba papay menginstruksikan,
P: Kita bawa ke rumah sakit.
Semua yang ada disitu, hanya terpatung tidak ada merespon.
P: Tante ini harus dibawa ke ruamh sakit, saya butuh orang untuk menjadi saksi untuk mendengar apa diagnosa dokter. Masalah biaya saya yang tanggung.
(Aku tercekat, memang papay punya uang? Papay tidak biasa membawa uang tunai dalam jumlah banyak (karena kadang-kadang memang tidak punya sama sekali), kartu kredit tidak punya (boro-boro), kartu debet tidak ada, ATM? Aku mengkhawatirkan kondisi dompetnya. Kusodorkan ATMku, tapi ditolak papay dengan halus.)
Seketika itu juga, orang-orang mulai bergerak membopong tubuh tante ke dalam mobil papay.
Singkat cerita, Tante sebelah tidak tertolong. Beliau meninggal keesokkan paginya, tetapi beruntung anaknya dan saudaranya telah datang di rumah sakit. Papay membayar semua biaya perawatan, dan anaknya datang pada papay,
“Terima kasih atas kebaikan hati Bapak, tapi kami tidak mepunyai uang untuk pemakaman”. Papay menyanggupi membayar semua biaya pemakaman dengan pilihan yang ter’murah’ (ala papay).
Pada saat pemakaman, menurut beberapa tetangga yang hadir (papay tidak hadir karena harus masuk kerja) papay disebut sebagai ‘pahlawan’ yang mau menolong orang padahal tidak seiman. Papay yang mendengar cerita dari tetanggaku cuma bergumam,
“Aneh. Bukannya kita diajarkan untuk menolong siapa saja? “ Aku cuma terdiam.
Setelah semua urusan pemakaman selesai, malam harinya papay bercerita padaku dengan gayanya yang santai.
“Pagi sebelum tante sebelah sakit, tiba-tiba ada orang datang ke kantor mencari aku, bilang begini,
‘Bapak, saya mau pesan barang pada bapak. Sebenarnya saya tahu barang ini harganya 6,5 juta. Tetapi uang saya hanya 4,5 juta. Saya yakin bapak bisa membuatkan barang itu buat saya.’
Aku kaget juga, aku gak kenal dia, dia tahu aku dari mana? Yo wis, ta’ sanggupin. Terus aku ke glodok mau cari komponen untuk barang yang orang itu pesan, eh tau ga, ajaib banget deh. Barang yang orang itu cari, ternyata ada di glodok. Harganya cuma 1,5 juta. Edan kan? Aku terus mikir, ‘Tuhan, apa maksudnya? Uang ini untuk siapa sebenarnya?’ Eh, dilalah kok pulang ngeliat tante sebelah begitu. Ternyata uang itu memang dititipin ke aku untuk tante itu.“
Papay, papay. Begitu ber’hemat’, begitu pelitnya dia untuk kebutuhan dia sendiri, tetapi untuk perkara begini, begitu ikhlasnya dia.
Sebenarnya jauh sebelum peristiwa ini, aku sudah seringkali melihat peristiwa serupa dilakukan oleh papay, meski tidak sedahsyat ini. Namun aku selalu mengkhawatirkan sisi negatif dampaknya, sehingga aku sering ngomel akibat ketakutanku. Jangan –jangan orang menganggap kita sombong, jangan-jangan ada orang yang memanfaatkan untuk maksud yang tidak baik.
Tetapi, buat aku peristiwa kali ini adalah ‘48 jam yang mentahirkan mata hatiku’ yang masih kerap kali kembali buta.
Papay tetap papay sampai saat ini, sederhana, ‚pelit’ namun hatinya platina. (Dipujipun dia cuma bilang, “YO OPO TOH?”).
Aku? Aku masih dalam perjalanan menuju ke hati mulia.
Kecanduan Rokok ?
Budaya merokok sudah dikenal berabad lalu, bahkan suku Indian kuno sudah menjadikan budaya merokok sebagai bagian dari upacara adat mereka.
Dari sisi psikis merokok bisa jadi merupakan perpanjangan kebiasaan bayi saat gelisah dan akan segera mencari “puting” ibunya yang dapat segera memberikan rasa nyaman. Didaerah bibir terdapat indra peraba (reseptor) korpuskulus yang sangat peka dan dapat meneruskan impuls ”nikmat” ke otak.
Seseorang yang merasa cemas akibat tidak mampu mengendalikan dirinya akan secara otomatis mencari zona nyamannya (lari dari masalah ?) yang bisa didapat dari kebiasaan makan, tidur, menunda pekerjaan, malas, obsesif kompulsif dan salah satunya dari kebiasaan merokok.
Perokok tentu tahu tentang daftar panjang bahaya merokok seperti : tulang rapuh, kulit cepat kriput, gangguan pencernaan, kanker pita suara, resiko keguguran, leukimia, lahir prematur, kanker rahim, menstruasi terganggu, mata rusak, merusak gigi, kanker rahim, jantung, bayi cacat, kanker lidah, impoten, kanker tenggorokan, kanker paru, dsb.
Namun….. mengapa belum punya keinginan berhenti, atau jika sudah ingin berhenti, mengapa tetap sulit ?
Karena bahaya tersebut masih berupa “ancaman” dan belum menimbulkan ”kerugian” ataupun kesakitan yang nyata.
Sementara “nikmatnya” rokok sudah “terasa” dan memberikan rasa “nyaman” walaupun “palsu”.
Belum lagi perokok secara tidak sadar dibombardir terus menerus dengan pencitraan “seolah olah positif” seperti merokok itu “jantan” (apa hubungannya antara rokok dengan kuda atau pemburu ?), merokok itu “pemberani” (apa hubungannya antara rokok dengan terjun payung ?), merokok itu “pahlawan” (apa hubungannya antara rokok dengan perayaan 17 Agustus ?), merokok itu “kreatif” (apa hubungannya antara rokok dengan iklan yang kagak nyambung ?)
Demikian pula karena alasan sponsorship, adanya pencitraan merokok itu “berselera seni” (dihubungkan dengan pentas musik) dan yang lebih tidak waras lagi adanya pencitraan merokok itu “sehat” (dihubungkan dengan pertandingan tinju, sepak bola, bulu tangkis, voli dsb.)
Itu sebabnya nasihat berhenti merokok terbaik tidak “bekerja” karena mereka memang sedang tidak “sadar” atau jika sadar mereka tidak tahu “cara” untuk memberhentikannya.
Isywara Mahendratto
http://klinikservo. wordpress. com/
Tuesday, August 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment