Kebanyak orang menyangka bahwa sumber kedamaian, kebahagiaan dan makna kehidupan tertinggi berasal dari luar dirinya. Mereka menyangka semua itu dapat diraih melalui berbagai simbul-simbul keberhasilan duniawi seperti materi, kekayaan, kekuasaan, popularitas dan berbagai aksesories duniawi lainnya. Akibatnya mereka sibuk menggali, mencari dan berusaha mendapatkan berbagai simbul-simbul kesuksesan duniawi dengan mengabaikan sumber dari nilai dalam hatinya.
Dalam kurun waktu lebih dari 18 tahun pengalaman saya sebagai professional dan praktisi di dunia usaha, saya telah bertemu dan bekerjasama dengan orang-orang dari berbagai latar belakang kehidupan. Saya telah bertemud an bekerjasama dengan para eksekutif, professional, pengusaha dari berbagai negara di dunia. Mengenal berbagai ragam manusia dari mulai orang-orang yang memiliki bakat luar biasa, orang yang telah meraih sukses karier professional mencengangkan, orang yang memiliki popularitas, kekayaan materi berlimpah, maupun orang-orang yang merasa dirinya gagal.
Dalam kehidupan saya juga telah bertemu dan banyak berhubungan dengan berbagai kalangan, mulai dari kalangan dunia pendidikan, kalangan anggota majelis ta’klim di Masjid, kalangan para pedagang kecil atau usaha mikro dan masyarakat umum lainnya.
Apa yang bisa saya dapatkan dari mereka ini ? Pengalaman ini memberikan sebuah pelajaran berharga, bahwa saya tidak pernah melihat dan menemukan seseorang yang berhasil meraih kesuksesan hidup sejati, kehidupan yang penuh makna yang bersumber dari simbul-simbul dari luar dirinya. Saya tidak pernah menemukan seseorang yang memiliki kedamain hati, ketenangan jiwa, kebahagiaan sejati dan kehidupan yang penuh potensi dan keagungan yang diperoleh dari sumber dari luar dirinya.
Apa yang saya temukan adalah bahwa kebahagiaan hidup sejati, kedamain hidup, keberhasilan yang memberikan makna dan kehidupan yang penuh potensi, itu semua bersumber dari dalam hati kita sendiri. Mereka yang mencari kedamain, kebahagiaan dan makna hidup tertinggi yang hanya bersumber dari luar dirinya akhirnya banyak yang menemukan kesia-siaan dan kegagalan hidup. Mereka akhirnya menemukan ketidakseimbangann hidup, kemiskinan hati, kekosongan jiwa dan ketidakbermaknaan hidup.
Namun setiap orang yang bersungguh-sungguh menggali kedalam hatinya, setia pada hati nuraninya dan menjalani hidup dibimbing suara hatinya akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan sejati. Mereka yang mendengarkan suara hatinya, menjalani hidup berpusat pada hati nuraninya, menempatkan hati nurani sebagai sumber motivasi kehidupannya, akhirnya menemukan keseimbangan hidup yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan, keberhasilan, kedamaian dan kehidupan penuh keagungan.
Sahabat, dalam hidup ini ada pusat gaya tarik gravitasi universal yang bersumber dari hati nurani. Artinya gaya tarik gravitasi ini berlaku bagi seluruh penduduk bumi ini. Inilah kekuatan yang sesungguhnya mengatur garis edar keseimbangan hidup manusia. Inilah pusat gaya tarik “gravitasi spiritual” yang menjadi pusat makna tertinggi kehidupan manusia. Pusat inilah yang mengatur keseimbangan hidup manusia, sehingga tidak terlempar dari garis edar keseimbangan.
Setiap individu sesungguhnya telah memiliki kecenderungan untuk beredar mengarah pada pusat gravitasi spiritual di dalam hatinya yang menjadi pusat makna hidup tertinggi. Namun sebagian dari mereka mencoba beredar keluar dari garis edar gravitasi ini. Mereka inilah yang akhirnya akan terlempar dan akan cenderung kembali lagi pada garis edar ini.
Hati adalah pusat yang memerintahkan otak atau akal pikiran. Otak atau akal pikiran manusia sebagai hambanya hati, kemudian akan memprosesnya dan memerintahkan panca indra untuk bekerja atau bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki hati. Otak atau akal pikiran manusia sebagai hambanya hati, akan sangat patuh dan selalu tunduk terhadap semua perintah hati nurani kita.
Dengan demikian mereka yang berusaha selalu beredar “inline” dalam garis edar pusat gravitasi yang bersumber pada hati akan menemukan keseimbangan hidupnya. Menempatkan hati nurani artinya menstandarisasi seluruh tindakan dalam kehidupan berlandaskan pada hati nurani. Mendengarkan suara hati nurani terdalam dan menggunakannya sebagai pembimbing dalam setiap langkah kehidupan.
Dalam pandangan Stephen R Covey dalam bukunya The 8th Habit, panggilan kita dan kebutuhan untuk era baru ini adalah untuk mengejar pemenuhan diri (fulfillment) , pelaksanaan yang penuh semangat (passion execution), dan sumbangan yang bermakna (significant contribution) . Itu semua dalam tataran dimensi keagungan dan kehebatan atau “greateness” yang dapat dipenuhi oleh manusia yang selalu bergerak pada orbit kehidupan “in line” yang berpusat pada hati nurani.
Mereka yang memandang kehidupan dari dalam hatinya, menjadi tidak mudah terjebak dalam kemilaunya kehidupan duniawi semata dengan mengabaikan nilai-nilai kemuliaan dalam hati. Mereka dapat mensinergikan antara “outer success” dengan “inner success”. Dapat menjalani kehidupan modern ini dengan tetap realistis, namun tetap memegang teguh idealisme berdasarkan nilai-nilai spiritual dalam hati. Hidup selalu mengedepankan nilai-nilai kebaikan, kebersamaan, kasih sayang, keadilan, kejujuran dan kebenaran sesuai suara hati nurani. Inilah yang dapat mengantarkan manusia meraih kehidupan penuh potensi dan keagungan insani.
Kalau demikian, mengapa harus mengejar sumber-sumber kedamaian, kebahagiaan dan kebermaknaan hidup yang berasal dari luar diri kita dengan mengabaikan suara hati terdalam? Bukankah semuanya bersumber dari dalam diri kita sendiri ? Maka berusahalah menggali dan mengenali suara hati terdalam dan menggunakannya sebagai sumber motivasi bagi kehidupan ini. Tetap realistis dalam kehidupan modern ini, dengan tidak mengabaikan nilai-nilai yang besumber dari dalam hati.
Semoga Bermanfaat. Salam Motivasi Nurani.
Nieuw Guinea, Irian Barat, Irja, dan Papua
Oleh Bambang Budi Utomo
http://www.kompas. co.id/kompas- cetak/0708/ 28/humaniora/ 3795178.htm
============ =======
Mungkin banyak orang Indonesia yang tidak tahu bahwa pada 13 Agustus
1945 Soekarno dan Mohammad Hatta singgah di Taiping, Perak, Malaysia,
dalam perjalanan kembali dari lawatannya ke Hanoi, Vietnam. Mereka ke
Taiping dengan tujuan bertemu dengan tokoh pemuda Melayu, Ibrahim Haji
Yaacob dan Burhanuddin.
Pertemuan ini diatur oleh pejabat administrasi militer Jepang untuk
daerah jajahannya. Apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu adalah
mengenai pembentukan negara Indonesia Raya atau Melayu Raya.
Ibrahim Haji Yaacob dan Burhanuddin adalah dua tokoh perjuangan Melayu
yang kagum akan kebesaran budaya bangsa Melayu di masa lampau. Ide
Melayu Raya atau Indonesia Raya telah dicetuskan melalui sebuah konsep
yang dirumuskan oleh Abdul Hadi Hassan, seorang pengurus Maktab Melayu
Melaka, dalam bukunya yang berjudul Kitab Sejarah Alam Melayu.
Angan-angan tokoh Melayu itu kalau terjadi sangat merugikan Indonesia.
Di satu pihak memang wilayah Indonesia sampai ke wilayah yang sekarang
menjadi Malaysia, tetapi boleh jadi Nusa Tenggara, sebagian Maluku,
dan Irian Jaya tidak termasuk Indonesia. Ketiga wilayah itu tidak
dimukimi oleh orang-orang Melayu ras Mongoloid. Padahal, Irian Jaya
merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, baik tambang maupun
hutan. Karena itulah, para pendiri bangsa Indonesia tidak merespons
keinginan mereka, dan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945
beberapa hari kemudian.
Dari Nieuw Guinea ke Irja
Kalau ditelusuri persebaran puak Melayu dengan ras Mongoloid dari sisi
rumpun bahasa di Nusantara, maka cakupannya seluruh Nusantara dari
Sabang sampai Merauke. Khusus untuk Irian, cakupan puak Melayu hanya
ada di daerah pesisir pantai utara di bekas wilayah Kesultanan Tidore.
Sementara itu, di kawasan pedalaman Papua didiami oleh suku-suku
bangsa dari ras Austromelanesid.
Memang, kalau kita memandang Republik Indonesia dari sisi ras, maka
Irian tidak termasuk dalam RI. Isu inilah yang diembuskan Belanda
untuk memecah belah. Dalam usahanya mempertahankan Irian, Belanda
menyatakan, suku-suku di Irian bukan suku Melayu yang menjadi asal
usul orang Indonesia. Secara etnik dan budaya suku- suku di Irian
berasal dari suku Melanesia. Karena itu, Irian tidak bisa diserahkan
kepada RI.
Pada awalnya pulau yang sekarang disebut Irian dulunya disebut Nieuw
Guinea. Nama ini diberikan oleh seorang pelaut Spanyol, Jnizo Ortiz de
Reter, yang singgah di pulau itu pada abad ke-16. Pada awalnya Nieuw
Guinea kurang diperhatikan Belanda, dan beberapa bagian di pantai
utara masih menjadi bagian dari Kesultanan Tidore. Belanda hanya
sekali-sekali datang untuk menumpas lanun yang bersembunyi di Nieuw
Guinea. Sejak tahun 1828 Belanda resmi menguasai Nieuw Guinea dengan
wilayah administrasinya Residentie Nieuw Guinea. Namun, di beberapa
tempat Belanda masih mengakui kedaulatan Kesultanan Tidore.
Waktu terus berjalan. Nieuw Guinea oleh pemerintah kolonial Belanda
sejak tahun 1927 dijadikan tempat pembuangan tokoh-tokoh pejuang
kemerdekaan. Tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya dengan wilayahnya mencakup seluruh bekas wilayah
Nederlandsch- Indië, termasuk juga Residentie Nieuw Guinea. Akan
tetapi, pada waktu penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949, Nieuw
Guinea masih tetap dipertahankan Belanda dan dibiarkan dalam status
quo. Keadaan ini terus berlangsung hingga tahun 1962 ketika mandat
Nieuw Guinea diserahkan kepada Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Selama dikuasai Belanda rupa-rupanya penduduk Nieuw Guinea "dicekoki"
dengan segala intimidasi dan kemanjaan.
Pada 1 Mei 1963, Nieuw Guinea secara de facto sudah kembali ke
pangkuan RI dan namanya menjadi Irian Barat, tetapi secara de jure
belum masuk karena sesuai dengan "New York Agreement" (15 Agustus
1963) masih ada satu prosedur lagi yang harus dilalui, yaitu Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) yang akan dilaksanakan tahun 1969. Pepera
berhasil dilaksanakan dan rakyat Irian Barat tetap menghendaki ikut
Indonesia. Sejak saat itu, Irian Barat secara de facto dan de jure
telah kembali ke Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969,
sejak tanggal 10 September 1969 Irian Barat menjadi Provinsi Irian
Jaya dengan ibu kota di Jayapura yang dulunya bernama Holandia,
Kotabaru, dan Sukarnapura.
Usaha separatisme
Nama "Irian" selalu diributkan oleh orang-orang yang mau memisahkan
diri dari RI. Karena intimidasi Belanda terhadap orang-orang Irian,
mereka mempelesetkannya menjadi "Ikut Republik Indonesia
Anti-Nederland" . Ini sungguh keliru. Nama Irian diusulkan oleh pejuang
Irian, Frans Kaisiepo, yang berarti "sinar yang menghalau kabut". Nama
ini diambil dari bahasa salah satu suku di Irian. Namun, kaum
separatis lebih suka menyebutnya "Papua". Papua berarti "daerah hitam
tempat perbudakan". Mereka lebih suka menyebut demikian karena
dianggap memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Merdeka
dari penjajahan yang mana? Apakah dari Belanda atau dari Indonesia?
Ada beberapa alasan mengapa kaum separatis hendak memisahkan diri dari
Indonesia.
Pertama, mereka menganggap Papua tidak termasuk dalam wilayah
Nederlansch Indië yang harus diserahkan kepada Indonesia.
Kedua, suku-suku di Papua tidak termasuk dalam suku Melayu yang
menjadi cikal bakal Indonesia.
Ketiga, tidak ada wakil dari Papua yang ikut dalam Sumpah Pemuda 1928.
Alasan pertama dapat dikatakan mengada-ada karena sejak tahun 1828
Nieuw Guinea sudah menjadi bagian dari Nederlansch Indië dengan nama
Residentie Nieuw Guinea. Apalagi sejak tahun 1927 Boven Digoel,
kawasan berawa-rawa di Nieuw Guinea, dijadikan tempat pembuangan para
pejuang kemerdekaan. Tidak mungkin Belanda membuang tahanan politiknya
di luar wilayah kekuasaannya.
Dalam kenyataannya, orang- orang asli Irian berinduk dari ras Papua
Melanesid dengan sub-ras Arafurid meliputi Papuid, Austalid, dan
Melanesid. Alasan ini ditangkis oleh Soekarno bahwa urusan Irian Barat
tidak ada kaitannya dengan suku ataupun ras. Irian Barat merupakan
bagian dari Nederlandsch Indië yang harus diserahkan kepada Indonesia.
Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928 memang tidak
dihadiri oleh perwakilan dari Nieuw Guinea. Kawasan timur Nusantara
diwakili oleh Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Ambon, dan Timorese
Verbond. Ketidakikutsertaan Nieuw Guinea dalam Sumpah Pemuda kemudian
"direvisi" atau "disusulkan" dalam Piagam Kotabaru (sekarang Jayapura)
yang ditandatangani tanggal 3 Februari 1963 oleh 17 orang yang
mewakili organisasi politik dan golongan karya Irian Barat.
Piagam Kotabaru memuat pernyataan kebulatan tekad dan janji sumpah
setia, antara lain "Bahwa kami putra-putra Irian Barat juga mengakui
17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan rakyat dan wilayah Irian
Barat dari tangan penjajah, mendukung cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945 dan mengakui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai sumpah rakyat
Irian Barat".
Bambang Budi Utomo Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
No comments:
Post a Comment